INIBORNEO.COM, Pontianak – Pemberitaan mengenai kekerasan seksual masih menjadi topik sensitif karena adanya batasan tertentu yang tidak boleh diungkap oleh media. Meski demikian, Dewan Pers menilai bahwa banyak media di Indonesia masih kurang peka terhadap isu gender, terutama dalam meliput kekerasan seksual, sehingga seringkali malah memperburuk posisi korban dalam pemberitaan.
Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, mengatakan bahwa tulisan wartawan masih diskriminatif dan tidak berpihak pada korban. “Media masih memasukkan fakta dan opini di pemberitaan kekerasan seksual, juga terkadang mengungkapkan identitas korban, menormalisasikan stigma yang berujung pada menolerir isu tersebut hingga pengucilan terhadap korban,” ucapnya dalam diskusi tentang “Laporan Riset Situasi Media Peka Gender di 5 Negara Asia” di Jakarta (21/10).
Ia juga menyampaikan bahwa media masih membungkus pemberitaan tanpa adanya responsibilitas gender, yang mana dapat menyebabkan persikusi atau merujuk pada situasi di mana suatu laporan, artikel, atau berita yang dipublikasikan oleh media berpotensi memicu tindakan kekerasan, intimidasi, atau perlakuan buruk terhadap individu atau kelompok tertentu.
Meski demikian, ia juga menyebutkan bahwa biasanya ada relasi kuasa sehingga wartawan tidak bisa menuliskan berita yang responsive gender. “Ketika wartawan menulis, akan ada editor yang merubah isi tulisan tersebut, lalu diatas editor ada pimpinan redaksi. Kalau dari atasannya saja sudah tidak ada perspektif gender, ke bawah akan susah,” tuturnya.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dewan Pers terhadap 9 media online terpopuler di tahun 2022, ditemukan bahwa narasi pemberitaan tentang kekerasan seksual belum mencerminkan perspektif perlindungan korban dan responsive gender. Minimnya perlindungan korban dan bias gender juga masih marak ditemukan dalam berbagai pemberitaan.
Selain itu, beberapa media masih belum menggunakan istilah yang tepat dalam menyampaikan isu kekerasan seksual, terutama terkait perkosaan. Istilah-istilah yang sering digunakan sebagai pengganti kata “perkosaan” justru cenderung memosisikan tindak kekerasan ini sebagai masalah moral, bukan sebagai kejahatan serius.
Ninik menyebutkan bahwa kata “digagahi” dalam berita perkosaan merupakan bentuk diskriminatif karena memberikan persepsi bahwa laki-laki yang melakukan sesuatu terhadap perempuan, karena kata “gagah” sendiri lekat dengan laki-laki.
Ia berharap bahwa kedepannya media akan lebih peka dan responsive terhadap gender dalam pemberitaan kekerasan seksual. “Tidak hanya mengikuti keinginan masyarakat, namun media juga dapat memberikan efek jera untuk pelaku dan pemulihan untuk korban,” tutupnya.