INIBORNEO.COM, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengusulkan pembentukan jejaring intelijen di bidang perikanan untuk regional ASEAN, serta Arafura dan Timur Seas (ATS). Jejaring intelijen ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan penegakan hukum dalam pemberantasan illegal fishing.
“Inisiasi pembentukan jejaring Fisheries Intelligence melalui RPOA-IUU ini akan memperkuat upaya pemberantasan IUU Fishing di Asia Tenggara,” ucap Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin melalui keynote speech dalam kegiatan the RPOA-IUU Fisheries Intelligence Training, pada 8 April 2020 lalu.
Kegiatan intelijen di bidang perikanan (Fisheries intelligence) terbukti merupakan cara yang sangat efektif untuk mencegah dan memberantas praktik penangkapan ilegal di seluruh dunia. Hal tersebut dibuktikan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan Kanada (DFOC) yang telah membentuk National Fisheries Intelligence Services (NFIS) dan Otoritas Manajemen Perikanan Australia (AFMA) yang memiliki unit intelijen sendiri.
“Jadi negara-negara internasional ini telah memiliki unit intelijen masing-masing dan sedang mengembangkan jejaring internasional di bidang intelijen perikanan,” ungkap Direktur Jenderal yang biasa disapa Adin ini.
Merespons tren pembentukan jejaring intelijen internasional di bidang perikanan, the Regional Plan of Action to Combat Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (RPOA-IUU), sebuah lembaga regional yang beranggotakan negara-negara ASEAN ditambah Australia, Timor-Leste, dan Papua Nugini, melaksanakan kegiatan the RPOA-IUU Fisheries Intelligence Training pada tanggal 5-8 April 2022.
“Intelijen di bidang perikanan merupakan pendekatan yang harus dilakukan untuk memberantas illegal fishing yang memiliki modus operandi yang sangat kompleks,” ujar Adin.
Lebih lanjut Adin menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya telah melaksanakan kegiatan pengawasan yang menerapkan prinsip intelijen melalui implementasi integrated surveillance system (ISS).
“Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil analisis VMS, AIS, Radar, dan dilengkapi dengan hasil pemantauan melalui udara (airborne surveillance) serta informasi masyarakat, kami secara efektif berhasil melaksanakan penyergapan menggunakan kapal pengawas perikanan,” papar Adin.
Lebih lanjut Adin menyampaikan bahwa kegiatan intelijen di bidang perikanan akan melengkapi efektivitas sistem monitoring, control, and surveillance (MCS).
“Intelijen di bidang perikanan akan semakin meningkatkan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum terhadap illegal fishing. Hal tersebut dibuktikan dalam penangkapan kapal pelaku illegal fishing MV. Viking dan MV. Nika,” pungkas Adin.
Sementara itu Manajer ATSEA 2 Project, Dr. Handoko Adi Susanto, menyampaikan kesiapannya untuk mendukung inisiasi pembentukan jejaring intelijen perikanan di kawasan ASEAN dan ATS.
“Pelatihan intelijen perikanan untuk negara-negara anggota RPOA-IUU dan ATS ini merupakan langkah awal dan ATSEA 2 Project siap untuk mendukung langkah-langkah selanjutnya,” ungkap Handoko.
Lebih lanjut Handoko menjelaskan bahwa kegiatan the RPOA-IUU Fisheries Intelligence Training diselenggarakan oleh Ditjen PSDKP KKP selaku Sekretariat RPOA-IUU bekerja sama dengan ATSEA 2 Project yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP), Global Environment Facility (GEF), dan Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA). Training yang diikuti oleh 43 peserta dari 10 negara tersebut menghadirkan narasumber dari National Fisheries Intelligence Services (NFIS) Kanada, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat, Center for Sustainable Ocean Policy (CSOP) Universitas Indonesia, dan Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI). Peserta yang hadir berasal dari Australia, Indonesia, Timor-Leste, Papua Nugini, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah menginstruksikan agar pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan terus diperkuat, termasuk melalui kerja sama internasional baik regional maupun bilateral. Langkah itu dimaksudkan untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan illegal fishing demi tercapainya penerapan prinsip ekonomi biru yang menjadikan ekologi sebagai panglima dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.(*)