Masyarakat Adat Papua Desak Pemerintah Terkait Komitmen Untuk Selamatkan Hutan

  • Share

INIBORNEO.COM, Jakarta – Perwakilan masyarakat adat Papua menghadiri Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB atau CBD COP15 yang digelar pada 3-17 Desember 2022 di Montreal, Kanada. Dalam konferensi tersebut mereka menyuarakan terkait keselamatan hutan mereka di Papua.

“Kami yang paling tahu betapa berharganya hutan kami dan bagaimana cara menjaganya. Pemerintah harus mengakui hak-hak dan pengetahuan kami, dan kami akan melanjutkan apa yang sudah kami lakukan untuk menjaga hutan dan tanah kami. Bukan hanya untuk kami, tapi juga makhluk lainnya di bumi,” kata Orpha Yosua, perempuan dari suku Namblong di Papua.

Ia menceritakan perjuangan mereka melawan PT Permata Nusa Mandiri (PNM), perusahaan kelapa sawit yang hendak berinvestasi di Distrik Nimbokrang, Jayapura. Perusahaan tersebut ditengarai secara ilegal membabat hutan yang menjadi sumber hidup masyarakat adat.

Sejak zaman dahulu kala, komunitas masyarakat adat telah hidup dalam harmoni dengan alam. Masyarakat adat, yang jumlahnya hanya 5 persen dari seluruh populasi dunia, berkontribusi melindungi 80 persen keanekaragaman hayati dunia yang masih tersisa–terlepas dari berbagai kekerasan dan kriminalisasi terhadap praktik-praktik tradisional mereka.

“Kami berharap COP15 akan mengakui hak-hak kami dan akan membuka lebih banyak ruang untuk kami bisa terlibat dalam proses pembuatan kebijakan,” kata Dinamam Tuxá, perwakilan masyarakat adat dari Brasil, dalam forum yang sama.

Ia menambahkan bahwa negara-negara harus menggeser paradigma kolonial yang berpusat pada ekstraksi, serta mengubah pendekatan kebijakan ke arah perlindungan alam dengan menjunjung hak-hak masyarakat adat. Masyarakat adat juga harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan, terlebih yang menyangkut tanah mereka.

Secara terpisah, pengurus Dewan Adat Knasaimos Papua Barat, Arkilaus Kladit, juga berharap CBD COP15 dapat menjadi forum yang mendukung perjuangan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak mereka. Arkilaus sebelumnya memperjuangkan status hutan desa di Sorong Selatan demi melawan pembalakan liar.

“Prinsip kami adalah hutan itu terbatas. Seketika hutan rusak, anak-anak kami ke depan tidak bisa hidup. Jadi hutan tidak boleh rusak. Itu juga warisan orang tua kami,” kata Arkilaus.

CBD COP15 menjadi momen yang akan menentukan bagaimana kebijakan negara-negara dalam satu dekade ke depan untuk melindungi alam dan keanekaragaman hayati. Mengingat bahwa menurut laporan PBB, ada satu juta spesies yang terancam punah di seluruh dunia.

Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia yang hadir di Montreal menyatkan bahwa alam kita dalam kondisi krisis dan membutuhkan perlindungan. Indikator suksesnya negosiasi ini adalah seberapa besar mereka menempatkan masyarakat adat dan pengetahuan mereka sebagai inti dari setiap kebijakan dan aksi.

“Pemerintah mestinya memperkuat perlindungan masyarakat adat. Salah satunya dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang pembahasannya mandek sejak 2009,” tuturnya.

Sayangnya, dalam CBD COP15, delegasi Indonesia menyatakan tak setuju dengan prinsip 30×30, atau target global untuk melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen area laut hingga 2030.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *