INIBORNEO.COM, Pontianak – Kalimantan Barat (Kalbar) memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, pemanfaatannya masih menghadapi berbagai tantangan. Kebijakan yang kurang matang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, termasuk konflik sosial dan deforestasi.
Salah satunya, beberapa kebijakan yang bertujuan meningkatkan pemanfaatan energi berbasis biomassa, seperti bioenergi dari kelapa sawit dan kayu, justru berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. Hal tersebut disampaikan oleh Ahmad Syukri dari Linkar Borneo dalam kegiatan Sarasehan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Traction Energy Asia bertajuk ‘Masa Depan Energi Terbarukan di Kalbar’, Sabtu (22/3/2024).
“Kebijakan energi berbasis biomassa dianggap sebagai solusi palsu transisi energi di Indonesia ketika menciptakan deforestasi baru,” ungkapnya.
Tak hanya menciptakan deforestasi baru, lanjut dia, dikatakan sebagai transisi energi palsu adalah ketika kebijakan ini menciptakan konflik baru. Di Kalbar, menurutnya sudah ada sejumlah perusahaan HTI yang mengalokasi lahannya untuk tanaman energi sebagai pemasok bahan bakar biomassa.
Sementara itu, jurnalis senior, Aris Munandar menambahkan bahwa tidak ada sumber energi yang benar-benar ramah lingkungan. Oleh karena itu, efisiensi dalam penggunaan energi harus menjadi prioritas.
“Masyarakat perlu diedukasi agar bijak menggunakan energi, sementara pemerintah memastikan tata kelola energi yang minim mengubah ekosistem,” ujarnya.
Andre dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar mengkritisi kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mengarah pada pengembangan energi terbarukan. Menurutnya, terjadi tumpang tindih dalam implementasi proyek energi di daerah terpencil.
“Banyak daerah telah menggunakan energi terbarukan, tetapi kemudian PLN masuk dan menggantikan sumber energi tersebut, sehingga proyek yang sudah ada menjadi terbengkalai,” katanya.
Akademisi Universitas Tanjungpura, Suci Lukitowati, menyoroti minimnya pemanfaatan hasil riset perguruan tinggi dalam pengembangan energi terbarukan. Ia berharap media lebih banyak mengangkat isu lingkungan, terutama energi baru terbarukan.
“Kalbar menjadi sasaran proyek energi terbarukan, tetapi sayangnya masih berbasis proyek, bukan hasil yang berkelanjutan,” ujarnya.
Florentinus dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar menyoroti masih banyak daerah yang belum mendapatkan akses listrik. Menurutnya, pengembangan PLTS dan PLTA di daerah terpencil harus menjadi prioritas pemerintah daerah guna memastikan akses energi bagi masyarakat.
Dari aspek hukum, Dian Lestari dari LBH Kalbar menekankan pentingnya transparansi dalam kebijakan energi yang berkeadilan. “Banyak kebijakan yang tidak sepenuhnya berpihak pada masyarakat. Diperlukan pengumpulan data yang lebih akurat agar sarasehan ini menghasilkan rekomendasi yang lebih konkret,” katanya.
Sementara itu, Ketua AJI Pontianak, mengatakan kegiatan sarasehan ini merupakan kolaborasi dengan Traction Energy Asia dalam program Akademi Jurnalis Ekonomi-Lingkungan (AJEL) tahun ke-3, bersama CSO dan Akademisi.
“Alhamdulillah AJI Pontianak mendapat kepercayaan dari AJI Indonesia untuk melaksanakan kegiatan ini di mana sebelumnya terdapat empat anggota AJI Pontianak yang mendapatkan fellowship mengikuti program AJEL ini. Dan sarasehan ini merupakan bagian dari program tersebut,” kata Rendra.
Ia menilai, diperlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan media dalam mendorong kebijakan energi yang berkelanjutan dan berpihak pada masyarakat luas. Ia pun berharap, tantangan dalam tata kelola dan implementasi proyek energi terbarukan segera diatasi agar transisi energi dapat berjalan efektif dan berkeadilan.