Petani Mitra Plasma di Kalbar Hadapi Ketidakadilan

  • Share
Lahan peremajaan sawit di Kalbar

INIBORNEO.COM, Pontianak – Kondisi petani mitra plasma perusahaan di Kalimantan Barat menjadi persoalan serius yang membutuhkan perhatian. Upaya masyarakat untuk menuntut hak mereka sering kali terhenti akibat intervensi perusahaan yang memanfaatkan figur berkuasa di desa atau “jagoan kampung,” menciptakan rasa takut dan berujung pada permasalahan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian.

Teraju Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada pendidikan, pengabdian, dan advokasi masyarakat, menyoroti beberapa pelanggaran terhadap Undang-Undang Investasi, Undang-Undang Perkebunan, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Lembaga ini juga menilai bahwa pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pelanggaran yang terjadi.

“Perhatian terhadap masyarakat adat, komunitas lokal, dan petani yang menjadi korban sistem inti-plasma masih sangat minim. Perusahaan sering menggunakan alasan seperti dana talangan, kompensasi, tali asih, dan uang tunggu untuk menekan masyarakat,” ujar Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutomo atau yang biasa dipanggil Bung Tomo.

Menurutnya, skema bagi hasil yang diterapkan perusahaan sering kali tidak masuk akal dan bahkan tidak manusiawi. Akibatnya, masyarakat adat, komunitas lokal, dan petani kehilangan tanah mereka akibat janji manis yang diberikan. Banyak dari mereka yang akhirnya terpaksa bekerja sebagai buruh di perkebunan dengan kondisi yang jauh dari layak.

Sayangnya, data mengenai petani mitra plasma tidak tersedia di Dinas Perkebunan, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Hal ini menunjukkan lemahnya pendataan dan pengawasan terhadap nasib petani mitra plasma.

“Masalah ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah besar bagi gubernur dan bupati terpilih. Upaya penyelesaian harus dimulai dengan memastikan transparansi data, pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan, serta memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat, komunitas lokal, dan petani yang menjadi mitra plasma,” lanjutnya.

Konflik lahan antar masyarakat juga sering terjadi akibat keterbatasan lahan yang tersedia. Konflik ini biasanya disebabkan oleh klaim atas lahan yang kerap masuk ke dalam konsesi perusahaan. Selain itu, masih terdapat perusahaan yang belum memenuhi kewajiban mereka untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat yang telah sepakat menjadi mitra dengan skema inti-plasma.

Kenyataannya, banyak masyarakat yang menjadi petani mitra plasma perusahaan justru menderita. Namun, mereka tidak mendapatkan pembelaan dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab, termasuk yang diberi mandat saat pemilu. Perusahaan yang melanggar aturan tidak pernah mendapat sanksi tegas, sementara masyarakat yang memperjuangkan hak mereka, misalnya dengan memportal lahan, justru sering dikriminalisasi.

“Masalah ini mencerminkan ketidakadilan yang mendalam, di mana suara dan hak masyarakat adat serta petani mitra plasma kerap diabaikan demi kepentingan perusahaan,” pungkasnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *