INIBORNEO.COM, PONTIANAK – Sektor perkebunan kelapa sawit mengalami pertumbuhan begitu cepat. Akibatnya, wajah pedesaan di Indonesia berubah. Di sisi lain, perluasan area perkebunan tersebut memicu konflik antara perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat.
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, di Kalimantan Barat (Kalbar), diidentifikasi 69 konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Dari 69 kasus tersebut, 32 diantaranya berhasil diteliti.
Peneliti senior KITLV Leiden, Ward Berenschot mengungkapkan, konflik kelapa sawit umumnya bersumber dari rasa ketidakadilan terkait bagaimana perusahaan mendapatkan lahan dan bagaimana manfaat dari penggunaan lahan tersebut dibagikan.
“Konflik merugikan perekonomian dan individu secara signifikan, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan. Mencari cara bagaimana menyelesaikan konflik-konflik ini adalah sebuah tugas yang mendesak, namun juga tidak mudah,” kata Ward dalam acara peluncuran laporan riset dan diskusi publik bertema: “Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Barat: Evaluasi Terhadap Efektivitas Berbagai Mekanisme Resolusi Konflik”, Selasa (19/1/2021).
Seperti diketahui, tim peneliti yang tergabung dalam penelitian: Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI), merilis laporan terbaru secara daring tentang bagaimana karakter umum konflik kelapa sawit di Kalbar: apa yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan, dan seberapa efektif upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut.
Dari 32 kasus yang diteliti di Kalbar, ada 21 kasus atau 66 persen keluhannya adalah permasalahan skema plasma, 15 kasus atau 47 persen terkait penyerobotan lahan. Hampir semua kasus konflik melibatkan dua atau lebih keluhan sekaligus. Itu kenapa jumlah persentasenye melebihi 100 persen.
Ward menjelaskan, keluhan pelaksanaan skema bagi hasil (plasma) seringkali berujung konflik, hal ini dipicu, beberapa perusahaan tidak merealisasikan lahan plasma seperti yang sudah dijanjikan; lahan plasma direalisasikan, tapi keuntungan yang dibagikan ke masyarakat tidak ada atau terlalu kecil; koperasi yang dibentuk untuk mengelola skema plasma tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena anggota masyarakat yang menjalankan koperasi tersebut tidak membagikan keuntungan secara transparan kepada anggotanya.
Sementara penyerobotan lahan, keluhan terbanyak berkaitan dengan cara perusahaan mendapatkan (atau tidak mendapatkan) persetujuan di awal dari masyarakat lokal pada proses pembebasan lahan. Keluhan ini disuarakan oleh masyarakat di 15 kasus konflik yang diteliti.
Meskipun perusahaan telah diwajibkan—baik secara hukum maupun standar industri kelapa sawit—untuk mendapatkan persetujuan masyarakat, tidak semua perusahaan melakukan upaya tersebut, sehingga masyarakat merasa bahwa mereka dicurangi atas tanah mereka.
Di beberapa kasus, perusahaan cenderung mengandalkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak mewakili anggotanya, tidak memberikan informasi yang lengkap atau keliru terkait dampak-dampak dari pembangunan perkebunan, menggunakan intimidasi oleh preman, atau kurangnya transparansi pembayaran kompensasi ke masyarakat.
Dari keluhan tersebut, solusi apa yang umumnya diminta oleh masyarakat? Temuan penting dari studi ini adalah bahwa dalam menyuarakan keluhan yang disebutkan di atas, secara umum masyarakat tidak menolak pembangunan kelapa sawit atau meminta penghentian operasi perkebunan.
“Dalam banyak kasus, permintaan utama masyarakat adalah untuk mendapatkan timbal balik yang lebih baik dari manfaat perkebunan kelapa sawit: misalnya, masyarakat menginginkan pembagian keuntungan yang lebih atau implementasi skema plasma yang lebih baik,” ujar Ward.
Selain itu, masyarakat juga menuntut kompensasi yang lebih baik atas tanah mereka yang hilang, meminta (sebagian) dari tanah mereka dikembalikan, dan meminta perusahaan agar lebih banyak berkontribusi kepada masyarakat lokal dalam hal peluang kerja dan manajemen buruh yang lebih baik.
“Pola ini menunjukkan juga bahwa pada umumnya masyarakat tidak menginginkan perkebunan untuk hengkang secara keseluruhan. Sebaliknya, mereka ingin mendapatkan timbal balik yang lebih baik atas tanah yang telah mereka kontribusikan untuk pembangunan perkebunan sawit,” terang ward.
Laporan riset juga menjelaskan, bahwa masyarakat umumnya menyuarakan keluhan mereka secara damai, melalui demonstrasi dan audiensi dengan pihak berwenang di tingkat lokal.
Namun penelitian ini menemukan sebuah kecenderungan yang mengkhawatirkan, yaitu para pemimpin protes seringkali dikriminalisasi oleh polisi dan manajemen perusahaan: terjadi penangkapan anggota masyarakat di 31 persen konflik yang diteliti di Kalbar, mencakup 94 kali penangkapan.
“Konflik-konflik tersebut juga menyebabkan 12 orang terluka,” ungkap Ward.
Secara umum, konflik kelapa sawit jarang terselesaikan. Di Kalimantan Barat, dalam 66 persen dari 32 konflik yang diteliti, masyarakat tidak (atau hampir tidak) berhasil sama sekali mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. Ketika konflik berhasil diselesaikan, prosesnya sangat lama: rata-rata 5 tahun.
Ahmad Dhiaulhaq, peneliti KITLV Leiden menjelaskan, bahwa salah satu alasan penting dari banyaknya konflik yang belum terselesaikan ini adalah karena pihak berwenang di tingkat lokal seringkali kurang berhasil dalam memfasilitasi proses penyelesaian konflik antara perusahaan dan masyarakat.
“Meskipun upaya fasilitasi dan mediasi sering dilakukan di Kalbar (72 persen dari semua kasus), dari 26 upaya fasilitasi oleh pemerintah daerah, DPRD dan polisi untuk menengahi konflik, hanya 3 kasus di mana kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat tercapai dan diimplementasikan,” ujar Ahmad.
Penelitian ini menemukan, bahwa secara umum mekanisme resolusi konflik yang ada untuk penyelesaian konflik kelapa sawit—pengadilan, fasilitas pengaduan RSPO dan mediasi informal oleh pemerintah lokal—masih belum efektif.
Alasan lain mengapa banyak konflik belum terselesaikan adalah sulitnya masyarakat mengakses mekanisme resolusi konflik formal seperti pengadilan dan fasilitas penyelesaian sengketa RSPO.
Mekanisme tersebut jarang digunakan. Di Kalbar, hanya 5 kasus yang dibawa ke pengadilan dan 5 kasus ke RSPO. Karena kombinasi beberapa faktor seperti kendala hukum, biaya, kekurangpercayaan, dan kerumitan prosedur membuat masyarakat enggan menggunakan mekanisme ini.
“Selain itu, ketika masyarakat menang di pengadilan (hanya di 3 kasus), putusan pengadilan seringkali tidak diimplementasikan,” ungkap Ahmad.
Sebaliknya, bahwa mediator profesional dengan kapasitas yang terlatih untuk memediasi konflik, jauh lebih lebih efektif dalam memfasilitasi penyelesaian konflik kelapa sawit.
Tim peneliti POCAJI memberikan beberapa rekomendasi tentang bagaimana pencegahan penyelesaian konflik dapat ditingkatkan. Untuk mencegah konflik lebih lanjut, laporan kebijakan ini merekomendasikan agar pemerintah daerah dapat memastikan bahwa perusahaan benar-benar mendapatkan ‘persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan’ atau FPIC dari masyarakat setempat sebelum memulai operasi; dan memantau dengan baik implementasi skema kerjasama inti-plasma.
Untuk meningkatkan penyelesaian konflik, laporan ini merekomendasikan perlu dibentuk lembaga mediasi atau desk resolusi konflik di tingkat provinsi atau kabupaten; meningkatkan kapasitas pihak berwenang di tingkat lokal dalam menyelesaikan konflik secara baik; pemerintah lokal agar bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian konflik.
“Kemudian perlu penegakan hukum yang lebih profesional dan terhindar dari tekanan informal dari aktor bisnis,” tegas Ahmad.
Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Heronimus Hero mengatakan, harusnya pemerintah kabupaten yang lebih memiliki peran strategis dalam mencegah dan menyelesaikan konflik. Sebab hampir semua wewenang evaluasi berada di pemerintah kabupaten.
“Wewenang lebih memang sudah ada di kabupaten, kunci utama penyelesaian konflik itu di kabupaten,” kata Hero.
Hero menyebut, pemerintah kabupaten bisa mengevaluasi, apakah perusahaan tersebut telah memberikan manfaat kepada semua pihak, artinya perusahaan untung, masyarakat sejahtera dan ekonomi maju.
“Karena yang beri izin itu di kabupaten. Sebab punya areal. Kabupaten diberikan instrumen yang sudah luar biasa. Evaluasi pemda ini yang paling strategis dan itu sah secara hukum,” ujar Hero.
Menurut Hero, semua aturan dalam perkebunan sudah ada, tinggal dijalankan. Perangkatnya juga sudah ada, tinggal dikerjakan.
“Kabupaten bisa memberi teguran kepada perusahaan. Tapi perusahaan juga harus dilindingi, sebab telah ada izin. Jika tidak ada izin, kabupaten bisa beri sanksi tegas,” harap Hero.
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menyebut, dalam upaya penyelesaian konflik perkebunan kelapa sawit, pemerintah kabupaten lebih banyak melibatkan perangkat desa dalam melakukan mediasi dan pendekatan terhadap kedua belah pihak yang berselisih.
“Di Kubu Raya lebih banyak melibatkan perangkat desa dalam menyelesaikan konflik,” ujar Muda.
Muda mengaku, sebagian besar konflik di daerah memang lebih disebabkan penyerobotan lahan dan tumpang tindih lahan transmigrasi. Dan sekarang lebih banyak pada konflik bagi hasil plasma. Selain itu, konflik juga terjadi antar perusahaan yang berdampingan.
“Dari 28 perusahaan yang ada di Kubu Raya, satu per satu kita tata dan selesaikan. Kita tata review ulang perizinan,” kata Muda.
Selain itu, terang Muda, belakangan muncul konflik baru, yakni muncul akibat takeover atau peralihan manajemen perusahaan.
“Takeover perusahaan sebagai salah satu penyebab munculnya konflik baru, belum disorot. Ini tantangan yang harus kita selesaikan. Kita terus dilakukan mediasi, agar masalah tersebut bisa terselesaikan,” ucap Muda.
Perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Sadino mengungkapkan, tidak semua perusahaan perkebunan kelapa sawit adalah anggota Gapki. Di Kalbar misalnya, dari 378 perusahaan, hanya 70 diantaranta yang merupakan anggota Gapki.
“Komitmen Gapki adalah perkebunan berkelanjutan secara sosal dan ekonomi. Konflik tentu menjadi catatan. Tentu kami memahami. Kami harap penelitian tidak sampai di sini. Ini baru lentingan yang pertama. Belum masuk substansi di regulasi perkebunan,” kata Sadino.
Sadino menyoroti persoalan kepastian lahan dan hukum di Indonesia. Jika itu sudah terwujud, tentu penyelesaian konflik akan lebih mudah.
“Kenapa ada kondlik, karena mayoritas hutan mana mungkin ada bukti sertifikat. Tapi itu kemudian diklaim lahan masyarakat. Ini yang jadi sengketa. Apalagi jika dibawa ke pengadilan yang menganut hukum positif,” ucap Sadino.
Kemudian masyarakat mencari jalan-jalan alternatif, seperti mediasi atau lain sebagainya. “Hukum agraria tidak menjangkau sampai ke seluruh wilayah. Kita perusahaan menjadi sulit, harus berhubungan dengan siapa jika bukti hak hanya sertifikat,” ungkap Sadino.
Dalam hal pengumpulan data, Rahmawati, peneliti dari Lembaga Gemawan menjelaskan bahwa untuk mempelajari konflik ini, peneliti POCAJI, menggunakan berbagai metode penelitian seperti wawancara dengan perwakilan masyarakat yang terdampak pada periode antara Mei 2019 sampai Mei 2020.
“Kemudian mereview artikel surat kabar, dokumen pemerintah, laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM), studi akademis dan berbagai sumber online,” ungkap Rahma.
Sebagaimana diketahui, penelitian ini merupakan hasil kolaborasi skala besar antara Universitas Andalas, KITLV Leiden, Universitas Wageningen serta enam LSM Indonesia yakni Epistema Institute, HuMa, Lembaga Gemawan, Scale Up, Walhi Sumatra Barat dan Walhi Kalimantan Tengah.
Tim yang terdiri dari total 19 peneliti mempelajari 150 kasus konflik kelapa sawit di empat provinsi di Indonesia: Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Untuk Kalimantan Barat, penelitian lapangan dikoordinasi oleh Lembaga Gemawan dan KITLV.
Tim peneliti di Kalimantan Barat: Hendra Cipta, Rikson Siahaan, Daniel Pranajaya, Rahmawati, Ahmad Dhiaulhaq, Ward Berenschot
“Penelitian ini terlaksana berkat dukungan finansial dari Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dan Dewan Penelitian Belanda NWO,” tutup Rahma.