INIBORNEO.COM, Jakarta – Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) telah menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Akuntabilitas Platform di Indonesia: Pembelajaran dari Pemilu 2024” pada 27 Agustus 2024 di Jakarta.
Selain itu, SAFEnet juga meluncurkan laporan riset terbarunya berjudul “Kebebasan atau Kebencian? Mengkaji Akuntabilitas Platform Media Sosial di Indonesia dalam Penyebaran Ujaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan di Pemilu 2024.” Riset ini menganalisis akuntabilitas Facebook, Instagram, dan TikTok dalam menangani ujaran kebencian terhadap kelompok rentan selama Pemilu 2024 di Indonesia.
Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet dan penulis laporan, mengungkapkan bahwa platform media sosial di Indonesia belum sepenuhnya akuntabel dalam menangani ujaran kebencian, dengan inkonsistensi moderasi konten sebagai catatan utama.
“Terdapat berbagai indikator untuk mengukur akuntabilitas platform digital, namun banyak platform media sosial belum sepenuhnya memenuhi standar akuntabilitas, terutama dalam hal transparansi dan moderasi konten. Laporan transparansi sering kali berfokus pada kuantitas tanpa kualitas, dan ada banyak inkonsistensi dalam penegakan kebijakan moderasi konten. Celah dalam teknologi deteksi serta perbedaan antara aplikasi mobile dan web juga menjadi tantangan dalam moderasi konten,” kata Nenden.
Selain itu, Heychael menjelaskan temuannya dari hasil pemantauan ujaran kebencian di media sosial yang dilakukan selama Pemilu 2024. Berdasarkan pemantauannya, diketahui bahwa perempuan dan LGBTIQ+ menjadi sasaran serangan ujaran kebencian bernuansa politis paling banyak selama Pemilu 2024.
“Penelitian menunjukkan bahwa kelompok rentan seperti perempuan, LGBTQ, dan etnis minoritas seperti Tionghoa dan Rohingya menjadi sasaran utama ujaran kebencian, yang seringkali mengandung elemen seksisme, xenofobia, dan ancaman kekerasan. Meskipun ada upaya untuk melaporkan konten ini, moderasi dan akuntabilitas platform seperti Facebook dan TikTok terbukti kurang efektif, dengan sebagian besar konten kebencian masih tersedia meskipun telah dilaporkan” kata Heychael.
Apriyanti dari Bawaslu dan Hari Kurniawan dari Komnas HAM memberikan pendapat tentang laporan ini, dengan Apriyanti menjelaskan hambatan yang dihadapi Bawaslu dalam memoderasi ujaran kebencian.
“Proses pengawasan masih menghadapi hambatan, seperti laporan manual dan kurangnya standar yang jelas dalam membedakan jenis pelanggaran. Bawaslu menyadari keterbatasan ini dan terbuka untuk kolaborasi lebih lanjut guna memperbaiki sistem pengawasan dalam pemilu mendatang” kata Apriyanti.
“Saya mengkritik ketidakpatuhan platform seperti Meta terhadap hukum Indonesia dan merasa kecewa terhadap Bawaslu yang dianggap kurang responsif dalam menangani pelanggaran, terutama yang terkait dengan ujaran kebencian terhadap kelompok rentan selama pemilu” tambah Kurniawan.
SAFEnet menyerukan peningkatan akuntabilitas platform digital untuk melindungi kebebasan berekspresi dan hak kelompok rentan dari ujaran kebencian. Mereka juga meminta pemerintah menghapus pasal karet dalam Permenkominfo 5/2020, mengembalikan kewenangan moderasi konten ke masyarakat sipil, serta merevisi peraturan KPU tentang penghinaan kampanye. SAFEnet juga menyarankan Bawaslu untuk meningkatkan kapasitas pemantau pemilu dalam membedakan ujaran kebencian dari ekspresi sah.
SAFEnet merekomendasikan kepada platform media sosial untuk mengembangkan kerangka kerja moderasi konten yang lebih komprehensif, meningkatkan transparansi terutama terkait iklan politik, dan mempermudah aksesibilitas mekanisme pengaduan bagi pengguna.