Bermodalkan tanah wakaf seluas 1.060 meter persegi di Desa Limbung Kubu Raya, Bu Ngatinem bersama beberapa orangtua didik mendirikan Yayasan Ibu Bahagia yang menampung anak-anak disabilitas intelektual atau grahita usia 17–25 tahun. Di sinilah mereka belajar mengelola lahan pertanian, beternak, dan memanfaatkan hasilnya.
Oleh : Caroline Voermans
Siang di Desa Limbung terasa tenang. Sinar matahari menerobos lembut di sela daun pisang yang tumbuh subur di depan bangunan bercat putih. Hujan baru saja usai, menyisakan mendung yang membuat terik matahari tidak begitu menyengat. Jalan menuju yayasan masih berupa tanah, namun sudah dapat dilalui mobil. Di sepanjang jalan, hamparan sawah yang mulai menguning membentang luas, berpadu dengan sayup suara ayam dan riang anak-anak.
Sekolah Luar Biasa (SLB) Ibu Bahagia yang bernaung pada Yayasan Ibu Bahagia ini, sudah berdiri sejak tahun 2023. Tempat ini masih sangat asri dan jauh dari kebisingan kota, sekitar 20 menit berkendara dari pusat keramaian Kubu Raya. Disekelilingnya bahkan tak tampak pemukiman warga.
Ngatinem (57), pendiri dan pengelola Yayasan Ibu Bahagia, tampak sedang berbincang dengan seorang perempuan muda berkerudung putih. Ngatinem adalah seorang guru yang sudah lama mengajar anak-anak disabilitas. Lulus dari Sekolah Guru Penndidikan Luar Biasa (PLB) di Jogjakarta tahun 1989, ia memulai karier dengan mengajar di home schooling swasta di Sanggau, mengikuti suaminya yang bertugas di wilayah itu.
Setelah suaminya pindah tugas ke Kubu Raya, Ngatinem pun ikut pindah dan melanjutkan pengabdiannya di wilayah baru itu. Tahun 2008 ia mulai mengajar di SLB Rasau Jaya. Dedikasinya membuatnya dipercaya menjadi kepala sekolah sejak 2016, menjabat selama dua periode.
Namun, masa itu penuh dilema. Setiap kali tahun ajaran berakhir dan ijazah dibagikan, anak-anak lulusan SLB datang lagi ke sekolah esok harinya, meminta untuk masuk kelas.
“Setiap tahun, habis bagi ijazah, anak-anak menangis. Mereka datang lagi besoknya, minta masuk sekolah. Mereka belum paham artinya lulus,” kenangnya dengan suara parau. Masih ingat betul hari pertama ia menyadari kebutuhan anak-anak itu.
Dari sanalah gagasan sederhana itu muncul. Dibenaknya berkecamuk, bagaimana kalau mereka tetap diberdayakan setelah lulus? Tak lagi duduk di kelas, tapi tetap belajar melalui lahan pertanian dan peternakan yang menghasilkan. “Dari situ saya mulai berpikir, mereka butuh tempat untuk tetap berkegiatan,” cetusnya.
Bermodalkan tanah wakaf seluas 1.060 meter persegi dan bantuan dari para donatur, Ngatinem menginisiasi beberapa orang tua murid untuk mendirikan yayasan yang menampung anak-anak disabilitas intelektual atau tunagrahita usia 17–25 tahun. Di sinilah mereka belajar mengelola lahan pertanian, beternak, dan memanfaatkan hasilnya. Sebagian hasil panen digunakan untuk konsumsi, sebagian lagi dijual agar bisa menjadi pemasukan kecil bagi mereka.
Proses pendiriannya tidak mudah, malah terbilang panjang. Ngatinem harus mengurus perizinan ke berbagai dinas dan lembaga, dari KUA (Kantor Urusan Agama) hingga notaris. Namun ia mendapat banyak dukungan. Dukungan itu datang dari Dinas Sosial, Dinas Pendidikan hingga paguyuban orang tua penyandang disabilitas. Setelah mengantongi legalitas, ia mulai menampung anak-anak lulusan SLB yang tak lagi punya wadah belajar. Akhirnya terkumpul 11 orang yang terdiri dari 3 orang penyandang disabilitas pendengaran (tuli) dan sisanya disabilitas intelektual.
Kegiatan pertama di lahan itu sederhana, menanam pisang, singkong, kacang panjang, bayam dan kangkung. Hasilnya dinikmati bersama atau dibawa pulang oleh anak-anak untuk keluarga di rumah. Dari situlah tumbuh rasa percaya diri dan semangat baru.
Bagi anak-anak disabilitas di Yayasan Ibu Bahagia, Kampung Patra Berdikari adalah bahan bakar perubahan. Disini, mereka mendapatkan kesempatan, pelatihan dan pemberdayaan.
Menjemput Semangat
Meski penuh harapan, jalan pemberdayaan ini bukan tanpa tantangan. Keterbatasan fasilitas dan jarak rumah anak-anak yang berjauhan membuat kegiatan tidak berjalan optimal. Orangtua juga banyak yang mengeluh. “Tempat tinggal berjauhan karena letak geografis Kubu Raya, bahkan juga ada yang melewati sungai. Ada yang mau keluar susah karna akses jalan susah. Jadi untuk berkumpul ini kami masih berusaha jemput bola,” jelasnya.
Hingga pada tahun 2023, tak lama yayasan beroperasi, sebuah kesempatan datang melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) AFT Supadio Pertamina Patra Niaga dengan nama Kampung Patra Berdikari.
Program yang berfokus pada ketahanan pangan ini menjadi angin segar bagi Yayasan Ibu Bahagia. Melalui bantuan senilai 15 juta rupiah dan pendampingan, Ngatinem membuat pagar, membeli bibit, pupuk, dan biaya transportasi antar-jemput anak-anak.
“Jadi dari 11 orang ini, kami kelompokkan jadi 3 kelompok sesuai wilayah kelurahan. Mereka datang sesuai jadwal. Kalau untuk mengumpulkan keseluruhan mereka semua, itu ketika ada panen raya atau pelatihan awal. Tapi kalo panen biasa atau merumput, itu pakai penjadwalan per kelompok,” jelasnya lagi.
Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Region Kalimantan, Edi Mangun, menjelaskan bahwa program Kampung Patra Berdikari memang dirancang untuk memberdayakan kelompok rentan yang sering tidak mendapat ruang di dunia kerja. “Kami ingin memberikan kesempatan agar mereka bisa mandiri. Program ini tidak hanya mengajarkan keterampilan, tapi juga membangun rasa percaya diri. Pertanian ini tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi mereka,” jelasnya.
Edi menambahkan, Desa Limbung dipilih karena memiliki potensi lahan gambut yang luas namun belum tergarap maksimal. “Melalui program ini, lahan-lahan yang sebelumnya tidak produktif kini telah diolah dengan teknik tepat untuk menghasilkan produk pertanian berkualitas,” ujarnya.
Bagi sebagian orang, angka Rp15 juta mungkin kecil. Tapi bagi Bu Ngatinem, itu adalah bahan bakar perubahan. Menurutnya, program ini menjadi lebih dari sekadar pelatihan. Bagi anak-anak disabilitas di Yayasan Ibu Bahagia, Kampung Patra Berdikari adalah harapan dan ruang tumbuh. Tak hanya memberi bantuan finansial, Pertamina juga menyediakan pelatihan pertanian organik, beternak hingga pemasaran produk.
Kini anak-anak di yayasan itu semakin banyak menghasilkan sayur-mayur, seperti terong, cabai, dan tomat. Bahkan awal bulan depan, mereka akan mencoba menanam pepaya California dan mulai merambah UMKM (Unit Makro Kecil Menengah) dengan mengolah singkong dan pisang menjadi keripik.

Di sela kegiatan bertani, mereka juga belajar memelihara ayam. Dari hasil kerja keras itu, mereka bisa membawa pulang hasil panen atau sedikit uang. “Pernah tahun lalu itu, hasil jualan digunakan untuk membeli batako buat bikin kolam ikan,” cerita Bu Ngatinem. Ada nada bangga dalam suaranya.
Banyak pengalaman dan praktik baik yang didapat para alumni SLB di Yayasan Ibu Bahagia ini. Salah satunya yang cukup membanggakan, ada satu anak yang bisa berkurban saat idul adha dari hasil ternaknya.
Semangat Vivo
Namanya Vivo Darma Saputra. Pemuda 20 tahun dengan penglihatan terbatas. Vivo adalah salah satu dari sebelas alumni Sekolah Luar Biasa (SLB) Rasau Jaya yang kini diberdayakan di Yayasan Ibu Bahagia, tempat yang memberi ruang belajar dan bekerja bagi anak-anak disabilitas setelah mereka lulus sekolah.
“Setiap hari kesini, ngasik makan ayam. Pagi dan sore harus dikasik makan biar cepat bertelur. Kalau ayam jober lebih gampang dipelihara daripada ayam putih. Nggak rewel, nggak harus divaksin mata,” ujarnya.
Ia merasa bangga bisa bekerja dan beternak di Yayasan Ibu Bahagia. “Bisa dapat duit kalau ada penjualan, kadang dapat bonus. Bisa dapat makan juga disini,” celotehnya.
Vivo lahir prematur dengan keistimewaan genetic down syndrome. Sempat kejang berkali-kali hingga penglihatannya sedikit terganggu. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana di Desa Limbung. Ibunya, yang sempat bekerja di koperasi, kehilangan pekerjaan selama pandemi. Ia kini tinggal bersama ibu dan pamannya yang juga beternak ayam.
Setelah lulus dari SLB Rasau Jaya, Vivo sempat kebingungan. Ia masih datang ke sekolah setiap pagi karena tidak tahu apa yang harus dilakukan di rumah.
Hingga suatu hari, Vivo diajak bergabung di Yayasan Ibu Bahagia. Awalnya ia takut mendekati kambing, tapi kini ia justru menjadi salah satu anak yang paling rajin beternak. “Awalnya saya takut sama kambing,” ujarnya jujur.
Vivo mulai bergabung di yayasan tiga tahun lalu. Kini, ia dipercaya memelihara ayam petelur dan membantu panen sayuran. Rutinitasnya sederhana, memberi makan ayam pagi dan sore, membersihkan kandang, lalu membantu memanen sayur. Dari hasil kerja kerasnya, terkadang Vivo bisa memberi sedikit uang kepada ibunya. “Kadang, ada saya kasih buat belanja. Senang rasanya bisa bantu ibu,”katanya malu-malu.

Tahun lalu, ia membuat Bu Ngatinem terharu. Dari hasil ternaknya sendiri, Vivo berkurban seekor kambing saat Idul Adha. “Dia rawat sendiri, jual sebagian hasil panen, lalu bilang mau kurban. Itu luar biasa,” ucap Bu Ngatinem lirih.
Kini, setiap kali ada pameran UMKM atau pelatihan, Vivo selalu ikut. Dari situ, kepercayaan dirinya tumbuh. Ia bahkan sudah berani bicara di depan umum dan pandai mengaji. Ia bermimpi punya usaha ternak ayam sendiri suatu hari nanti.
“Cita-cita Vivo mau punya usaha ayam sendiri. Sama mau umroh sama ibu,” katanya mantap.
Di usianya yang baru dua puluh tahun, Vivo tidak hanya bekerja, ia sedang membuktikan bahwa keterbatasan tidak bisa membatasi cita-cita.
Bagi masyarakat Desa Limbung, anak-anak Yayasan Ibu Bahagia bukan lagi simbol belas kasihan, melainkan contoh bahwa kerja keras tak mengenal perbedaan
Diterima Masyarakat
Bagi anak-anak disabilitas di Yayasan Ibu Bahagia, lahan pertanian bukan sekadar tempat bekerja. Di sanalah mereka belajar berinteraksi, bekerja sama, dan menemukan arti kebermanfaatan.
Bu Yulia, salah satu guru di SLB Ibu Bahagia, menuturkan bahwa setiap anak punya cara belajar berbeda. Terlebih disabilitas intelektual seperti autis atau down syndrom. Karena keterbatasan intelektual, metode belajar harus diulang terus-menerus. “Kalau diberi instruksi sekali, belum tentu langsung paham. Tapi kalau sabar dan terus diulang, mereka bisa hafal,” kata Bu Yulia.
Anak-anak penyandang disabilitas itu bekerja dengan ritme mereka sendiri. Ada yang menyiangi rumput, ada yang menata hasil panen. Instruksi diberikan berulang-ulang, bukan karena mereka tak mau mendengar, tapi karena cara berpikir mereka memang butuh waktu lebih lama untuk memproses.
Kegiatan di yayasan berlangsung Senin sampai Kamis. Hari Jumat dijadikan hari kebersamaan, anak-anak memasak hasil panen dan makan bersama di dapur yayasan. Dari kegiatan sederhana itu tumbuh nilai kedisiplinan dan tanggung jawab.
Yang menarik, stigma masyarakat kini mulai berubah. Dulu, anak-anak penyandang disabilitas sering dianggap beban keluarga dan hanya bisa dikasihani. Sekarang, anak-anak alumnni SLB ini malah sering ikut kegiatan sosial di lingkungan, bahkan membantu saat ada warga meninggal dunia, misalnya. Warga yang dulu memandang sebelah mata, kini menyapa mereka dengan ramah.
“Dulu mereka dikasihani. Sekarang malah dikagumi,” kata Bu Yulia sambil tersenyum.
Perubahan itu terasa juga bagi para orang tua. Mereka yang dulu khawatir anaknya hanya menganggur di rumah, kini bangga melihat anaknya membawa pulang hasil panen atau sedikit uang. “Ada yang nangis waktu anaknya pertama kali kasih hasil panen mereka,” cerita Bu Ngatinem.
Data Dinas Sosial Kubu Raya menyebutkan, ada 74 orang penyandang disabilitas di Kubu Raya yang mendapat bantuan dari pemerintah, namun belum menyasar pada orang dengan keterbatasan inntelektual seperti autis atau down syndrom.

Ekosistem Keberlanjutan
Qonita Nadya Sari, Community Development Officer Pertamina AFT (Assistant Field Technician) Supadio, menuturkan bahwa Yayasan Ibu Bahagia dipilih karena fokus pada kelompok yang paling sering terabaikan, disabilitas terutama intelektual atau grahita. “Kalau disabilitas fisik seperti rungu atau netra, mereka masih punya akses kerja tertentu. Tapi anak-anak dengan autisme atau down syndrome sering kali tidak mendapat ruang. Kami ingin menyentuh sisi itu,” ujarnya.
Menurut Qonita, dasar dari program CSR Pertamina adalah memberdayakan kelompok rentan agar mampu mandiri secara ekonomi dan sosial. “Kami melihat Yayasan Ibu Bahagia punya semangat yang sama mengajarkan anak-anak agar tidak hanya belajar di kelas, tapi bisa bekerja dengan tangan mereka sendiri,” katanya.
Melalui program ini, Pertamina memberikan pelatihan dasar pertanian dan peternakan, bantuan bibit tanaman, serta pendampingan pemasaran hasil panen. Mereka bahkan berencana menyiapkan pelatihan lanjutan untuk membuat olahan produk turunan seperti keripik pisang kemasan.
Yang menarik, program ini tidak berhenti di pelatihan. Setiap tahun, tim CSR Pertamina melakukan pemantauan dan evaluasi lapangan, memastikan hasilnya berkelanjutan. “Target kami, dalam lima tahun kelompok ini sudah bisa berdiri mandiri, bahkan punya usaha kecil yang legal dan diakui. Kami bantu dari sertifikasi halal, PIRT, sampai ke pemasaran agar mereka bisa masuk ke toko retail,” jelas Qonita.
Bagi Pertamina, keberhasilan bukan diukur dari banyaknya dana yang digelontorkan, melainkan dari seberapa jauh anak-anak di yayasan ini bisa mengelola kehidupannya sendiri.
Lembaga atau yayasan seperti Ibu Bahagia juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah daerah Kubu Raya yang memang sedang concern pada penyandang disablilitas. Untuk itu Dinas Sosial Kubu Raya, sangat mengapresisasi program seperti yang dilakukan Pertamina. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pemberdayaan disabilitas bisa berjalan ketika ada kolaborasi.
“Kami memang diarahkan Pak Bupati untuk menjadikan Kubu Raya sebagai Kabupaten Ramah Disabilitas. Cuma kami ini anggarannya masih kecil, jadi tidak semua bisa kami jangkau. Dengan adanya program CSR seperti ini, pemerintah sangat terbantu,” ungkap Yoga Paksi, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kubu Raya.
Yoga menjelaskan bahwa Dinas Sosial selama dua tahun terakhir menjalankan program rehabilitasi sosial dasar bagi penyandang disabilitas terlantar di luar panti. Program ini mencakup pendataan, pengusulan ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan penyaluran bantuan alat bantu seperti kursi roda, tongkat, dan alat bantu dengar. Hingga pertengahan 2025, sudah ada sekitar 74 orang penyandang disabilitas yang menerima bantuan tersebut di berbagai kecamatan, mulai dari Sungai Raya, Batu Ampar, hingga Kuala Mandor B.
Namun, Yoga mengakui ada celah besar yang belum tersentuh, yaitu kelompok disabilitas intelektual seperti autisme dan down syndrome. “Untuk kelompok ini belum ada bantuan khusus, karena datanya memang belum lengkap,” ujarnya.
“Makanya kehadiran Yayasan Ibu Bahagia ini sangat penting. Mereka membantu menjangkau kelompok yang selama ini tidak tercatat di sistem kami,” tambahnya.
Dari Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kubu Raya juga telah menjalin komunikasi dengan Yayasan Ibu Bahagia sebagai bagian dari upaya membuka akses kerja bagi penyandang disabilitas. Fuad Kurniawan, Pengantar Kerja Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Kubu Raya menjelaskan, pemerintah terus mendorong perusahaan baik swasta maupun BUMN untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 terkait kewajiban memperkerjakan minimal 1% tenaga kerja disabilitas bagi perusahaan swasta dan 2% bagi instansi pemerintah. “Kami hanya menjembatani antara yayasan disabilitas dengan pihak pemberi kerja yang bersedia memberikan kesempatan,” ujarnya.
Namun, ia mengakui bahwa sebagian besar perusahaan masih kesulitan menerima penyandang disabilitas intelektual, seperti yang banyak didampingi Yayasan Ibu Bahagia. Karena itu, Disnakertrans berharap dapat memperkuat dukungan melalui pelatihan, bimbingan, dan pemetaan kompetensi agar mereka bisa ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai. “Kita arahkan lewat pelatihan. Tidak semua bisa kita cover karena anggaran terbatas, tapi kami terus memilih kandidat yang siap ikut program,” tambahnya.
Fuad menuturkan bahwa setiap tahun pemerintah daerah memberi penghargaan kepada perusahaan yang konsisten melakukan rekrutmen tenaga kerja disabilitas. Bahkan sudah diperkuat dengan Peraturan Bupati (Perbup).
“Malah sudah berbentuk Perbup. Setiap tahun ada pennghargaan perusahaan pemberi kerja yang berkontribusi dalam mengamanatkan undang-undang dan perbup yang telah merekrut tenaga kerja disabilitas,” ucapnya.
Meski hingga kini belum diterapkan sanksi tegas, ia berharap semakin banyak perusahaan mau membuka lowongan khusus penyandang disabilitas. “Kawan-kawan disabilitas juga punya kemampuan dan ada yang berpendidikan tinggi, bahkan ada yang bergelar S2. Mereka hanya butuh kesempatan,” ucapnya.
Senada dengan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat juga melihat Yayasan Ibu Bahagia sebagai bentuk inovasi pendidikan yang kontekstual. Elly Leofara, pengawas jenjang SMA dan SLB wilayah Pontianak, Kubu Raya, dan Mempawah, mengatakan bahwa setiap SLB memiliki ciri khas sesuai lingkungan sekitar.
“Kalau di Ibu Bahagia, karena letaknya di daerah perkebunan, keterampilannya memang diarahkan ke pertanian dan peternakan. Jadi anak-anak belajar sesuai konteks hidup mereka,” katanya.
Menurut Elly, langkah seperti ini sejalan dengan kebijakan nasional yang mendorong SLB menjadi sekolah vokasi bagi anak disabilitas. “Anak-anak SLB diharapkan siap kerja setelah tamat, bukan sekadar punya ijazah. Kalau mereka sudah bisa bertani, beternak, atau berwirausaha, itu jauh lebih berharga. Dan saya lihat Yayasan Ibu Bahagia sudah mulai ke arah sana,” ujarnya.
Peran perusahaan seperti Pertamina menjadi penting untuk melengkapi dukungan yang belum bisa sepenuhnya ditangani pemerintah. Ia sangat mengapresiasi peran Pertamina yang bukan hanya membantu sekolah umum, tapi menyentuh pendidikan yang membutuhkan perhatian khusus. Menurutnya, langkah-langkah seperti ini harus terus diperluas.
“Yayasan seperti Ibu Bahagia bukan hanya tempat belajar, tapi ruang sosial yang memperlihatkan bahwa anak disabilitas bisa mandiri. Ini praktik baik yang bisa dicontoh di daerah lain,” ujarnya.
Ia berharap ke depan, pendidikan vokasi untuk disabilitas mendapat dukungan lebih luas, baik dari pemerintah maupun sektor swasta. “Anak-anak ini tidak minta dikasihani. Mereka hanya butuh kesempatan,” ucapnya.
Sinergi antara dunia usaha dan pemerintah ini pelan-pelan membentuk ekosistem kecil yang saling menguatkan. Pemerintah memberikan dasar regulasi dan dukungan pendidikan, sementara pihak swasta seperti Pertamina mengisi celah praktis dengan pelatihan dan modal. Hasilnya mulai terlihat, anak-anak Yayasan Ibu Bahagia tidak hanya menanam, tetapi juga memahami nilai kerja keras dan kemandirian. Mereka belajar bahwa hasil kecil dari kebun bisa memupuk rasa percaya diri.
Namun, masih ada banyak pekerjaan rumah. Data dari Dinas Sosial menunjukkan bahwa sebagian besar program bantuan pemerintah masih berfokus pada disabilitas fisik dan sensorik. Sementara itu, penyandang disabilitas intelektual belum mendapat perhatian yang proporsional. “Kita berharap dengan program CSR seperti ini, perhatian untuk disabilitas intelektual semakin besar,” sambunng Yoga lagi.
Bagi Pertamina, keberlanjutan program menjadi kunci utama. Qonita menyebut bahwa mereka menargetkan anak-anak di Yayasan Ibu Bahagia mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam lima tahun. “Harapannya, nanti ketika mereka sudah dewasa atau tidak lagi memiliki orang tua, mereka tetap bisa hidup mandiri. Mereka bisa tanam, bisa jual hasilnya, dan mengajar teman-teman mereka yang lain,” ujarnya.
Energi terbesar bukan datang dari bahan bakar saja, melainkan dari hati manusia yang ingin melihat sesamanya tumbuh.
Menanam Harapan
Kini Yayasan Ibu Bahagia bukan sekadar tempat belajar, melainkan sumber energi sosial bagi masyarakat Limbung. Orang tua yang dulu khawatir kini bangga. Anak-anak yang dulu menunduk kini tersenyum lebar setiap kali membawa pulang hasil panen. Mereka tidak hanya menanam sayur, tapi juga menanam harapan.
Bu Ngatinem sendiri melihat hasilnya setiap hari. Dari anak-anak yang semula diam, kini berani bicara di depan umum. Dari orang tua yang dulu pesimis, kini membantu menjadi relawan. Dari masyarakat yang dulu acuh, kini ikut menjaga kebun mereka. “Saya tidak pernah menyangka semuanya bisa sampai di titik ini. Rasanya seperti menyalakan lampu di tempat yang dulu gelap,” lirihnya.
Yayasan Ibu Bahagia mungkin lahir dari tanah wakaf kecil, tapi dampaknya jauh melampaui angka. Ia menumbuhkan rasa percaya diri, membangun jembatan antara penyandang disabilitas dan masyarakat, serta mengajarkan satu hal penting; setiap orang punya cara sendiri untuk berdaya.
“Dengan semakin berkembangnya program ini, harapannya akan semakin banyak masyarakat, terutama kelompok disabilitas, yang bisa merasakan manfaatnya. Dan tentu saja, lebih banyak lagi perhatian dan dukungan dari ‘orang-orang baik’ lainnya,” harap Bu Ngatinem.
CSR AFT Supadio menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak hanya berbicara soal produksi, tetapi juga tentang keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya Kampung Patra Berdikari, Desa Limbung kini menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat dapat menciptakan perubahan yang berarti.
“Kini, Yayasan Ibu Bahagia tak hanya menjadi tempat belajar, tapi juga simbol kemandirian. Di tengah keterbatasan, mereka berhasil menanam harapan untuk menuai kebahagiaan,” pungkas Qonita.
Lahan kecil di Desa Limbung itu telah berubah menjadi ruang harapan bagi banyak anak dan orang tua. Setiap hari, mereka datang membawa semangat baru. Tidak hanya belajar menanam dan beternak, tapi juga belajar percaya pada diri sendiri.
Mungkin inilah makna sesungguhnya dari ‘Energizing Indonesia’; menyalakan cahaya dari pelosok. Satu tindakan kecil yang memberi tenaga bagi banyak jiwa. Dan di tengah hamparan hijau Desa Limbung, energi itu terus menyala. Dari tangan-tangan sederhana yang menanam harapan setiap hari.











