Begini Potret Buruh di Kalbar yang Jumlahnya Kini Tembus 1,1 Juta

  • Share
Sebanyak 1000 buruh perkebunan sawit PT Duta Palma di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang menggelar aksi damai dan dialog ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Sambas pada Tanggal 30 Januari 2025

INIBORNEO.COM, Pontianak – Setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, sebuah momentum untuk menghargai kontribusi para pekerja terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Di Kalimantan Barat, peran buruh menjadi sangat signifikan dalam struktur ketenagakerjaan daerah ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat mencatat bahwa pada Agustus 2024, penduduk bekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai mendominasi dengan proporsi sebesar 40,58 persen. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 38,21 persen pada Agustus 2022 dan 37,13 persen pada Agustus 2023.

Secara jumlah, buruh di Kalimantan Barat juga terus bertambah. Dari 977 ribu orang pada Agustus 2022, jumlahnya meningkat menjadi 1,03 juta pada 2023, dan melonjak menjadi 1,162 juta orang pada Agustus 2024. 

BPS juga mengkategorikan penduduk bekerja berdasarkan status pekerjaan utama ke dalam dua kelompok besar, yaitu kegiatan formal dan informal. Kegiatan formal mencakup mereka yang berstatus buruh/karyawan/pegawai serta pekerja yang berusaha dibantu buruh tetap atau dibayar. Sementara itu, kegiatan informal meliputi usaha sendiri, usaha dengan bantuan buruh tidak tetap, pekerja bebas, dan pekerja keluarga yang tidak dibayar.

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian masih menjadi sektor yang dominan di Kalimantan Barat. Namun nasib sebagian dari mereka tidak begitu baik. Agus Sutomo, Direktur Teraju Indonesia mengatakan investigasi di lapangan mengungkapkan situasi memprihatinkan. 

Di Kalimantan Barat, ia mengatakan setidaknya 1.000 buruh di enam perusahaan perkebunan sawit ditemukan bermasalah dalam kontrak kerja. Dari jumlah tersebut, 800 buruh mengalami pelanggaran serius, seperti kontrak kerja yang tidak jelas, tidak adanya jaminan kesehatan, minimnya standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3), hingga absennya jaminan sosial.

“Lima perusahaan menyatakan bersedia memperbaiki kondisi buruh. Salah satu perusahaan di Ketapang tetap abai meski sudah dipanggil dan diperingatkan oleh pemerintah,” ungkap pria yang kerap dipanggil Tomo itu.

Ia melihat, buruh dengan status kerja tidak jelas kehilangan banyak hak dasar. Mereka, dikatakan Tomo tidak mendapat Tunjangan Hari Raya (THR), tidak terdaftar dalam BPJS Kesehatan, dan tidak mendapatkan kompensasi jika mengalami kecelakaan kerja. Bahkan, kasus buruh perempuan yang mengalami kecelakaan saat hamil tidak direspons dengan tanggung jawab perusahaan.

“Sudah ada aksi serikat buruh, pertemuan dengan manajemen, hingga aduan ke pemerintah daerah, namun hasilnya nihil. Buruh takut jika aksi mereka justru dibalas dengan tindakan represif,” lanjutnya.

Di samping itu, ia memandang konflik agraria di sektor sawit turut memperburuk nasib buruh. Banyak petani plasma yang dirugikan dalam pola kemitraan, akhirnya terpaksa bekerja sebagai buruh sawit dalam kondisi kerja yang jauh dari layak. Tidak jarang, perusahaan memanfaatkan buruh untuk menghadapi aksi protes masyarakat adat atau petani plasma, menciptakan benturan sosial di lapangan.

“Ketika masyarakat adat memblokir jalan, perusahaan menekan buruh dengan alasan produksi terganggu, dan gaji buruh bisa dipotong. Begitu juga sebaliknya. Ini pola konflik yang dibiarkan bahkan kadang-kadang dimanfaatkan oleh perusahaan,” pungkasnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *