Wilayah Kelola Rakyat dalam Ancaman Cengkeraman PT. Mayawana Persada

  • Share
Sebuah update situasi terkini dari lapangan Oleh WALHI Kalimantan Barat

INIBORNEO.COM, Pontianak – Pada tanggal 28 November 2024, bencana banjir melanda wilayah sekitar Desa Kualan Hilir dan Desa Sekucing Kualan di Kecamatan Simpang Hulu, mencakup Dusun Sabar Bubu, Dusun Lelayang, dan Dusun Selimbung. Banjir serupa juga terjadi di Kecamatan Simpang Dua, dengan dampak yang menurut warga lebih parah dibandingkan sebelumnya. Selain merendam permukiman, banjir yang berlangsung hampir seminggu ini juga menggenangi lahan pertanian yang menjadi sumber pangan masyarakat.

Hampir seminggu banjir menggenangi pemukiman dan lahan pertanian di wilayah ini, mengancam sumber penghidupan masyarakat. Deforestasi dan pembukaan lahan diduga menjadi salah satu penyebab utama. Saatnya kita lebih peduli pada kelestarian lingkungan demi masa depan bersama. (Foto: Dok. Walhi Kalbar)

Bencana ini diduga kuat akibat aktivitas pembukaan hutan dan lahan oleh perusahaan perkebunan kayu PT. Mayawana Persada. Berdasarkan laporan Koalisi Masyarakat Sipil yang dirilis pada Desember 2023, perusahaan tersebut tercatat telah menyebabkan deforestasi seluas 35 ribu hektare antara tahun 2016 hingga 2022. Aktivitas ini berlangsung di 14 desa yang tersebar di lima kecamatan wilayah Ketapang dan Kayong Utara.

Selain banjir yang semakin parah sejak kehadiran perusahaan perkebunan kayu di wilayah sekitar Simpang Hulu, cengkeraman atas wilayah kelola rakyat, seperti di Dusun Lelayang, telah merampas hak warga atas sumber daya lahan mereka. Korban dari situasi ini termasuk para perempuan yang menjadi pejuang lingkungan hidup di daerah tersebut.

Saat ditemui oleh Tim WALHI Kalimantan Barat, Paulina Linti mengungkapkan bahwa perusahaan melakukan penggusuran atas lahan miliknya pada 15 Agustus 2024. Saat itu, Ibu Linti dan suaminya kebetulan berada di lokasi untuk mengambil ubi kayu. Mereka meminta petugas menghentikan penggusuran, dengan menegaskan bahwa lahan tersebut tidak pernah mereka serahkan kepada perusahaan.

Namun, seminggu kemudian, sekitar 22 Agustus 2024, alat berat kembali digunakan untuk menggusur lahan mereka. Upaya pelarangan oleh Ibu Linti memicu perdebatan antara dirinya dan petugas yang mengoperasikan alat berat.

Ibu Linti dengan tegas melarang kelanjutan penggusuran, karena tanah tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan. Namun, petugas alat berat menyatakan bahwa mereka hanya menjalankan perintah dari perusahaan. Aktivitas penggusuran sempat terhenti, dan petugas meminta Ibu Linti untuk menunggu sebentar.

Tak lama kemudian, petugas kembali bersama sekelompok orang berseragam polisi yang membawa senjata, tiba dengan lima sepeda motor. Merasa takut menghadapi situasi tersebut sendirian, Ibu Linti dan suaminya memutuskan untuk meninggalkan lahan mereka. Sebelum pergi, Ibu Linti sempat berpesan kepada petugas untuk tidak kembali menggusur tanah miliknya.

“Ini bawas bukan hutan rimba, pohon karet itu buktinya. Kami menuntut ganti kerugian atas tanam tumbuh kami yang sudah kalian gusur, tolong sampaikan kepada pemilik perusahaan”, kata Ibu Linti, perempuan dari Dusun Lelayang.

Perempuan lain dari Dusun Lelayang, Marta Linda, juga menghadapi situasi serupa. Ia berusaha melarang pihak perusahaan menggusur lahan miliknya. Baik Marta maupun Paulina Linti dihadapkan pada ketidakadilan, tanpa adanya penyelesaian atas sumber daya lahan yang dirampas secara paksa oleh perusahaan.

Marta Linda menceritakan bahwa pada awalnya, petugas alat berat sempat menghentikan aktivitas penggusuran dan meninggalkan lahannya pada sore hari sekitar Juli 2024. Namun, pada malam harinya, alat berat kembali didatangkan dan melanjutkan penggusuran di lahan yang telah ditanami karet produktif serta berbagai pohon buah-buahan seperti rambutan, cempedak, durian, dan petai.

Dengan penuh kepedihan, Ibu Marta menceritakan bagaimana lahannya yang dulu subur dengan pohon karet dan buah-buahan digusur tanpa sisa. Lahan yang menopang hidup keluarganya kini hilang, memaksa mereka bergantung pada pasar. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi hak, keadilan, dan perjuangan. (Foto: Dok. Walhi Kalbar)

Kini, lahan tersebut beserta seluruh tanaman di atasnya sudah habis tak bersisa. Karet yang sebelumnya menjadi sumber penghasilan keluarga kini tak lagi bisa disadap. Ladang yang dulu menghasilkan padi melimpah, cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dari satu tahun, kini tak lagi mencukupi. Akibatnya, banyak warga terpaksa membeli beras dari toko atau pasar, pilihan yang sulit namun tak dapat dihindari.

“Orang MP yang tidak punya aturan, kalau mereka punya aturan mereka tidak akan berani menggusur tanah dan bawas orang secara paksa. Mereka tidak pernah datang bertanya siapa pemilik lahan, mereka mencuri menggusur lahan kami tanpa pemberitahuan,” kata Marta Linda.

Selain kedua perempuan tersebut, puluhan warga lainnya di Lelayang juga mengalami nasib yang sama. Keadilan dan penyelesaian masih sulit diperoleh. Penggusuran paksa terhadap lahan warga oleh perusahaan telah menyebabkan hilangnya ruang untuk bertani ladang yang telah dikelola turun-temurun, yang semakin tergerus secara perlahan namun pasti.

Di sisi lain, warga di Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua dihadapkan pada ancaman intimidasi dan upaya kriminalisasi. Kehadiran aparat kepolisian yang berjaga di konsesi PT. Mayawana Persada menimbulkan rasa takut di kalangan warga, meski seharusnya tugas dan fungsi aparat penegak hukum (APH) bukan untuk menjaga konsesi. Sementara itu, perjuangan warga untuk mempertahankan wilayah kelola dan hak atas sumber daya lahan, serta bukit berhutan yang telah mereka jaga (Tanah Colap Torun Pusaka), yang kini diserobot perusahaan, menghadapi ancaman masalah hukum. Misalnya, dua warga Desa Kualan Hilir, Fendy dan Riky, baru-baru ini dipanggil oleh Polres Ketapang untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus lama yang seharusnya tidak perlu dibangkitkan kembali.

Pembukaan lahan besar-besaran oleh PT. Mayawana Persada berdampak buruk bagi masyarakat, dengan penggusuran lahan tanpa persetujuan di Blok K, L, M, N, dan B. Alat berat seperti excavator terlihat di lapangan, termasuk di Blok N yang terletak di Desa Kampar Sebomban, Kecamatan Simpang Dua, dan Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu. Pemantauan menunjukkan alat berat sedang membersihkan lahan yang sebelumnya telah digusur.

Sedangkan Blok M masuk dalam wilayah kampung Bagan Poring dan Desa Sekucing Baru.
Terpantau 3 buah excavator yang sedang tidak beraktivitas, tapi terlihat ada vegetasi jenis
albasia yang sudah ditanam.

Di Blok K, yang mencakup wilayah Dusun Setontong, Bagan Poring, dan Desa Kualan Hilir, terpantau 12 excavator yang sedang membuka lahan untuk pembangunan jalan. Di tempat yang sama, sempat terjadi ketegangan antara masyarakat dan aparat kepolisian akibat penggusuran paksa lahan milik warga oleh perusahaan. Beberapa warga yang menentang tindakan tersebut terlibat perkelahian dengan personel Brimob yang berada di lokasi. Meskipun bentrokan fisik antara masyarakat dan aparat berhasil diselesaikan secara damai, masalah utama terkait penggusuran lahan milik masyarakat belum menemukan penyelesaian atau kesepakatan dengan perusahaan.

Terakhir di Blok B wilayah Dusun Bagan Kapas, Desa Kuala Labai dan Blok I wilayah Dusun Selimbung, Desa Sekucing Kualan, menurut informasi dari masyarakat juga terjadinya pembukaan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Lokasi ini cukup sulit dijangkau karena waktu dan medan yang cukup berat mengingat kondisi cuaca saat itu sedang tidak mendukung. (Foto: Dok. Walhi Kalbar)

Selain kondisi di sekitar blok konsesi, penelusuran lapangan juga mengungkapkan bahwa wilayah kelola rakyat tersebut ternyata merupakan habitat sekaligus jalur migrasi bagi Orangutan. Kehadiran perusahaan perkebunan kayu PT. Mayawana Persada telah mempersempit habitat satwa yang dilindungi ini. Penggusuran habitat Orangutan memaksa mereka untuk bermigrasi ke wilayah hutan yang masih tersisa, yang kemudian menimbulkan potensi konflik antara Orangutan dan masyarakat sekitar. Salah satunya terjadi di Kampung Selimbung, Desa Sekucing Kualan, Kecamatan Simpang Hulu, di mana warga sering mendengar suara Orangutan dari arah hutan pada pagi hari dan pernah melihat sarang Orangutan yang hanya berjarak kurang dari 2 jam perjalanan dari kampung.

Pada 9 November 2024, Tim WALHI Kalimantan Barat kembali melakukan penelusuran di sekitar habitat Orangutan, dengan berjalan sejauh 3 km dan menandai titik koordinat (GPS) di area hutan yang masih utuh. Hutan di wilayah ini sebagian besar merupakan lahan rawa gambut yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman hutan dan buah, seperti pohon meranti (Shorea), punak (Tetramerista), dan mangifera, serta berbagai tanaman lainnya. Namun, sebagian wilayah tersebut sudah dibuka oleh PT. Mayawana Persada untuk ditanami tanaman monokultur akasia. Eksploitasi ini mengganggu habitat Orangutan dan mengurangi area berhutan yang selama ini menjadi tempat mereka membuat sarang dan mencari makanan.

Di blok O dan P, yang terletak di wilayah Kampung Munggu Naning dan berbatasan dengan Kampung Selimbung, Desa Sekucing Kualan, ditemukan sekitar 20 sarang Orangutan dengan berbagai kondisi, dari yang masih hijau hingga yang sudah cokelat dan rusak. Ongki, seorang warga Dusun Lelayang, sering mendengar suara Orangutan, yang semakin menguatkan dugaan bahwa terdapat populasi Orangutan di area hutan tersebut, dengan bukti penemuan sarang dan suara mereka.

Di Blok J, yang terletak di Kampung Munggu Naning dan berbatasan dengan Kampung Selimbung, hanya ditemukan tiga sarang Orangutan, yang sudah lama ditinggalkan dan rusak. Blok J ini juga termasuk dalam rencana ekspansi PT. Mayawana Persada yang belum dilaksanakan. Kehadiran konsesi perkebunan kayu PT. Mayawana Persada di wilayah kelola rakyat telah menyebabkan krisis dan ketidakadilan yang hingga kini belum ada penyelesaian pasti. Ancaman konflik tidak hanya melibatkan warga, tetapi juga potensi konflik antara warga dan satwa yang habitatnya hilang dan terpaksa bermigrasi ke wilayah pemukiman. Komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualatn di Simpang Hulu dan sekitarnya masih menunggu negara untuk memberikan solusi dan mengembalikan kedaulatan atas sumber kehidupan mereka yang telah dirampas oleh perusahaan.

Oleh Walhi Kalimantan Barat

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *