INIBORNEO.COM, Pontianak – Cahaya redup, udara menggantung dengan aroma dupa, dan suara-suara yang tidak biasa mulai merambat dari sudut ruangan. Malam itu, sebuah bangunan semi-industri berubah menjadi ruang ritual yang memadukan seni pertunjukan dan musik kontemplasi.
Begitulah suasana penutupan Habe Fest 2025 yang digelar di Port 99 Pontianak, Jumat malam, 31 Mei 2025. Malam itu menjadi penutup yang emosional sekaligus penuh harapan, perayaan lintas seni yang menyatukan suara, tubuh, teknologi, hingga wacana dalam satu ruang kolaboratif selama sembilan hari.
Sesi ini bukan sekadar seremoni akhir, melainkan klimaks dari serangkaian agenda yang membongkar batas antara panggung dan kenyataan. Begitu pertunjukan dimulai, penonton yang duduk melingkar dibawa masuk ke atmosfer gelap dan mistis. Lampu ungu merah menyoroti sosok performer yang saling berhadapan.
Salah satu penampilan paling mencolok datang dari penampilan Manangkata yang berpakaian piyama, wajahnya tertutup kain yang menyelubungi kepala seperti rambut palsu merah menyala menjuntai dari kepalanya. Ia berdiri di depan alat gesek sape yang tersambung ke sistem elektronik, memainkan musik yang menyatu dengan musik DJ.
Di balik gegap gempita pertunjukan, ada visi mendalam yang digagas oleh musikus dan komponis asal Kalimantan Barat, Nursalim Yadi Anugerah, yang juga Direktur Balaan Tumaan, inisiator festival ini. Ia menegaskan bahwa Habe bukan sekadar festival biasa.
“Kami mau melihat festival bukan cuma riang gembira, tapi juga diproduksi dengan pengetahuan. Itulah kenapa ada tiga kunci utama, yaitu pertemuan, pertukaran, dan perayaan,” ungkap Yadi, begitu sapaan akrabnya.
Selama sembilan hari, Habe Festival menyajikan pertunjukan unik setiap harinya. Dimulai dari upacara pembukaan di atas sungai dimana lokasi yang selama ini jarang dipikirkan sebagai ruang performatif, hingga tanjidor di ruang publik, orkes lintas disiplin di taman budaya, dan inovasi musik Melayu berbasis teknologi.
Salah satu penampilan yang paling mencuri perhatian datang dari Sepertiga Malam, musisi tunggal yang memainkan beberapa instrumen secara simultan. Penonton dibuat terpukau oleh kesederhanaan visual yang menyimpan kerumitan musikal luar biasa. Beberapa alat musik serta instalasi air berpadu menciptakan harmoni indah.
Penutupan festival menghadirkan pertunjukan drama musikal yang berpadu dengan gerak dan tari mengukuhkan Habe sebagai ruang seni yang merayakan keberagaman dalam bentuk paling hidup.
Festival ini juga dirancang sebagai ruang pembelajaran dan pertukaran ide. Dari pagi hingga sore, forum diskusi dan workshop digelar tanpa jeda. Pameran alat musik disajikan dengan cara berbeda. Alat musik bukan lagi objek pajangan, melainkan “teman main” bagi pengunjung.
Tak ketinggalan, Belantara Studio menyuguhkan remix musik pop daerah oleh DJ, menyasar telinga generasi muda yang akrab dengan irama elektronik.
“Kami ingin menghadirkan ruang yang diinisiasi seniman untuk masyarakat. Musik-musik tradisi dan kontemporer sering kali tak punya panggung publik, hanya tampil jika ada fasilitasi pemerintah. Di sini, kami bangun sendiri panggung itu,” jelas Yadi lagi.
Titik Temu
Nama Balaan Tumaan sendiri berarti “titik pertemuan” dan Habe Festival menjadi bukti hidup dari semangat itu. Setelah satu dekade membangun jaringan, tahun ke-11 ini menjadi uji coba sejauh mana jejaring itu tetap hidup.
Lebih dari 11 seniman tampil di panggung utama, sementara puluhan lainnya terlibat dalam forum, workshop, dan program publik lainnya.
Menariknya, saat Balaan Tumaan datang dengan konsep ke Balai Besar Kebudayaan, pihak pemerintah justru tertarik untuk ikut mengelola.
“Kami datang dengan ide, mereka yang kelola. Tapi kami saling bantu. Inilah kolaborasi sejati. Dan itu juga bentuk pertemuan,” katanya.
Panen Harapan
Meski minim biaya, Habe Festival 2025 dipenuhi antusiasme. Yadi menyebut banyak umpan balik positif datang dari dalam dan luar negeri, termasuk dari mitra jejaring internasional yang mengikuti festival ini lewat media sosial.
“Tak ada patokan awal festival ini harus sepanjang ini. Tapi begitu kami mulai bincang dan inventarisasi, jelas ini tidak cukup sehari dua hari,” ujarnya sambil memainkan salah satu alat musik usai penutupan.
Ke depan, Yadi berharap Habe Festival bisa tumbuh menjadi format festival yang berkembang dengan segmen lebih luas, termasuk anak-anak dan perempuan.
“Harapannya kedepan benih-benih yang ditanam selama 10 tahun terakhir bisa dipanen bersama dalam dekade kedua,” katanya.
Habe Festival 2025 telah selesai, namun gema sahutannya masih terasa. Sesuai dengan artinya dalam bahasa Kayan, Habe atau sahutan, Yadi berharap sahutan ini bukan hanya terdengar di telinga, tapi juga di hati mereka yang percaya bahwa seni adalah ruang pertemuan, pertukaran, dan perayaan.