Oleh Caroline Voermans
Di kota Pontianak, yang dibelah oleh garis khatulistiwa dengan panas mentari yang membakar semangat, denyut nadi kehidupan berpacu seiring meningkatnya kebutuhan akan energi. Di kota ini, di tengah hiruk pikuknya yang terus bertumbuh, terbentang ironi; potensi energi surya yang melimpah bagaikan emas yang terpendam, namun masih terbungkam oleh dominasi energi fosil yang membakar bumi.
Perjalanan menuju pemanfaatan energi bersih di kota Pontianak ini tidaklah semudah menjemur pakaian dibawah terik matahari. Meski terhampar potensi tersembunyi pada setiap atap rumah dengan peluang yang membentang luas, tetap ada tantangan yang menghadang.
Ferdy Ardian (43), seorang musisi yang telah lama mengadopsi Pembanngkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di studio musik miliknya, menjadi salah satu pionir PLTS atap di Pontianak. Pada tahun 2011, ia memasang sendiri panel surya di atap bangunan studio seluas 48 meter persegi. Berawal dari seringnya pemadaman listrik, akhirnya berlanjut dengan menjajakan jasa pemasangan panel surya. Pekerjaan ini ditekuninya dengan santai sembari menciptakan nada.
Namun itu di tahun 2011, ketika pemadaman seringkali terjadi. Waktu itu panel surya bak laron penggoda ditengah gulitanya pemadaman. Meskipun mahal, orang-orang pun penasaran dan berbondong-bondong datang untuk melihat, beberapa ingin ikut memasang atau ada yang sekedar bertanya, ingin tahu. Sekarang, aura panel surya seakan meredup seiring kerlipan lampu kota yang terus berpendar tiada henti.
“Waktu itu beli masih mahal. 1 keping panel 3,5 juta rupiah. Saya beli 7 keping untuk satu rumah dan dipakai hanya pada siang hari saja. Pemakaian pun hanya sebatas untuk lampu, kipas angin dan pompa air. Kalau untuk alat-alat elektronik yang berat-berat seperti AC dan alat-alat music di studio, saya masih pake jaringan PLN,” jelasnya.
Ferdi menggunakan PLTS sistem on-grid. Artinya sistem PLTS yang masih terhubung langsung ke jaringan listrik utama (PLN,red). Dan karena ia tidak menyertakan baterai untuk menyimpan cadangan energi matahari, sehingga sepenuhnya masih bergantung pada jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara).
Di perkotaan, sistem on-grid memang menjadi pilihan ideal. Ada pula sistem hybrid yang sama dengan on-grid. Bedanya, kalau on-grid tidak menyertakan baterai, sistem hybrid menggunakan baterai sehingga energi surya masih bisa ditampung dan digunakan pada malam hari saat tidak ada cahaya matahari.
“Kalau on-grid itu, siang pake tenaga matahari, malam pake PLN. Jadi nge-mix. Kalau semua pakai panel surya, biayanya lebih mahal lagi. Lagian di kota kan masih ada listrik dari PLN,” cetusnya.
Ferdi melihat bahwa PLTS punya keuntungan tersendiri, terutama di daerah yang jauh dari jaringan listrik.
“Kalau tempat yang tidak ada jaringan listrik, lebih untung dibanding yang sudah ada listrik kayak di desa yang masih banyak belum ada listrik,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana mahalnya biaya bahan bakar genset untuk penerangan di malam hari jika tidak ada jaringan listrik.
“Misalnya per malam mereka harus menyiapkan 4 liter bensin per malam untuk menyalakan lampu menggunakan genset. Tentunya biaya dikeluarkan lebih mahal untuk membeli bahan bakar. Makanya lebih hemat pakai panel surya,” ujarnya.
Untuk daerah yang belum ada listrik, pemasangan dilakukan secara off-grid. PLTS off-grid adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya dengan sistem yang mengandalkan energi matahari sebagai satu-satunya sumber energi. Sehingga berbeda dengan tipe on-grid, tipe ini tidak disinkronkan dengan listrik PLN. Biasanya sebagai cadangan, didukung dengan baterai untuk menyimpan energi.
Menurut Ferdi, PLTS atap menawarkan peluang efisiensi energi dan penghematan biaya listrik bagi rumah tangga di Pontianak. Dengan memanfaatkan energi matahari yang melimpah, masyarakat dapat mengurangi ketergantungan pada listrik PLN dan menekan tagihan bulanan. Ferdi sendiri merasakan manfaatnya. “Menghemat setengah dari biasa kita pake PLN,” ujarnya. Selain itu, PLTS atap juga relatif aman karena dilengkapi dengan pengaman yang meminimalisir korsleting.
Mentari Khatulistiwa
Penelitian yang dimuat dalam Journal of Electrical Engineering, Energy, and Information Technology (J3EIT) dari Universitas Tanjungpura Pontianak, menggarisbawahi betapa signifikannya potensi surya di ibukota Kalimantan Barat ini.
Dengan rata-rata intensitas energi matahari mencapai 146,98 W/m² sepanjang tahun, Pontianak menyimpan tambang energi tak terbatas di langitnya. Lebih lanjut, penelitian ini mengkonfirmasi bahwa intensitas radiasi matahari dan suhu lingkungan memiliki pengaruh langsung terhadap daya listrik yang dihasilkan oleh panel surya. Tentunya potensi yang sedemikian besar sayang sekali jika tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat Pontianak.
Ahmad Syukri yang biasa disapa Bang Uki sebagai Ketua lembaga pemerhati lingkungan LINK-AR Borneo menyoroti potensi PLTS sebagai energi yang berkeadilan jika dikembangkan secara mandiri.
Konsep transisi energi yang berkeadilan ini menurutnya memiliki dua aspek. Pertama, aspek orientasi. “Energinya untuk siapa? Apakah memang benar untuk masyarakat atau memang untuk kepentingan industri atau komersial. Karena pertumbuhan listrik itu lebih banyak untuk industri daripada untuk rumah tangga,” jelasnya.
Aspek lainnya adalah, benar tidak sumber energi baru terbarukan tersebut benar-benar merupakan energi bersih. Ia membandingkannya dengan biomassa yang berpotensi menyebabkan deforestasi.
“Kehilangan hutan berarti kan mempercepat pemanasan global. Jadi berbanding terbalik dengan tujuan utama transisi energi. Kemudian geothermal yang harus mengebor lagi. Ini akan menambah panas bumi,” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak lingkungan dari setiap sumber energi, termasuk PLTS. Namun jika dirinya harus memilih diantara energi terbarukan yang ada di Kalimantan Barat, ia lebih mendukung panel surya yang skala rumah tangga, tetapi tentunya dengan dibarengi tehnologi yang lebih baik.
“Kalau mau dipilih dari semua energi baru terbarukan ini, memang tidak ada yang sempurna. Yang benar-benar bersih itu tidak ada. PLTS saja yang menggunakan panel, kita tahu bahwa panel itu terbuat dari bahan-bahan tambang. Yang kedua, sedikit banyak walaupun terpisah, dia tetap menimbulkan panas, apalagi yang skala besar dan terpusat dan terkonsentrasi seperti yang di Universitas Tanjung Pura yang menggunakan satu hamparan. Itu saya dengar mahasiswanya banyak mengeluh dengan panas yang dihasilkan dari panel tersebut, yang katanya lebih panas dari biasanya. Jadi PLTS ini juga masih perlu tehnologi tambahan yang lebih tinggi terutama dalam baterai,” jelasnya panjang lebar.
Di level pemerintahan, pemanfaatan energi surya bahkan dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalbar.
Rudi Hardiyanto, Kabid Ketenagalistrikan dan Pengelolaan Energi di dinas ini menyebutkan, instansi tempatnya bekerja saat ini sudah menggunakan PLTS atap untuk menerangi sebagian penerangan ruangan kantor.
PLTS ini merupakan percontohan yang diharapkan dapat diikuti oleh masyarakat skala rumah tangga maupun gedung pemerintah lainnya termasuk perusahaan-perusahaan.
Dijelaskan Rudi, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memang tidak bisa menyerap emisi seperti pohon, tapi bisa membantu mengurangi jumlah emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel).
“Kedua jenis pembangkit ini menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi setiap kali mereka memproduksi listrik, bahkan hanya untuk satu kilowatt-hour (kWh) saja. Di sinilah peran energi baru terbarukan seperti PLTS jadi penting. Semakin besar penggunaannya, semakin sedikit kita bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang kotor dan mencemari lingkungan,” ujarnya.
Sebagai gambaran, lanjutnya, satu sistem PLTS dengan kapasitas 1 kilowatt-peak (kWp) bisa mengurangi emisi sekitar 1,33 ton karbon dioksida (CO₂) per tahun. Jadi kalau ada rumah yang memasang PLTS sebesar 25 kWp, emisi yang bisa dikurangi mencapai sekitar 33,25 ton CO₂ per tahun. Perhitungannya tinggal dikalikan saja.
“Data untuk perhitungan ini bisa dilihat dari Aplikasi Aksara yang memang digunakan untuk melacak dan menganalisis bauran energi setiap semester,” tambahnya lagi.
Berdasarkan perhitungan kasar tersebut jika dikonversikan dengan asumsi bahwa satu pohon dewasa menyerap sekitar 22 kg CO₂ per tahun, pemasangan PLTS sebesar 25 kWp yang dapat mengurangi emisi sekitar 33,25 ton CO₂ per tahun setara dengan kemampuan penyerapan emisi oleh sekitar 1511 pohon dewasa.
Kontribusi PLTS atap di Pontianak saat ini, ungkapnya, memang lebih berfokus pada efisiensi energi dan konversi ke energi yang lebih ramah lingkungan, terutama untuk gedung-gedung pemerintah dan penerangan jalan umum. “Ada 2 hal dari program ini yang dikejar oleh pemerintah. Satu, adalah di dalam meningkatkan bauran energi terbarukan dan kedua adalah bagaimana PLTS atap ini menjadi satu trigger untuk efisiensi atau pengurangan pengeluaran,” jelasnya.
Ia mencontohkan keberhasilan di Pulau Jawa dimana industri-industri sudah banyak yang menggunakan PLTS atap. Meskipun mahal di awal pemasangan, tapi mereka menyadari efektifitas yang didapat dari memasang PLTS atap ini.
“Karena mereka menyadari ke depannnya 10 tahun sudah BEP (Break Even Point) sudah balik, tahun setelahnya sudah menikmati saja. Walaupun di awalnnya terasa besar Tapi untuk sampai kondisi seperti itu, memang harus ada komunikasi dan sosialisasi supaya kita juga bisa memberikan edukasi kepada pemilik-pemilik perusahaan,” tambahnya.
Muklis Zarkasih, Manager Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan di Perusahaan Listrik Negara (PLN), menambahkan bahwa pemanfaatan PLTS di perkotaan adalah bagian dari inovasi dan upaya pemerintah dalam mendorong energi hijau.
“Dengan adanya PLTS ini dapat mengurangi emisi dan mempengaruhi dampak lingkungan,” katanya.
Ia menyoroti potensi Kalimantan Barat, khususnya Pontianak yang dikenal sebagai kota equator, sangat ideal untuk pemanfaatan tenaga matahari, mencontohkan keberhasilan PLTS hybrid di Temajok, Kabupaten Sambas.
Tantangan Menghadang
Namun, jalan menuju pemanfaatan PLTS atap di Pontianak tidaklah selalu mulus. Berbagai tantangan menghadang, menghalangi masyarakat perkotaan untuk sepenuhnya memeluk energi surya. Salah satunya adalah biaya pemasangan yang masih relatif mahal. Ini yang membuat PLTS atap di skala rumahan belum menjadi pilihan utama bagi banyak orang.
Pemandangan panel surya di atap rumah masih menjadi barang langka.
Data PT. PLN (Persero), jumlah PLTS atap di Kota Pontianak hanya 35 atap saja. “Untuk yang di Kota Pontianak masih sedikit, dan itupun yang pasang banyaknya perkantoran atau perusahaan,” ungkap Yudi Yanto, Manager Pembangkitan PT. PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Kalbar.
Saat ini, adopsi PLTS atap di Pontianak lebih banyak terlihat pada sektor komersial dan industri. Hal ini didorong oleh kebutuhan bisnis untuk memenuhi persyaratan penggunaan energi hijau dan citra perusahaan yang peduli lingkungan.
“Kebanyakan pemakaian PLTS ini lebih banyak kantor. Karena kebutuhan untuk bisnisnya untuk memenuhi syarat menggunakan energi hijau. Nah salah satunya perusahaan atau kantornya ini menggunakan PLTS. Contohnya GAIA Mall,” ungkapnya.
Tantangan teknis seperti penggunaan meteran khusus untuk pengukuran energi menjadi salah satu batu sandungan dalam implementasi PLTS atap rumahan. Sistem kelistrikan yang terhubung dengan PLTS atap (on-grid) memerlukan infrastruktur khusus, terutama pada sistem pengukuran energi.
“Terdata di kami cuma ada yang on-grid. Karena kaitannya on-grid ini berasal dari dua sumber, dari PLTS itu sendiri dan dari PLN. Kami data dan kita lakukan perubahan di metering-nya juga, tidak bisa menggunakan meteran yang biasa. Itu meteran eksim, namanya AMI, jadi dia bisa membaca ekspor dan impor. AMI (Advance Metering Infrastructure) adalah perangkat yang bisa dibilang meteran pintar seperti itulah. Satu instalasi tapi sumbernya 2, dan itu otomatis berpindah,” paparnya.
Penggunaan meteran eksim AMI yang lebih canggih ini memerlukan investasi dan sosialisasi yang lebih luas kepada masyarakat. Selain itu, integrasi PLTS atap skala rumah tangga ke dalam jaringan listrik yang sudah ada juga memerlukan perencanaan dan penyesuaian teknis agar tidak mengganggu stabilitas pasokan.
Dari sisi ekonomi, tambahnya, implementasi PLTS atap bagi rumah tangga di Pontianak belum terasa begitu menguntungkan secara langsung. Meskipun penggunaan PLTS dapat mengurangi tagihan listrik dari PLN, tarif dasar listrik saat ini masih menjadi pertimbangan utama.
“Di regulasi yang baru harganya sama saja. Hanya mengurangi pemakaiannya. Misalnya tarif rumah tangganya 1400 VA yang sebelumnya tarifnya 500 ribu, yang di PLN jadi berkurang. Harga PLN per kWh, 1400-an. Paling kalau ada kenaikan berapa persen saja. Dan itu tetap diatur pemerintah melalui ESDM,” jelas Yudi lagi.
Dengan kata lain, penghematan biaya listrik sangat bergantung pada seberapa besar daya yang dihasilkan oleh PLTS atap dan seberapa banyak konsumsi listrik dari jaringan PLN dapat dikurangi. Faktor cuaca juga memainkan peran penting dalam efektivitas PLTS atap.
“Pemakaian yang menggunakan PLTS atap itu, tergantung pada cuaca. Kalau cuaca cerah berarti kan baterainya terisi penuh sehingga banyak memakai tenaga matahari. Kalau cuaca mendung dan suplai kurang, berarti banyak pakai PLN. Nah biayanya tergantung besar kecilnya pemakaian dan kondisi cuaca,” tambahnya lagi
Tantangan terbesar lainnya adalah harga pemasangan panel surya yang cukup mahal.
Kembali lagi ke cerita Ferdi, harga yang mahal pada pemasangan awal panel surya, membuat orang mulai berhitung. Ferdi memberikan gambaran harga pemasangan PLTS tergantung kebutuhan.
“Kalau tidak ada kulkas, tidak ada AC, sekitar 20 juta untuk pemasangan pertama. Selain biaya awal, ada juga biaya perawatan. Tapi biaya maintenance tidak terlalu besar sekitar 3-5 tahun sekali perawatan panel. Paling hanya membersihkan lumut karena menghalangi cahaya yang diserap,” katanya.
Tantangan lain, masih banyak masyarakat yang kurang paham tentang PLTS.
“Kalau orang yang nanya, ada beberapa. Kebanyakan belum paham tentang panel surya tapi pengen pasang. Jadi edukasinya ribet,” kata Ferdi. Edukasi yang komprehensif sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat terhadap PLTS.
Dari pengalamannya, Ferdi menyimpulkan bahwa memasang PLTS rumahan tidaklah rumit. Hanya perlu panel, inverter dan aki. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipahami.
“Untuk pasang panel surya ini harus paham elektronik, kemudian sparepart nya tidak banyak, lampunya juga lampu khusus, lampu DC (arus searah,red) namanya. Bukan lampu yang biasa. Makanya perlu edukasi,” tegasnya.
Pengalaman Ferdi memang kemudian menciptakan peluang. Tawaran pemasangan mulai berdatangan. Kebanyakan di wilayah pedesaan yang belum terjamah listrik. Yang awalnya hanya belajar lewat internet, kini ia sudah piawai memasangnya.
“Awalnya cuma belajar lewat google aja. Tapi harus dipraktekkan biar lebih mudah. Kalau dipraktekkan jadi lebih tahu dan lebih paham,” jelas pemuda lulusan Teknik Sipil ini.
Lambat laun, permintaan pemasangan semakin berkurang seiring program kelistrikan sudah mulai menjamah daerah terpencil.
Sampai tahun lalu, ia hanya memasang 3 tempat, itupun bukan skala rumahan, tapi pemasangan untuk camp pekerja. Sebagian besar penggunaanya pun hanya untuk lampu saat malam hari dan untuk mengecas hp.
“Diantaranya di Pulau Kabung, di Tayan, dan di Ambawang. Nah tahun ini ada yang minta lagi di Kawasan Danau Sentarum. Kalau satu camp itu perlu 100-an juta untuk panel suryanya. Jasa pasang dan akomodasi ditanggung sama konsumen,”jelasnya.
Ia menyayangkan PLTS ini masih didominasi pada wilayah pedesaan saja. Padahal menurutnya PLTS di perkotaan punya potensi, hanya saja perlu edukasi dan sosialisasi ke masyarakat tentang PLTS ini.
“Mungkin butuh waktu untuk edukasi dan sosialisasi ke masyarakat karena banyak yang belum familiar dengan PLTS ini,” ujarnya
Saran Ferdi, jika ingin PLTS atap berhasil diterapkan di Kota Pontianak, pemerintah bisa saja memberikan edukasi sejak di bangku sekolah.
“Mungkin sejak SMA sudah dikenalkan kepada siswa siswi, kemudian, diperlukan juga sinergi antara pemerintah dan masyarakat atau mungkin ada subsidi untuk pemasangan. Selain itu kebijakan untuk mendukung PLTS juga merupakan hal yang pennting untuk mewujudkan PLTS atap di Kota Pontianak,” sarannya.
Realita Ekonomi
Jika cerita Ferdi, dengan latar belakang musiknya, melihat energi surya sebagai harmoni alam yang dapat menghidupi kehidupan. Ia memasang sendiri panel surya di studionya, belajar secara otodidak dari internet.
Ada lagi Ko Aci, supplier panel surya, memiliki pandangan yang lebih luas. Ia melihat potensi energi surya untuk menggerakkan roda ekonomi dan memberdayakan masyarakat. Ia tak hanya menjual panel surya, tetapi juga memberikan edukasi dan pendampingan kepada pelanggan.
“Kalau ada yang ingin pasang sendiri tetap kita edukasi juga sih,” ujarnya, menunjukkan semangat berbagi pengetahuan.
Namun ia melihat bagaimana antusiasme masyarakat berbenturan dengan realita ekonomi.
“Kalau beban listrik kecil bayarnya, gak usah pasang panel surya, pakai PLN saja,” katanya. Sebab, di balik kemilau panel surya, tersembunyi biaya investasi awal yang tak sedikit.
Harga perangkat yang masih mahal, bagai tembok tinggi yang menghalangi masyarakat untuk beralih ke energi bersih. “Satu rumah biasa kita tawarkan 4-5 juta,” ungkap Ko Aci, sebuah angka yang mungkin terasa memberatkan bagi sebagian besar keluarga. Belum lagi biaya penggantian baterai yang cukup menguras kantong.
Saat ini, kata Ko Aci, ia sudah tidak lagi melakukan pemasangan solar panel baru. Hanya penjualan suku cadang atau peralatan maintenance untuk panel surya yang sudah terpasang.
Sama halnya dengan Ferdi, persepsi masyarakat yang masih kurang tentang PLTS atap juga menjadi tantangan. Kekhawatiran akan biaya perawatan, efektivitas panel surya saat cuaca mendung, dan ketidaktahuan tentang teknologi PLTS menjadi penghalang dalam adopsi energi surya di perkotaan.
Regulasi yang ada pun terkadang terasa bagai labirin yang membingungkan. Di sisi lain, ada keraguan yang menyelimuti benak masyarakat. “Edukasi ke masyarakat juga agak sulit karna banyak yang belum paham,” ujar Ko Aci.