Penyu Terancam Hilang Akibat Pulau Gelam Ditambang

  • Share
Penyu Hijau yang sedang tidur diantara karang Pulau Gelam/Victor Fidelis

INIBORNEO.COM, Pontianak – Yayasan WeBE Konservasi Ketapang telah melakukan penemuan yang cukup mengkhawatirkan di Pulau Gelam, Kendawangan, Kalimantan Barat pada bulan September 2022. Beberapa cangkang telur penyu yang sudah rusak ditemukan di bekas galian lubang di pulau tersebut. Temuan ini menjadi bukti bahwa Pulau Gelam masih menjadi salah satu lokasi tujuan bagi penyu untuk bertelur.

Pulau Gelam sendiri merupakan salah satu pulau kecil dengan luas sekitar 28.000 m² atau sekitar 28 km². Pulau ini merupakan bagian dari zona Kawasan Konservasi Kendawangan, Kabupaten Ketapang, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Taman Pulau Kecil Kendawangan Kabupaten Ketapang pada tahun 2019 dan diterbitkan pada tahun 2020. Namun, saat ini Pulau Gelam sedang menghadapi ancaman serius akibat aktivitas eksplorasi pasir kuarsa oleh PT Sigma Silica Jayaraya (PT SSJ).

Pulau Gelam/Victor Fidelis

Izin eksplorasi tersebut telah diterbitkan pada tahun 2021 dan telah menarik perhatian khusus karena Pulau Gelam menjadi habitat bagi berbagai jenis satwa, seperti dugong, penyu, padang lamun, serta hutan mangrove yang luas di sepanjang pesisir pulau. Kehadiran aktivitas pertambangan tersebut jelas mengancam kelestarian ekosistem Pulau Gelam.

Ketua Yayasan WeBe Ketapang, Setra Kusumardana, menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak dari masuknya perusahaan di Pulau Gelam, khawatir bahwa nasib pulau ini akan mengikuti jejak Pulau Bawal yang dulunya juga merupakan pusat penyu namun akhirnya terdampak oleh aktivitas perusahaan sawit dan mengakibatkan lenyapnya penyu di sana.

“Bukan bisa, tapi sudah. Buktinya itu tadi temuan cangkang telur penyu di Pasir Pulau Gelam,” kata Ketua Yayasan Webe Ketapang Setra Kusumardana.

Berdasarkan laporan Yayasan WeBe, Pulau Cempedak dan Pulau Gelam merupakan tempat singgah penyu untuk bertelur dan mencari makan, yang juga didukung oleh keterangan warga setempat. Para nelayan dan mantan pemburu penyu membenarkan bahwa Pulau Gelam dahulu menjadi tempat yang sering dikunjungi oleh penyu sebelum masuknya perusahaan ke pulau tersebut.

Salmin (41), seorang nelayan lokal, menyatakan bahwa meskipun penyu paling banyak ditemukan di Pulau Cempedak, namun mereka juga sering ditemui di perairan sekitar Pulau Gelam. Sementara itu, Arsyad (47), seorang mantan pemburu penyu, mengungkapkan bahwa ia sangat familiar dengan jalur-jalur yang sering dilalui penyu di sekitar Pulau Gelam sebelum adanya regulasi yang melindungi satwa tersebut.

Salmin maupun Arsyad telah menjalin hubungan yang erat dengan laut, menggantungkan harapan hidup mereka pada kesuburan perairan dan keberagaman hayati yang dimiliki oleh Pulau Gelam dan sekitarnya. Mereka paham betul bahwa jika aktivitas tambang diperbolehkan di Pulau Gelam, maka area yang menjadi sumber rezeki mereka akan terancam. Selain itu, dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah tambang juga akan merusak ekosistem laut, mengancam keberlangsungan hidup ikan dan satwa laut lainnya.

“Habis sudah,” ucap mereka.

Penyu dan Tambang

Pada tahun 2021, dua perusahaan berhasil memperoleh izin eksploitasi pasir kuarsa secara resmi dari pemerintah pusat, yakni PT Sigma Silica Jayaray (PT SSJ) dan PT Inti Tama Mandiri. Kabar ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang peduli terhadap lingkungan dan keberlangsungan habitat satwa yang dilindungi, seperti penyu hijau dan penyu sisik, yang tinggal di Pulau Gelam.

Meskipun banyak penolakan dan ancaman lingkungan serta sosial yang ditimbulkan oleh rencana eksploitasi ini, perusahaan-perusahaan tersebut nampaknya tetap bertekad untuk meningkatkan kegiatan tambang mereka. Laporan dari warga setempat menyebutkan bahwa aktivitas tambang masih terus berlangsung hingga saat ini, tanpa memperhatikan konsekuensi yang mungkin terjadi terhadap ekosistem dan keberlangsungan hidup satwa yang ada di pulau tersebut.

Di satu sisi, Pulau Gelam telah diakui sebagai habitat yang dilindungi bagi berbagai jenis satwa, sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar, serta keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.

Selain itu, Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor SE.526 Tahun 2015 juga mengatur tentang Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh, dan/atau Produk Turunannya. Namun, tampaknya keputusan untuk memberikan izin eksploitasi kepada perusahaan-perusahaan tambang tersebut mengabaikan perlindungan lingkungan dan satwa yang dilindungi tersebut.

Berbagai pihak sudah berusaha untuk menyuarakan protes karena khawatir aktivitas perusahaan yang berlebihan akan membuat habitat dan ekosistem yang ada di Pulau Gelam hancur. Tidak sedikit yang menyayangkan lolosnya izin tambang oleh pusat tanpa kajian mendalam.

Jika hal ini tidak dihentikan, maka Pulau Gelam dan penghunginya akan tinggal nama saja.

“Sudah banyak aduan mulai dari petisi hingga laporan ke Polda Kalbar untuk membuat tambang tidak lagi beroperasi. Ini merupakan upaya masyarakat dan yayasan untuk menghentikan tambang itu,” tutur Setra.

Kenyataannya, habitat penyu semakin menyusut dari tahun ke tahun, menyebabkan jumlah reptil ini terus berkurang. Contohnya adalah penyu hijau, yang menurut penelitian oleh Wawan Kurniawan, Erianto, dan Iswan Dewantara yang dipublikasikan dalam Jurnal Hutan Lestari pada tahun 2020, populasi penyu hijau terus mengalami penurunan.

Salah satu penyebab utamanya adalah kerusakan vegetasi, yang membuat penyu enggan mendarat untuk bertelur. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena habitat peneluran penyu hijau harus tetap stabil. Penelitian tersebut mencatat bahwa habitat peneluran penyu hijau harus terjaga baik secara fisik maupun morfologi pantainya. Ekosistem pantai tempat peneluran penyu harus dijaga agar tidak rusak karena hal tersebut akan secara tidak langsung mempengaruhi proses perkembangbiakan penyu.

Bayangkan jika habitat penyu hijau rusak akibat eksploitasi tambang, maka proses pembuahan dan peneluran akan menjadi sulit. Hal ini akan menimbulkan kebingungan dan stres pada penyu hijau ketika hendak bertelur, yang pada akhirnya akan mengganggu proses kelahiran tukik dan mengancam keberlangsungan ekosistem alam.

Diintai Kepunahan

Yayasan WeBe Ketapang mencatat bahwa pergerakan migrasi penyu dari sekitar pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Kendawangan cukup massif, mengingat kondisi alam yang masih stabil. Namun, kondisi ini akan berubah seiring dengan adanya aktivitas komersial yang merusak. WeBe mencontohkan kepunahan penyu di Pulau Bawal sebagai contoh yang cukup jelas. Pulau Bawal dulu menjadi pusat penyu di antara pulau-pulau di kawasan konservasi, namun sejak masuknya perusahaan sawit dan invasi besar-besaran, keberadaan penyu di sana tinggal nama.

Hartono, masyarakat Pulau Cempedak, sedang mengangkat seekor penyu yang ditemukan mati di sekitar perairan Pulau Cempedak/Victor Fidelis

WeBe khawatir hal yang sama juga akan terjadi di Pulau Gelam. Pulau Gelam kaya akan pasir kuarsa. Izin yang diberikan kepada dua perusahaan untuk melakukan kegiatan tambang diprediksi akan merugikan habitat yang hidup di sana.

Untuk mengetahui sejauh mana ancaman keberadaan tambang, saya menemui Dosen Ilmu Kelautan dan Ketua Jurusan Kajian Hidrografi Pesisir MIPA Universitas Tanjungpura, Arie Antasari Kushadiwijayanto. Menurutnya, kegiatan seperti pertambangan rentan merusak kondisi lingkungan, termasuk perairan dan ekosistemnya. Kawasan perairan Kendawangan Ketapang, meskipun mirip dengan kawasan lain di Kalbar seperti Kota Pontianak, Mempawah, dan Sambas yang masih baik, bisa terganggu jika ada kegiatan komersil yang merusak, seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.

“Kondisi lingkungan terganggu dapat membahayakan ekosistem, terutama jika kegiatan tersebut berlangsung di zona inti atau perairan sekitarnya. Apalagi limbah yang dihasilkan oleh tambang kemungkinan dapat mengandung logam berat dan berpotensi merusak ekosistem laut,” jelas Arie.

Untuk mengetahui kondisi ekologi Pulau Gelam dengan lebih jelas, diperlukan penelitian lebih lanjut. Namun, kelemahan saat ini adalah kurangnya penelitian tentang kawasan Konservasi Kendawangan, terutama Pulau Gelam yang kontroversial. Dampak lain dari eksploitasi tambang terhadap kawasan konservasi adalah penurunan daya dukung lingkungan dan dampak ekonomi pada masyarakat setempat yang menggantungkan hidup mereka pada lingkungan tersebut.

“Isu Pulau Gelam ini harus diawasi dengan baik karena dampaknya bisa sangat mengerikan jika aktivitas tambang dilakukan secara massif. Tak hanya penyu dan dugong yang akan hilang, tetapi seluruh ekosistem akan terancam punah. Tidak bisa dibayangkan kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi akibat tambang di Pulau Gelam,” tekannya.

Larangan Merusak Kawasan Konservasi

“Dalam aturan kawasan inti, masuk perlindungan penuh. Tak boleh ada unsur yang bisa merusak lingkungan kawasan konservasi,” kata Ketua Yayasan Webe Ketapang, Setra Kusumardana.

Ini sesuai dengan PERMEN KP Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan. Zona inti adalah bagian Kawasan Konservasi Perairan yang letak, kondisi, dan potensi alamnya merupakan daerah pemijahan, pengasuhan, dan/atau alur ruaya ikan.

Penyu adalah mahluk yang sensitif, sebagaimana diungkapkan oleh Dwi Suprapti dari Indonesia Aquatic Megafauna – Flying Vet (IAM Flying Vet). Penyu memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, terutama terhadap aktivitas manusia yang dianggap mengganggu.

Sekecil apapun gangguan dapat membuat mereka enggan ke darat, bahkan jika itu hanya gerakan bara rokok yang tersulut di kejauhan.

Perilaku sensitif penyu ini akan terasa saat hendak naik ke darat untuk bertelur. Biasanya, mereka ‘memantau’ dengan menyumbulkan kepala kecilnya ke permukaan air hanya untuk melihat apakah aman atau tidak saat naik ke darat. Tindakan ini dilakukan berkali-kali hingga memastikan area tempat bertelur tidak memiliki gangguan.

“Jika ada aktivitas manusia, penyu hijau tidak akan ke darat. Mereka tidak mau, bahkan jika terpaksa bertelur, mereka akan melakukannya di air ketimbang harus ke area yang banyak aktivitasnya,” terang Dwi.

Ada banyak jenis penyu di Indonesia, termasuk Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Pipih (Natator depressus), dan Penyu Tempayan (Caretta caretta). Semua jenis penyu ini dilindungi.

Dari enam jenis penyu ini, dua di antaranya memilih hidup di perairan Pulau Gelam dan pulau kecil lainnya di perairan Kendawangan, Ketapang, dengan penyu hijau menjadi yang terbanyak.

Penyu hijau biasanya ditemukan di sepanjang pantai pulau kecil di Kalbar, termasuk di Pulau Gelam dan sejumlah pulau kecil di sekitarnya.

Penyu hijau ini hampir dapat ditemukan di seluruh perairan Indonesia, termasuk pesisir bagian barat seperti Aceh, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung. Begitu juga di kawasan tengah seperti Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Karimun Jawa, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, serta di kawasan timur seperti Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua.

Mereka dikenal sebagai mahluk yang mudah beradaptasi dan tidak sulit mencari makan. Cukup ada daun atau tumbuhan, mereka akan bertahan di lingkungan itu.

Penyu hijau termasuk hewan pelintas samudera dengan jarak tempuh hingga ribuan kilometer. Namun, mereka tidak lupa untuk ‘pulang’ bertelur ke habitat pertama mereka. Tak heran jika Pulau Gelam bisa dikatakan sebagai ‘rumah’ asal mereka. Mau tidak mau, mereka akan kembali.

Namun, kondisi itu akan berbeda jika Pulau Gelam sudah memiliki aktivitas tinggi. Dengan diberikannya izin legal untuk penggalian tambang, membuka babak baru akan nasib satwa ini di masa depan.

Dwi tidak optimis tentang keberlangsungan hidup hewan dilindungi ini. Dengan perilaku yang sensitif terhadap pergerakan, getaran, hingga cahaya buatan, pun akan sulit bagi penyu hijau untuk bertahan di sana.

Menurut Dwi, adanya tambang malah akan memperparah keengganan penyu untuk mendarat di sana. Mengingat penyu adalah mahluk yang sensitif, jika tempat habitat aslinya ramai oleh aktivitas manusia, maka mereka akan terganggu dan tidak nyaman.

“Jika kita lihat ada tambang, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sistem pembuangan limbahnya. Selain penyu di sana ada dugong dan padang lamun yang jadi makanan mereka akan hilang. Bisa karena limbah, aktivitas bolak-balik kapal pengangkut yang bisa merusak kondisi lingkungan di sana,” ujar Dwi.

Menurut Dwi, tidak ada yang bisa menjamin aktivitas tambang tidak akan memusnahkan siklus penyu di Pulau Gelam.

“Pulau Gelam masuk pulau kecil, dengan dua tambang yang mengelola hampir semua kawasan, akan lebih sulit bagi penyu untuk tetap di sana. Mereka akan mengalah dengan adanya tambang itu,” ujarnya.

Dari laporan pemerintahan Desa Kendawangan, Pulau Gelam saat ini nyaris tidak berpenghuni. Ditinggalkan satu per satu penduduk dengan berbagai alasan, paling mencuat adalah soal ekonomi.

Meski secara kependudukan Pulau Gelam tidak berpenghuni, namun Pulau Gelam masih jadi tempat hidup habitat satwa dan tumbuhan dilindungi. Tak hanya itu, pulau kecil tersebut pun sudah menjadi sumber ekonomi nelayan sekitar.

Dalam dua tahun ini, Pulau Gelam mendapat sorotan usai dua korporasi tambang mendapat izin melakukan penggalian pasir kuarsa, tepatnya tahun 2021. Padahal Pulau Gelam masuk dalam konservasi RPZ Kendawangan 2020.

Dosen Bioekologi dan Konservasi MIPA Universitas Tanjungpura, Ika Safitri, untuk mencari tahu tentang kawasan konservasi mengatakan bahwa tak hanya sekedar kawasan lindung yang memiliki sifat khas tempat keanekaragaman hayati, baik berupa flora maupun fauna.

Dalam pengertiannya, yang namanya konservasi adalah tempat yang dilindungi sehingga tidak ada akivitas yang bisa merusak lingkungan di kawasan itu.

Apalagi untuk zona inti. Menurut Ika, zona ini harus steril kegiatan yang merusak karena masuk dalam perlindungan penuh sesuai dokumen RPZ Kendawangan tahun 2020.

Sudah jelas katanya, kawasan inti tidak boleh ada aktivitas tambang. Seperti di Kawasan Konservasi Paloh, Kabupaten Sambas tempat penyu yang sama sekali tidak diperbolehkan ada tambang.

“Jika masih diizinkan, ya kawasan konservasi tapi tak seperti konservasi. Tepatnya tak lagi konservasi,” ucapnya.

Ia pun menyinggung soal pentingnya penelitian di Pulau Gelam dan sejumlah pulau sekitar penyu untuk melihat sejauh mana dampak yang bisa terjadi.

Ini katanya akan sangat berguna untuk menjadikan data menjadi baseline manual. Ini juga untuk melihat tujuan konservasi itu. Harusnya, kawasan konservasi menjadi ‘rumah’ tempat aman semua satwa dan benar-benar menjadi kawasan konservasi yang sebenarnya.

Kendawangan dipilih karena mereka punya penyu dan dugong. Terutama dugong yang jadi icon Kendawangan. Jika mereka hilang, akan sia-sia kendawangan menjadi pusat perlindungan dugong karena mereka dipilih karena keunikan itu.

Saya juga bertanya kepada Senior Director Marine Program Indonesia, Victor Nikijuluw saat berada di Kota Pontianak. Sama seperti yang lain, penetapan kawasan konservasi tidak bisa sembarang ada kajian yang mendalam sebelum disahkan.

Jika ada persoalan yang bisa merusak kawasan, harus bisa diselesaikan. Namun, jika ada persoalan di Kawasan konservasi pastinya ada yang salah.

“Pasti ada yang salah dalam mengurus ini. Kita pertanyakan mengapa mereka mengeluarkan hal itu,” ucanya.

Victor menegaskan aktivitas tambang jika itu ekploitasi maka itu tidak diperbolehkan. Konservasi itu sejalan dengan kebijakan, jika berubah akan bertentangan dengan konsep konservasi itu sendiri. Pemerintah katanya harus tegas dan berani untuk menyelamatkan kawasan konservasi tersebut, salah satunya membatalkan izin tambang itu.

Penyumbang Ekosistem Laut

Dalam banyak penelitian, penyu diketahui sangat bergantung pada padang lamun. Faktanya, keberadaan penyu memiliki peran yang sangat penting bagi ekosistem dan lingkungan sekitar laut serta pulau-pulau di sekitarnya. Wilson EG, Mille, KL, Allison D, dan Magliocca M dalam tulisannya di situs oceana.org mencatat bahwa penyu, terutama penyu hijau, mampu menyumbang secara positif pada kehidupan lamun dan laut.

Penyu, terutama penyu hijau, sangat menyukai tumbuhan, dengan lamun menjadi salah satu area makan favoritnya. Memakan lamun membantu penyebaran lamun agar tumbuh kembali di sepanjang pergerakan mereka.

Perilaku makan penyu hijau juga membantu dalam penyebaran lamun. Dengan seringnya memakan daun lamun di bagian yang sama, lamun hidup menyebar dan tidak terkumpul pada satu tempat.

Kebiasaan penyu hijau dalam memakan lamun dengan mengambil beberapa sentimeter dari pangkal daun membantu meningkatkan nutrisi dan produktivitas lamun. Penyu hijau turut menjaga keberlangsungan hidup lamun dan rumput laut.

Tak dapat disangkal, penyu memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem laut yang sehat. Laut yang sehat akan menjadi habitat bagi berjuta-juta ikan yang merupakan sumber protein penting bagi manusia.

Dosen Teknik Lingkungan Universitas Teknologi Sumbawa, Nurul Amri Komarudin, dalam tulisannya di https://uts.ac.id/2022/08/25/konservasi-penyu-di-kawasan-ekosistem-esensial-nipah-sebagai-upaya-dalam-menjaga-sumber-daya-alam-dan-lingkungan-perairan/ menyebut bahwa penyu hijau mampu menyuburkan area sekitarnya. Namun, untuk mewujudkannya, penyu memerlukan habitat yang baik, terutama area makan dan bertelurnya agar ekosistem lingkungan terjaga. Jika penyu tidak mampu beradaptasi karena lingkungannya rusak, maka perkembangan penyu akan terganggu, bahkan keberadaannya pun bisa terancam punah.

Perilaku penyu hijau ini semakin memperkuat peran penting hewan ini dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.

“Saya pun mengklarifikasikan persoalan Kawasan Konservasi dan penyu yang hidup di sana kepada Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, Syarif Iwan Taruna Alkadri,” kata Amri dalam tulisannya. Ia menegaskan bahwa penyu dan dugong adalah mahluk dilindungi dan tidak boleh diganggu dalam aktivitas hidupnya di habitat aslinya.

Menurut Iwan, jika ada pelanggaran di zona inti kawasan konservasi, seperti tambang yang beroperasi di Pulau Gelam yang merupakan salah satu area konservasi Kendawangan, tindakan tegas harus diambil. BPSPL Pontianak berjanji tidak akan mengeluarkan Izin Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk dua perusahaan tambang tersebut jika terbukti melanggar aturan.

Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalimantan Barat, Fran Zeno. Ketika sebuah kawasan konservasi ditetapkan, seluruhnya dilindungi, dan ia tidak mempersoalkan investasi selama tidak melanggar aturan. Namun, investasi harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi.

Hingga saat ini, DKP Kalbar dan BPSPL Pontianak tetap mengawasi area kawasan konservasi meski dengan keterbatasan sumber daya manusia dan prasarana. Melanggar kawasan konservasi akan memiliki konsekuensi serius.(***)

Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, Suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak.com, Mongabay Indonesia dan Projeck Multatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan WeBe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *