INIBORNEO.COM, Pontianak – Wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengenai vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos) memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat. Wacana ini pertama kali disampaikan Dedi dalam rapat koordinasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Gedung Balai Kota Depok pada 29 April. Dalam pertemuan itu, ia mengusulkan pemberian insentif sebesar Rp500 ribu bagi warga yang bersedia menjalani vasektomi, dengan alasan banyak orang tua yang belum mampu bertanggung jawab atas kehamilan, kelahiran, dan pendidikan anak-anak mereka.
Meskipun Dedi Mulyadi telah mengklarifikasi bahwa vasektomi bukan syarat wajib untuk menerima bansos, wacana tersebut tetap memicu diskusi mengenai etika, hak asasi manusia, dan kebijakan publik. Berbagai pihak menekankan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan menghormati hak individu dalam perumusan kebijakan terkait keluarga berencana dan bantuan sosial.
Dilansir dari Magdalene.co, aturan vasektomi sebagai syarat bansos menimbulkan kekhawatiran besar terkait pelanggaran hak otonomi atas tubuh. Direktur Eksekutif Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia, dr. Marcia Soumokil, MPH, angkat bicara mengenai hal ini. Ia mengingatkan bahwa kebijakan Keluarga Berencana (KB) seharusnya berlandaskan pada prinsip kesukarelaan.
Menurut Marcia, setiap orang yang ingin menggunakan kontrasepsi perlu mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif agar keputusan tersebut diambil dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan. Namun, jika program KB dijadikan prasyarat untuk mendapatkan bantuan sosial, maka kesukarelaan tersebut hilang. Masyarakat miskin yang membutuhkan bansos mungkin merasa terpaksa untuk memilih vasektomi demi bertahan hidup.
“Layanan kesehatan reproduksi yang dikaitkan dengan bantuan sosial sebenarnya tidak diperbolehkan. Ini berisiko mengarah pada pemaksaan penggunaan kontrasepsi. Banyak orang yang sangat membutuhkan bansos dan rela melakukan apa saja demi mendapatkannya, karena mereka berada dalam survival mode,” jelas Marcia.
Ia menegaskan bahwa jika vasektomi dilakukan secara paksa, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal 9 UU TPKS menyebutkan bahwa pemaksaan sterilisasi adalah kekerasan seksual karena melanggar hak dasar individu atas kebebasan tubuh dan reproduksi. Pelaku sterilisasi paksa dapat dikenakan hukuman penjara hingga sembilan tahun.
Marcia juga memperingatkan bahwa pemaksaan vasektomi dapat mempengaruhi dinamika rumah tangga. Ia menekankan potensi munculnya relasi yang tidak sehat antara pasangan, bahkan dapat berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal senada juga disampaikan oleh Shofi dari Perempuan Mahardhika, yang mengingatkan bahwa pemaksaan vasektomi dapat memicu kekerasan baru, terutama jika berbenturan dengan maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang masih dominan di masyarakat.
“Menurut saya, akan selalu ada potensi kekerasan dalam rumah tangga jika vasektomi dipaksakan. Kita hidup di masyarakat patriarki, di mana laki-laki merasa harus bisa membuahi untuk dianggap jantan. Saya rasa pemaksaan vasektomi tidak akan berjalan tanpa menimbulkan masalah di masa depan,” ujar Shofi.
Pernyataan Marcia dan Shofi didukung oleh hasil penelitian Aditi Singh dan Sarah Vincent dalam studi Male Sterilization and Persistence of Violence (2023). Mereka menemukan bahwa kebijakan sterilisasi massal yang diterapkan di India pada 1975–1977 menyebabkan lonjakan kasus pemerkosaan sekitar 22 persen setelah kebijakan tersebut diterapkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemaksaan sterilisasi dapat memicu reaksi kekerasan interpersonal sebagai bentuk kompensasi terhadap perasaan kehilangan kontrol pada maskulinitas laki-laki.
Kondisi ini juga berimbas pada perempuan, yang dalam budaya patriarki sering diposisikan sebagai pihak yang lebih rendah. Kekerasan seksual dan KDRT meningkat, sementara hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan semakin timpang.
Dalam temuan serupa, Prasad dalam Impact of Forced Sterilization on Female Labor Market Outcomes (2023) mencatat bahwa sterilisasi paksa berhubungan dengan peningkatan kekerasan domestik dan penurunan posisi perempuan dalam rumah tangga. Dampaknya bahkan sampai menurunkan partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja jangka panjang sebesar 4,5 persen dan meningkatkan pengangguran hingga 4,7 persen di tingkat distrik.
Marcia juga menekankan bahwa pendidikan seksual yang komprehensif seharusnya menjadi prioritas daripada memaksakan vasektomi kepada laki-laki. Ia mengingatkan bahwa isu vasektomi kerap terkait dengan mitos-mitos tentang maskulinitas. Karena itu, penting untuk memberikan penjelasan yang jelas agar laki-laki memahami bahwa vasektomi bukan tindakan yang merugikan.
“Jika pemerintah serius, mereka dapat memulai dengan mengampanyekan vasektomi sebagai salah satu pilihan dalam program KB. Selain itu, penting untuk merespons kekhawatiran laki-laki yang menyamakan vasektomi dengan kastrasi, untuk mengatasi mitos dan hoaks yang beredar di masyarakat,” pungkasnya.