Meski Pontianak dianugerahi sinar matahari melimpah, transisi ke energi surya masih terhambat. Tanpa regulasi kuat dan dukungan nyata, PLTS atap akan menjadi wacana yang tertahan diambang potensi.
Oleh Caroline Voermans
Bicara tentang regulasi, Rudi Hardiyanto, Kepala Bidang Ketenagalistrikan dan Pengelolaan Energi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan belum ada perda yang dibuat oleh pemda setempat terkait PLTS ini. Ataupun subsidi langsung untuk pembelian panel surya. Pemerintah lebih mengedepankan imbauan agar berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan swasta, dapat mengimplementasikan PLTS atap.
“Tidak ada subsidi untuk panel. Ini lebih semacam himbauan tapi himbauan yang sangat diharapkan pemerintah bisa dilaksanakan,” ungkapnya.
Sementara itu, ada Program Sejuta Atap yang digaungkan oleh PT PLN (Persero). Namun ternyata memiliki fokus yang berbeda dari sekedar menghiasi atap-atap rumah di perkotaan seperti Pontianak dengan panel surya. Alih-alih menjadi solusi masif untuk kemandirian energi di kota, program ini justru lebih menyasar wilayah-wilayah terpencil yang sulit dijangkau jaringan listrik konvensional PLN.
Menurut Yudi Yanto, Manager Pembanngkitan PT. PLN Unit Induk Distribusi Kalbar, program ini memungkinkan pelanggan dengan daya tertentu, contohnya dengan daya 1300 VA, untuk menggunakan sebagian dayanya dari PLTS (misalnya 1000 VA) dan sisanya dari PLN (300 VA) dengan skema pembayaran yang diatur bersama
Namun, penekanan penting diberikan pada wilayah implementasi program ini.
“Tapi itu memang baru kita lakukan di daerah-daerah yang jangkauannya jauh dari PLN. Program Sejuta Atap itu lebih difokuskan untuk itu, targetnya untuk pulau-pulau yang tidak terjangkau aliran listrik.”
Pernyataan ini memberikan kejelasan bahwa inisiatif Program Sejuta Atap lebih ditujukan untuk mengatasi masalah elektrifikasi di daerah-daerah terpencil, alih-alih untuk transisi energi bersih.
Lantas, bagaimana dengan potensi PLTS atap di perkotaan, khususnya Kota Pontianak?
Yudi mengakui bahwa perencanaan implementasi PLTS sebenarnya sudah ada. “Kalau perencanaan-perencanaan PLTS itu sudah kita terapkan, cuma balik lagi regulasi dan infrastruktur dan juga investor juga yang menjadi tantangan,” ujarnya.
Hal ini sejalan dengan tantangan yang sebelumnya diungkapkan terkait implementasi PLTS atap di perkotaan. Regulasi yang belum sepenuhnya mendukung, keterbatasan infrastruktur seperti sistem metering yang memadai, serta minimnya investasi yang terarah menjadi penghambat utama adopsi PLTS atap di skala rumah tangga perkotaan.
Kemandirian Energi
Di sebuah ruang kantor seluas 3×4 meter di dalam Gedung Magister Teknik, Universitas Tanjungpura, Ismail Yusuf, memberi pernyataan dengan nada pesimis. Ia menggeleng perlahan ketika membahas transisi energi dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya di kota ini. “Potensi ada karena matahari kita berlimpah. Tapi kalau untuk sampai bisa menggantikan yang kontemporer, dari segi ekonomisnya, tidak ngejar. Meskipun pakai system on-grid juga, rasanya belum bisa,” ujarnya pelan.
Ditengah keoptimisan dan harapan terhadap PLTS atap, terselip keraguan besar dari seorang Prof. Dr. Eng.Ir. Ismail Yusuf, M.T, akademisi yang sempat melakukan kajian dan penelitian tentang PLTS. Bagi Ismail, investasi PLTS atap di perkotaan seperti Pontianak masih tampak seperti ilusi yang lebih banyak menimbulkan pertanyaan ketimbang jawaban. Mulai dari biaya pemasangan yang tinggi, efisiensi yang rendah bila dibandingkan listrik PLN, ditambah jejak karbon dalam produksi panel surya itu sendiri.
“Selama ada jaringan listrik efektifitasnya kurang. Artinya efisien kah? Tidak. Lebih hemat kah? Secara keseluruhan, tidak. Kalau masyarakat kita merasa itu bermanfaat, mereka akan pasang sendiri tanpa disuruh. Kalau untuk eksperimen, boleh. Tapi untuk skala besar? Tidak,” tegasnya.
Ia lebih melihat PLTS sebagai solusi ideal untuk pulau-pulau terpencil yang belum tersentuh jaringan listrik konvensional.
Di benaknya, mimpi tentang PLTS yang menggantikan sumber energi kontemporer di perkotaan masih jauh panggang dari api, terbentur oleh kalkulasi ekonomi. Bahkan, kenangan tentang program net metering yang sempat ada pun kini tinggal cerita usang yang tak lagi terdengar gaungnya.
Program net metering adalah program sistem di mana pemilik sistem pembangkit energi terbarukan, seperti PLTS dapat menerima kredit atas kelebihan energi yang mereka kirimkan ke jaringan listrik PLN.
Namun dari kacamata ESDM, Rudi Hardiyanto memberikan perspektif yang berbeda. Katanya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memang tidak bisa menyerap emisi seperti pohon, tapi bisa membantu mengurangi jumlah emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel).
“Kedua jenis pembangkit ini menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi setiap kali mereka memproduksi listrik, bahkan hanya untuk satu kilowatt-hour (kWh) saja. Di sinilah peran energi baru terbarukan seperti PLTS jadi penting. Semakin besar penggunaannya, semakin sedikit kita bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang kotor dan mencemari lingkungan,” ujarnya.
Sebagai gambaran, lanjutnya, satu sistem PLTS dengan kapasitas 1 kilowatt-peak (kWp) bisa mengurangi emisi sekitar 1,33 ton karbon dioksida (CO₂) per tahun. Jadi kalau ada rumah yang memasang PLTS sebesar 25 kWp, emisi yang bisa dikurangi mencapai sekitar 33,25 ton CO₂ per tahun. Perhitungannya tinggal dikalikan saja.
“Data untuk perhitungan ini bisa dilihat dari Aplikasi Aksara yang memang digunakan untuk melacak dan menganalisis bauran energi setiap semester,” tambahnya lagi.
Berdasarkan perhitungan kasar tersebut jika dikonversikan dengan asumsi bahwa satu pohon dewasa menyerap sekitar 22 kg CO₂ per tahun, pemasangan PLTS sebesar 25 kWp yang dapat mengurangi emisi sekitar 33,25 ton CO₂ per tahun setara dengan kemampuan penyerapan emisi oleh sekitar 1511 pohon.
Nada optimis juga disuarakan Ahmad Syukri, Ketua LINK-AR Borneo menilai ada beberapa hal yang disebutnya dapat menjadi solusi mempercepat transisi energi ke PLTS. Yang pertama, pemerintah bisa memproduksi panel surya secara masal.
“Jika diproduksi secara massal oleh pemerintah untuk masyarakat berarti kan harganya bisa jauh lebih murah karena diproduksi secara massal. Kemudian kalau disediakan teknisi yang massif di semua tempat. Namun sayangnya, problemnya karena orientasi listrik di Indonesia itu bukan kepentingannya untuk masyarakat, tetapi untuk komersil. Jadi kalau pemerintah mendorong masyarakat punya listrik mandiri, PLN tidak dapat untung.” selorohnya.
Ia juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan hanya mengejar pendanaan internasional untuk transisi energi, tanpa memberikan kemudahan nyata bagi masyarakat untuk beralih ke energi surya. Transisi energi harus dilakukan dengan dominan pertimbangan semangat berenergi bersih dan mengurangi ketergantungan fosil. “Pemerintah harus memberikan kemudahan dulu, sama seperti dulu transisi minyak tanah ke LPG,” cetusnya penuh harap.
Dari sudut pandang penyedia listrik, Muklis Zarkasih, Manager Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan PLN, tak menampik potensi PLTS sebagai bagian dari inovasi dan upaya mengurangi emisi. Namun, ia tak menyembunyikan tantangan yang tetap harus dipertimbangkan. Harga yang relatif mahal, isu kontinuitas dan stabilitas tegangan, hingga perhitungan teknis terkait luasan atap dan kemampuan menopang panel menjadi pertimbangan krusial.
Belum lagi ancaman cuaca ekstrem seperti puting beliung dan biaya pemeliharaan yang tak sedikit. Meski tak mengatakan “tidak bisa”, ada kehati-hatian jelas terasa dalam penjelasannya.
Meski begitu, Muklis tidak menutup harapan. Baginya, PLTS atap adalah bagian dari inovasi masa depan. “Kalau regulasi dan infrastrukturnya diperbaiki, PLTS bisa jadi solusi. Jangan lupakan juga bagaimana menarik minat investor untuk berinvestasi di PLTS ini,” ujarnya, membuka sedikit jendela harapan.
Ia menambahkan bahwa dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030, energi terbarukan seperti PLTS sudah masuk dalam rencana besar menuju net zero emission 2060. Artinya, masa depan energi bersih meski pelan namun sudah mulai disorot.
Namun, di tengah simpang siur pendapat, suara harapan dari kaum perempuan hadir bagai embun pagi yang menyegarkan. Suci Lukitowati yang akrab dipanggil Luki, seorang ibu rumah tangga di Pontianak, dengan lugas menyatakan dukungannya pada PLTS.
“Ini sangat bagus karena salah satu sumber energi yang tidak ada habisnya,” ujarnya dengan semangat. Sebagai seorang ibu, ia tak hanya melihat aspek ramah lingkungan, namun juga menimbang sisi ekonomisnya.
Baginya, PLTS atap bukan sekadar teknologi, melainkan sebuah gerakan untuk masa depan yang lebih bersih. “Kalau instalasinya disubsidi pemerintah, saya yakin banyak yang mau pasang,” tambahnya penuh semangat.
Namun ia juga mengkritisi birokrasi pemasangan yang berbelit. “Kenapa harus izin-izin dulu? Kenapa tidak dipermudah saja? Kalau mau masyarakat mandiri energi, jangan dipersulit,” ujarnya lantang.
Pertanyaan yang menggelayuti benaknya sederhana namun mendasar, akankah pemerintah hadir memberikan kemudahan instalasi seperti subsidi, agar kemandirian energi ini dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat?
Senada dengan Luki, Lulu Musyarofah, Ketua Yayasan SAKA, menegaskan bahwa dari perspektif perempuan, PLTS jauh lebih ramah lingkungan ketimbang energi berbasis tambang yang harus dikerok dari perut bumi. “Kalau bicara soal dampak lingkungan, perempuan yang paling terdampak. Maka kami dukung penuh PLTS atap,” tegasnya.
Dari perspektif seorang perempuan yang peduli pada isu lingkungan, baginya, PLTS menawarkan harapan akan masa depan yang lebih lestari, di mana kerusakan lingkungan tak lagi menjadi beban yang harus dipikul oleh generasi mendatang.
Sehingga di tengah perdebatan tentang efisiensi dan tantangan teknis, suara para perempuan ini menjadi penyejuk. Mereka melihat PLTS bukan hanya sebagai sekadar sumber energi alternatif, melainkan sebagai sebuah harapan akan kemandirian, keadilan, dan kelestarian lingkungan. Rekomendasi pun mengalir deras dari suara-suara penuh harap ini. Pemerintah diharapkan hadir dengan regulasi yang mempermudah, insentif yang menarik, dan subsidi yang meringankan beban masyarakat. Sosialisasi dan edukasi yang masif juga menjadi kunci untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya energi bersih.
Solusi mungkin terletak pada kolaborasi yang erat antara pemerintah, penyedia listrik, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang berpihak pada energi bersih, memberikan insentif fiskal, dan memangkas birokrasi perizinan. PLN dapat berperan sebagai fasilitator dan pengembang infrastruktur pendukung PLTS atap. Pelaku industri dapat berinovasi untuk menekan biaya instalasi dan perawatan. Akademisi dapat terus melakukan penelitian dan pengembangan teknologi PLTS yang lebih efisien dan terjangkau. Dan yang terpenting, masyarakat perlu diberikan pemahaman dan kemudahan untuk mengadopsi PLTS atap sebagai bagian dari gaya hidup yang berkelanjutan.
Langit Pontianak tetap cerah. Seakan mengirimkan pesan energi dari matahari yang tidak pernah pilih kasih.Mungkin pesimisme seperti yang disuarakan bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal dari perjalanan panjang. Perjalanan untuk mengubah tantangan menjadi peluang, skeptisisme menjadi semangat, dan impian menjadi kenyataan. Karena di bawah langit Pontianak, matahari terus bersinar. Tinggal kita, maukah menangkap cahayanya?(*)