INIBORNEO.COM, Pontianak – Praktik bisnis di sektor perkebunan sawit masih menghadapi tantangan besar dalam menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Sepanjang tahun 2024, Komnas HAM mencatat 44 aduan terkait entitas bisnis, dengan 13 kasus yang tercatat resmi. Dari jumlah tersebut, 6 kasus berkaitan dengan ketenagakerjaan dan 21 kasus terkait konflik agraria — dua masalah yang menjadi wajah nyata pelanggaran HAM di sektor ini.
Investigasi di lapangan mengungkapkan situasi lebih memprihatinkan. Di Kalimantan Barat, setidaknya 1.000 buruh di enam perusahaan perkebunan sawit ditemukan bermasalah dalam kontrak kerja. Dari jumlah tersebut, 800 buruh mengalami pelanggaran serius, seperti kontrak kerja yang tidak jelas, tidak adanya jaminan kesehatan, minimnya standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3), hingga absennya jaminan sosial.
“Lima perusahaan menyatakan bersedia memperbaiki kondisi buruh. Salah satu perusahaan di Ketapang tetap abai meski sudah dipanggil dan diperingatkan oleh pemerintah,” ungkap Agus Sutomo, Direktur Teraju Indonesia atau yang kerap dipanggil Bung Tomo.
Hak-Hak Buruh Diabaikan
Buruh dengan status kerja tidak jelas kehilangan banyak hak dasar. Mereka tidak mendapat Tunjangan Hari Raya (THR), tidak terdaftar dalam BPJS Kesehatan, dan tidak mendapatkan kompensasi jika mengalami kecelakaan kerja. Bahkan, kasus buruh perempuan yang mengalami kecelakaan saat hamil tidak direspons dengan tanggung jawab perusahaan.
“Sudah ada aksi serikat buruh, pertemuan dengan manajemen, hingga aduan ke pemerintah daerah, namun hasilnya nihil. Buruh takut jika aksi mereka justru dibalas dengan tindakan represif,” lanjutnya.
Dalam konteks ini, pelaksanaan Standar Norma dan Pengaturan Hak Asasi Manusia (SNP-HAM & Bisnis) yang dikeluarkan Komnas HAM menjadi sangat penting. SNP-HAM & Bisnis berfungsi sebagai panduan untuk memastikan perlindungan hak-hak buruh dan keberlanjutan industri, sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) nasional.
Namun, pelaksanaan panduan ini memerlukan konsensus multi-pihak — mulai dari buruh, pelaku usaha, pemerintah, hingga aparat penegak hukum. Sayangnya, dalam praktik di lapangan, komitmen tersebut masih jauh dari ideal.
Pentingnya Regulasi Khusus untuk Buruh Sawit
Sektor perkebunan sawit telah diakui sebagai industri strategis nasional dengan kontribusi besar terhadap devisa negara. Pada masa pandemi Covid-19 saja, sektor ini menyumbang Rp250 triliun, dan pada 2024 diperkirakan menyumbang lagi sebesar Rp88 triliun ke kas negara.
“Kalau sudah diakui sebagai sektor strategis, tetapi buruhnya tetap tidak dilindungi, ini ironis. Saat ini buruh perkebunan sawit masih diperlakukan seperti budak modern,” ujar Bung Tomo.
Karena itu, regulasi khusus untuk perlindungan buruh di sektor perkebunan sawit dinilai sangat mendesak, agar buruh tidak terus-menerus menjadi pihak yang dirugikan dalam rantai pasok industri ini.
Konflik Agraria Memperparah Situasi
Konflik agraria di sektor sawit turut memperburuk nasib buruh. Banyak petani plasma yang dirugikan dalam pola kemitraan, akhirnya terpaksa bekerja sebagai buruh sawit dalam kondisi kerja yang jauh dari layak. Tidak jarang, perusahaan memanfaatkan buruh untuk menghadapi aksi protes masyarakat adat atau petani plasma, menciptakan benturan sosial di lapangan.
“Ketika masyarakat adat memblokir jalan, perusahaan menekan buruh dengan alasan produksi terganggu, dan gaji buruh bisa dipotong. Begitu juga sebaliknya. Ini pola konflik yang dibiarkan bahkan kadang-kadang dimanfaatkan oleh perusahaan,” pungkasnya.