Dampak Corona Pada Pelaksanaan Pilkada 2020

  • Share

Penanganan penyerabaran Virus Corona menjadi prioritas utama pemerintah dalam menekan laju peningkatan angka terinfeksi corona. Mulai dari kebijakan Sosial Distancing, Phisycal Distancing sampai pembatasan sosial berskala besar. Pembatasan ini meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Hal ini tentu mempengaruhi pelaksanaan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak 2020 yang di laksanakan di 270 daerah pada tanggal 23 September tahun ini resmi ditunda. Penundaaan ini di putuskan dalam sebuah rapat kerja/rapat dengan pendapat Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pimilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Senin 30 Maret tahun lalu.
Penundaan pilkada ini mengakibatkan permasalahan pemangkasan pada masa jabatan yang berdampak pada kinerja yang tidak efektif oleh kepala daerah terpilih.

Menurut Arya Fernandes Peneliti Center For Strategic and International Studies (CSIS) berpendapat bahwa penundaan pilkada 2020 paling ideal adalah setahun. Hal ini dilihat dari penyebaran Virus Corona yang belum mengalami penurunan di Indonesia. Termasuk memperhitungkan upaya pemerintah dalam memulihkan kembali kondisi sosial dan ekonomi pada masyarakat pasca pandemi corona.

Kepala daerah terpilih akan menjabat paling cepat akhir 2021 dan selambatnya awal tahun 2022. Jika penundaan pilkada ini mengambil jangka waktu setahun maka kepala daerah terpilih hanya akan menjabat selama kurang lebih dua tahun. Ini akan berdampak pada kerja yang tidak maksimal karena Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) disiapkan untuk waktu lima tahun.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi penurunan kualitas pelaksanaan birokrasi dimasing-masing daerah yang berlanjut kepada penurunan indeks reformasi birokrasi.

Dalam rapat antara Komisi II DPR RI, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP tersebut, KPU mengusulkan dan memberikan tiga opsi tanggal pelaksanaan pilkada 2020. Pertama, tanggal 9 Desember 2020 dengan masa penundaan tiga bulan. Kedua, tanggal 17 Maret 2021 dengan masa penundaan enam bulan. Ketiga, tanggal 29 September 2021 dengan masa penundaan setahun.
Ketua KPK Arief Budiman mengatakan ketiga opsi tersebut telah dipertimbangkan dengan kemungkinan masa pandemi di negeri ini. Dengan asumsi paling cepat tiga bulan dan paling lama setahun seperti diperkirakan para ahli pandemi dunia.

Namun, tentu ada dampak konsekuensi dan penundaan pilkada serntak di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota tersebut. Penundaan akan berimbas kepada anggaran yang telah digelontarkan dan kondisi sumber daya manusia dari penyelenggaran. Melihat opsi tersebut, opsi kedua dan ketiga akan mengakibatkan ancaman lowongan jabatan massal kepala daerah di seluruh daerah, karena rata-rata akhir masa jabatan daerah akan berkahir dibulan Februari dan Juni 2021.

Artinya pemerintah harus menyiapkan 270 kepala daerah sementara untuk mengisi dan mengatur mekanisme pengisian lowongan jabatan atau justru memperpanjang masa jabatan kepala daerah tersebut, selagi menunggu pelantikan kepala daerah yang baru. Selain itu perubahan tanggal pemugutan suara juga berdampak pada daftar pemilih. Dalam aturan perundang-undangan orang yang berusia 17 tahun saat hari pemugutan suara berhak menggunakan suaranya. Dampak penundaan juga berpengaruh pada bakal calon kepala daerah dan partai politik pengusung serta bakal calon independen.

Pada Kamis, (2/4) Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan bahwa pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan simulasi tiga opsi penundaan pilkada tersebut. Keputusan soal opsi diatas akan di ambil oleh tiga pihak yaitu Pemerintah, KPU, dan DPR pada pertemuan selanjutnya.

Selasa (14/4) Komisi II menggelar rapat kerja dangan KPU, Bawaslu, Mendagri, dan DKPP dalam sambungan jarak jauh. Pemerintah dan Komisi II DPR RI resmi menyetujui pelaksanaan pemungutan suara pilkada serentak 2020 akan digelar pada 9 Desember 2020. Artinya pengambilan keputusan memilih opsi pertama dengan masa penundaan tiga bulan.

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia meminta agar Komisi II bersama Mendagri dan KPU menggelarkan rapat kerja kembali setelah masa tanggap darurat pandemi corona. Hal ini bertujuan untuk membahas kondisi terkahir perkembangan penanganan pandemi corona di Indonesia. Selain itu ia juga mengusulkan kepada pemerintah agar pelaksanaan pilkada kembali disesuikan dengan masa jabatan satu periode lima tahun.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta agar anggaran pilkada tidak langsung dialihkan untuk penanganan corona. Ia berpendapat sebaiknya anggaran pilkada 2020 disimpan terlebih dahulu sehingga jika situasi membaik maka pelaksanaan pilkada tetap berjalan dan dana tidak akan berkurang.
Tito mengatakan anggaran penanganan corona yang sudah disiapkan pemerintah kurang lebih Rp 405 trilliun sebagai dana stimulus dan Rp 110 trilliun sebagai social safety net. Kemudian ia juga mengarahkan pemerintah daerah bersama Menteri Keuangan untuk mengumpulkan dana alokasi untuk penanganan virus corona.

PenulisĀ  :Mitha Rusmini, Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Tanjungpura

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *