INIBORNEO.COM, Pontianak – Band asal Pontianak, LAS!, menunjukkan komitmennya dalam mengangkat isu lingkungan melalui karya musik yang menggambarkan realita alam yang tengah terjadi di Kalimantan Barat.
Lirik-lirik LAS! menggugah kesadaran tentang isu lingkungan, politik, serta pemberdayaan diri dan kaum muda. Dengan perpaduan elemen musik yang kuat, band ini berhasil menciptakan sebuah gerakan yang menginspirasi pendengarnya untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan merenungkan dampak dari setiap tindakan mereka.
LAS! terdiri dari empat anggota, Bob Gloriaus (gitar, vokal utama), Diaz Mraz (drum), Agaz Frial (gitar), dan Cep Kobra (bass) mengusung musik dengan gaya alternatif awal 2000-an yang dipadukan dengan unsur folk dan elemen musik tradisional Dayak.
Perjalanan awal LAS! dimulai ketika Bob dan Diaz memutuskan untuk pulang kampung ke Kapuas Hulu pada tahun 2015. Di sana, mereka merencanakan sebuah workshop kecil-kecilan dan langsung terpapar pada dampak deforestasi yang semakin parah. Mereka menyaksikan sendiri kebakaran hutan yang melanda secara masif. Setelah mengunjungi dua taman nasional Danau Sentarum dan Betung Kerihun kedua kakak beradik ini merasa tergerak untuk menyuarakan isu-isu lingkungan yang terjadi di tanah kelahiran mereka.
“Kayanya aneh kalau gak ngebahas tentang tanah kelahiran kita,” kata Diaz, vokalis sekaligus drummer band LAS!.
“Dulu, kalau proses pengkaryaan, untuk Borneo is Calling sih memang kita tuh, jadi aku sama Bob itu kakak beradik dan kita berdua berasal dari Kapuas Hulu, sejak SD-SMA disana dan udah puluhan tahun gak pulang kesana. Di 2014, band lamaku, Lost At Sea bubar dan Bob balik dari Jakarta jadinya kami pulang kampung sekalian bikin dokumenter dan nyari ilham buat bikin musik band baru,” tambah Diaz menjelaskan saat lokakarya bersama media di Oz Cafe, Tayan Hilir, pada Kamis, 19 September 2024.
Di Pontianak, Band LAS! dikenal sebagai kelompok musik yang sering mengangkat isu lingkungan melalui karya-karyanya. Banyak penggemar yang mendukung proses kreatif mereka, terutama karena kemampuan band ini memadukan musik rock dengan unsur tradisional Kalimantan Barat.
Bob, vokalis band LAS!, mengaku awalnya merasa tidak memiliki kapasitas untuk menulis lagu tentang isu lingkungan. Namun, setelah mengadakan workshop kecil-kecilan di Kapuas Hulu dan menyaksikan kebakaran hutan terbesar yang mengakibatkan pembatalan sejumlah penerbangan internasional dan domestik, Bob dan Diaz tergerak untuk menulis lagu berjudul ‘Borneo is Calling’ dan ‘Sentarum’.
“Jadi pas kita sampai di danau sentarum itu kita jadi kaya yaudahlah kita tulis lagu yang saat itu aja kita bahkan belum tau judulnya borneo is calling, kita menulis gitu. Sebenarnya kalo secara idenya borneo is calling itu kita tulis untuk merayakan kepulangan dan memaknai ulang kecintaan kita sama borneo kalimantan,” tambahnya.Kedua pemuda tersebut mengaku mendapatkan semangat baru setelah mengunjungi Rumah Panjang, rumah adat Dayak yang terletak di Sungai Utik, dan bertemu dengan pejuang desa adat, Apai Bandi, yang lebih dikenal sebagai Apai Janggut. Di sana, Bob dan Diaz banyak belajar tentang pentingnya hutan adat bagi masyarakat Sungai Utik.
“Kita akhirnya tersadar aja gitu, orang yang udah sesepuh gini ternyata masa mudanya penuh perjuangan dan semangat yang itu didasari dengan kecintaannya dia sendiri dengan budayanya aja,” jelas Bob.
Selain semangatnya terbakar untuk menyuarakan keadaan lingkungan hutan adat kalimantan yang sudah mulai hilang dimakan penambangan dan kebakaran hutan yang disebabkan oleh perusahaan, Bob mengatakan inspirasinya dalam membuat lagu adalah karena bersinggungan langsung dan melihat realita yang saat ini terjadi di depan mata mereka. Bob mengaku ketagihan membuat karya isu lingkungan yang bisa disebarluaskan kepada seluruh penggemar LAS! melalui musik.“Seperti menagih janji kembali untuk main-main ke akar rumput untuk mendengar keluh kesah masyarakat, yang pada perjalanannya itu bikin “nagih” yang dari situ aku bisa melihat wajah indonesia yang benar, yang apa adanya, yang tanpa make up, yang tanpa jargon-jargon,” jelasnya.
AWAL MULA TERCIPTA TUR BABLAS!
Tur bertema BabLAS! tercipta setelah Bob dan Diaz pulang dari mengikuti Music Declares Emergency 2024 di Bali. Mereka mengatakan bahwa tujuan tur ini bukan hanya untuk mengundang Trend Asia, tetapi juga melibatkan berbagai NGO lainnya dalam memperjuangkan isu lingkungan di tanah kelahiran mereka. Sebelum memulai tur, LAS! terlebih dahulu mengadakan workshop dengan tema ‘LAS! Masuk Kelas’ di sekolah-sekolah di Pontianak.
“Nah karena kita udah bikin LAS! Masuk kelas itu, kita jadi terinspirasi dari formatnya untuk bikin tur yang gak cuma ngejreng-ngejreng biasa tapi tuh bikin workshop tentang krisis iklim, pengkaryaan dan juga memainkan satu atau dua lagu,” kata Diaz.
Setelah pulang dari MDE, Bob dan Diaz memiliki keinginan besar untuk mengadakan tur dan workshop mengenai isu lingkungan. Mereka sepakat untuk menggandeng NGO, karena organisasi tersebut memiliki data yang akurat dan dapat bersama-sama belajar serta meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami isu lingkungan. Tur BabLAS! akhirnya terlaksana di tiga kabupaten di Kalimantan Barat, yaitu Sambas, Ketapang, dan berakhir di Kota Sintang.
“Kalau harapan, seperti yang sudah aku tegaskan tadi ya, tujuan demografi audiencenya kan gen z ke atas. Aku berharap isu ini akan terus bergaung apalagi muda-muda ini akan diwariskan oleh apa yang kita lihat tadi, banyak sekali konsesi pertambangan, agar suara-suara perjuanganya tidak hilang di generasiku aja sih. Mereka akan melakukan riset-risetnya sendiri, melakukan gerakan-gerakan kolektif sendiri, bentuk sel-sel gerakan yang kecil juga gak masalah, yang penting isunya terus bergulung,” kata Bob.
Bob mengatakan bahwa target pasar lagu-lagu LAS! adalah generasi Z dari kalangan menengah ke atas, dengan harapan mereka dapat mewarisi kondisi alam yang telah rusak melalui musik. Sebagai musisi, Bob merasa bersyukur karena bisa menyampaikan pesan-pesan tentang kekhawatiran terhadap lingkungan hutan adat Kalimantan, dengan cara menyelipkan pesan tersebut dalam lagu-lagu yang memiliki alunan musik yang mudah diterima oleh pendengar.
“Syukurnya kita musisi, kita jebak dulu dia dengan pertunjukkan musik, baru kita kasih pusing kepalanya, hahaha,” kata Bob.
Selain itu, Diaz mengatakan tidak begitu khawatir memiliki konsekuensi kehilangan penggemar jika terus menerus membuat lagu dengan tema isu lingkungan. Dirinya mengatakan ketika perilisan single ke tiga LAS! Yang berjudul Whiskey Cola, lagu tersebut sama sekali tidak bercerita dan membahas tentang lingkungan, melainkan hanya bentuk merayakan patah hati dan kehilangan di usia 30-an. Ia mengatakan beberapa penikmat musik LAS! Protes lantaran lagunya tidak tentang isu lingkungan.
“Whiskey Cola, itu memang gak ada ngebahas tentang alam, itu tentang kaya om om yang patah hati, merayakan patah hati dan kehilangan di umur 30 an, ada yang ngomel-ngomel “bang kok kau berubah sih bang musiknya gak ngebahas alam lagi musiknya”. Justru kaya gitu, karena aku percaya ya perjuangan kaya gini maraton ya bukan sprint ya, kayanya kalo kita ngebahas tiap lagu tentang climate change, tentang masyarakat adat itu kitanya juga capek, jadi kayaknya boleh lah piknik dikit ngebahas tema apa gitu,” kata Diaz.