Balita Meninggal dalam Perjalanan, Perusahaan Dinilai Abaikan Kesejahteraan Buruh

  • Share
Safira Talelu (3) ketika dirawat di klinik perusahaan. (Sumber: Istimewa)
Safira Talelu (3) ketika dirawat di klinik perusahaan. (Sumber: Istimewa)

INIBORNEO.COM, Pontianak – Balita perempuan berusia tiga tahun, Safira Talelu, meninggal dunia di tengah perjalanan menuju rumah sakit di Pontianak pada 3 Mei 2025. Ia merupakan anak dari Yohanes Talelu, buruh harian lepas yang bekerja di bagian perawatan kebun sawit milik PT. Aditya Agroindo—anggota Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalimantan Barat.

Sebelumnya, Safira mengalami kejang hebat dan dibawa ke klinik milik perusahaan. Dokter klinik menyarankan agar ia segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Namun, karena ayahnya tidak memiliki jaminan kesehatan (BPJS) dan penghasilannya tidak mencukupi untuk membiayai transportasi maupun perawatan, rujukan tidak pernah terealisasi. Permintaan bantuan dari dokter kepada manajemen pun diabaikan—PT. Aditya Agroindo menolak memberikan dukungan apa pun untuk penyelamatan nyawa Safira.

Safira akhirnya dirawat dalam kondisi koma selama satu minggu di klinik perusahaan. Upaya evakuasi oleh jaringan federasi buruh dan organisasi masyarakat sipil dilakukan secara mandiri, namun Safira meninggal di tengah perjalanan ke Pontianak.

“Perusaahan tidak ada inisiatif untuk membawa anak tersebut ke Rumah Sakit, setelah didesak oleh federasi, barulah perusaahan mau menalangkan biaya pengobatan,” ucap Janu, salah satu buruh yang bekerja di PT. Aditya Agroindo.

Kasus ini memunculkan sorotan tajam terhadap tanggung jawab sosial PT. Aditya Agroindo. Penolakan perusahaan untuk membantu proses rujukan medis terhadap anak buruhnya memperlihatkan kegagalan total dalam memenuhi kewajiban dasar kepada pekerja. Lebih jauh, hal ini disebut sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebagai anggota GAPKI, PT. Aditya Agroindo seharusnya tunduk pada prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial yang selama ini diklaim industri sawit. Namun, kematian Safira justru mengungkap jurang lebar antara retorika dan realitas lapangan.

Janu juga menuturkan bahwa status buruh yang belum tetap membuat skema penalangan biaya pengobatan akhirnya terpaksa dilakukan oleh buruh. Sedangkan standar penetapan buruh tetap sendiri belum jelas dari pihak perusahaan.

“Ada buruh yang sudah bekerja selama sepuluh tahun namun statusnya masih buruh harian lepas,” lanjutnya.

Federasi buruh sudah sering melakukan advokasi terhadap perusaahaan terkait hak atau kesejahteraan mereka, akan tetepi terus diabaikan oleh perusahaan.

Melalui federasi serikat buruh dan Teraju Indonesia, lembaga yang mengadvokasi federasi buruh, mendesak untuk:

  1. Investigasi menyeluruh dan tindakan hukum terhadap manajemen PT. Aditya Agroindo.
  2. GAPKI Kalimantan Barat segera mencabut keanggotaan PT. Aditya Agroindo dan melakukan audit terhadap anggotanya yang melanggar hak buruh.
  3. Pemerintah melalui Disnaker dan BPJS harus memeriksa seluruh perusahaan sawit terkait pendaftaran dan perlindungan buruh harian lepas.
  4. Perusahaan wajib memastikan setiap buruh, termasuk harian lepas, terdaftar dalam jaminan sosial.

Direktur Teraju Indonesia, Agus Sutomo, menyatakan bahwa buruh dengan status kerja tidak jelas kehilangan banyak hak dasar.

“Kematian Safira adalah peringatan keras jika sistem terus dibiarkan seperti ini, akan ada Safira-Safira lain yang menjadi korban. Kami menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bersolidaritas dan menuntut keadilan,” pungkasnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *