PT Aditya Agroindo Langgar Hak Buruh dan Kemanusiaan

  • Share
Lokasi kebun sawit milik H Said Faisal yang alami kerugian mencapai Rp 5,4 juta. (Foto: Dok Istimewa)

INIBORNEO.COM, Pontianak – Seorang balita berusia tiga tahun meninggal dunia di lingkungan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Aditya Agroindo, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Perusahaan yang merupakan anak usaha Kalimantan Plantation Unit (KPU) itu diduga lalai dalam memenuhi hak kesehatan dan keselamatan keluarga pekerja.

Balita tersebut adalah anak dari seorang buruh yang didatangkan dari Indonesia timur. Kematian ini memicu kecaman dari berbagai kelompok masyarakat sipil dan serikat buruh yang menilai perusahaan tidak menyediakan akses memadai terhadap fasilitas kesehatan dan layanan dasar bagi para pekerja dan keluarganya.

“Kejadian ini mencerminkan buruknya tanggung jawab sosial dan perlindungan terhadap buruh. Ini bukan kasus pertama, tapi yang mencuat karena menyebabkan kehilangan nyawa,” tutur Agus Sutomo, Direktur Teraju Indonesia, lembaga yang mengadvokasi federasi buruh di Kalimantan Barat.

PT. Aditya Agroindo berada di bawah kendali DTK Opportunity Limited yang terdaftar di British Virgin Islands, dengan kendali modal melalui PLM Investment Limited di Hong Kong. Perusahaan ini mengelola lahan perkebunan seluas lebih dari 17.000 hektare.

Selain kasus meninggalnya balita berusia tiga tahun, sejumlah persoalan lain di PT Aditya Agroindo juga terungkap ke publik. Persoalan tersebut mencakup pencemaran lingkungan akibat limbah pabrik yang mengalir ke sub-DAS Kapuas dan mencemari sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat, serta konflik lahan berkepanjangan dengan mitra petani plasma yang tidak kunjung memperoleh kepastian bagi hasil maupun kejelasan letak lahan mereka.

Lembaga Teraju Indonesia turut membeberkan berbagai pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan oleh perusahaan, antara lain praktik kerja buruh harian lepas (BHL) yang berlangsung bertahun-tahun tanpa pengangkatan sebagai pekerja tetap, ketiadaan kontrak kerja, serta tidak adanya pendaftaran ke BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Selain itu, penerapan standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dinilai minim, dengan alat pelindung diri (APD) yang tidak memadai. Perusahaan juga diketahui tetap mempekerjakan buruh lansia yang telah mengajukan pensiun, melakukan mutasi secara non-prosedural tanpa alasan yang jelas, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak tanpa pesangon, mengabaikan penanganan kasus kecelakaan kerja, hingga memberikan upah di bawah ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMKS).

“Kami sudah berkali-kali menyampaikan keluhan secara bipartit dan tripartit, tapi tidak ada tindak lanjut dari manajemen. Sayangnya, pemerintah daerah juga tidak mengambil sikap tegas. Seolah takut kehilangan investasi,” tambahnya.

Lembaga advokasi Teraju Indonesia dan sejumlah organisasi buruh mendesak pemerintah Kabupaten Ketapang dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat segera melakukan audit terhadap perusahaan, serta mendorong penegakan hukum yang tegas. Mereka juga menyerukan penerbitan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit.

“Kalau dibiarkan, bukan hanya nyawa yang hilang, tapi juga martabat pekerja dan kredibilitas negara dalam melindungi warganya,” pungkasnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *