Tur BABLAS: Seruan Musisi Lokal LAS! Atas Krisis Iklim di Kalimantan Barat

  • Share
Tur BABLAS! di Sintang. (Foto: Anty)

INIBORNEO.COM, Pontianak – Band asal Kalimantan Barat, LAS!, yang dikenal melalui lirik-lirik yang menyoroti isu lingkungan, menggelar tur ke tiga kota di Kalimantan Barat, yakni Sambas, Ketapang, dan Sintang pada bulan September 2024. Tur yang diberi nama BABLAS ini merupakan kelanjutan dari partisipasi mereka dalam gerakan Music Declares Emergency (MDE) yang mereka ikuti pada tahun 2023 di Bali.

Gerakan MDE pertama kali diprakarsai oleh musisi Inggris pada tahun 2019, dan kini telah menggaet lebih dari 4.000 musisi di seluruh dunia. Di Indonesia, MDE dibentuk secara resmi pada Hari Bumi, 22 April 2023, menjadikannya negara pertama di Asia yang tergabung dalam gerakan global ini. Dengan slogan “No Music on a Dead Planet,” deklarasi ini telah ditandatangani oleh lebih dari 3.000 seniman, 15.000 organisasi, dan lebih dari 1.000 individu di seluruh Indonesia.

“Deklarasi ini adalah bentuk bagaimana musisi merespon krisis iklim,” ujar Bob Gloriaus, vokalis LAS!, dalam sebuah wawancara saat memulai tur BABLAS. Menurutnya, krisis iklim tidak hanya berdampak pada masyarakat umum, tetapi juga pada musisi, yang menghadapi tantangan akibat ketidakpastian cuaca dan kondisi alam saat menggelar konser.

Tujuan utama tur BABLAS selain menghibur, juga berfokus pada penyebaran informasi mengenai deforestasi kepada audiens mereka. LAS! bekerja sama dengan beberapa organisasi lingkungan seperti Trend Asia dan Lingkaran Advokasi & Riset Borneo (Link-Ar Borneo) untuk mengadakan lokakarya tentang krisis iklim serta mengunjungi lokasi-lokasi yang terkena dampak ekstraktivisme. Kampanye ini bertujuan memperluas dan memperdalam diskusi terkait deforestasi, krisis iklim, serta solusi palsu seperti biomassa.

“Selain ingin menyatukan semangat perjuangan dalam musik, kami juga ingin menampilkan data-data konkret yang telah dikumpulkan oleh teman-teman NGO agar audiens bisa lebih paham berdasarkan fakta,” tambah Bob.

Perjalanan mereka selama tur meninggalkan kesan mendalam, terutama saat mengunjungi masyarakat di Kualan Hilir, Simpang Hulu, Ketapang. Di sana, Bob terinspirasi oleh semangat masyarakat adat yang berjuang melawan perusahaan-perusahaan besar yang mengeksploitasi hutan mereka. “Melihat bagaimana nyali mereka dalam menentang korporasi membuat saya merasa kecil. Ini menjadi pelajaran baru bagi kami,” ucapnya dengan penuh penghargaan.

Bob juga mengakui bahwa mereka mungkin tidak bisa memberikan solusi langsung atas masalah ini, tetapi dengan tur BABLAS, mereka berharap dapat menunjukkan bahwa mereka akan selalu mendukung perjuangan masyarakat dalam mempertahankan lahan dan melawan deforestasi yang memicu perubahan iklim.

Zamzami Arlinus, Direktur Komunikasi Trend Asia, mengatakan bahwa Kalimantan Barat merupakan lokasi yang memiliki hutan yang cukup besar namun deforestasi yang terjadi juga besar.

“Dalam investigasi jurnalis-jurnalis yang dilakukan beberapa bulan lalu menunjukkan bahwa deforestasi hutan Kalimantan Barat adalah yang terbesar se-Indonesia,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil analisis Green Forest Watch 2002-2020, Kalimantan Barat sudah kehilangan sekitar 1,25 juta hektare hutan primer. Kabupaten Ketapang merupakan penyumbang hilangnya tutupan pohon seluas 816.000 hektare, diikuti Sintang 516.000 hektare. Kemudian Sanggau 414.000 hektare, dan Kapuas Hulu 308.000 hektare.

Zamzami juga menjelaskan bahwa rangkaian tur bersama musisi ini untuk melihat langsung ke lokasi dimana hutan masyarakat adat dihancurkan dan mendengar langsung dari mereka yang kehidupannya tercabik-cabik oleh korporasi.

“Diharapkan bahwa tur ini dapat membawa kampanye tentang perlindungan lingkungan, pemanasan global dan krisis iklim itu bukan hanya milik kelompok masyarakat terdampak ataupun NGO namun juga milik teman-teman musisi,” ucapnya.

Musik Sebagai Perlawanan

LAS! sendiri telah lama dikenal sebagai band yang vokal menyuarakan isu lingkungan. Lagu mereka yang paling terkenal, “Borneo is Calling,” yang dirilis pada 2015, bercerita tentang dampak deforestasi di Kalimantan Barat, kampung halaman mereka. Lagu ini terinspirasi dari pengalaman pribadi anggota band yang menyaksikan kebakaran hutan masif dan penghancuran hutan adat saat mereka pulang kampung ke Kapuas Hulu.

“Kami mengunjungi Sungai Utik dan belajar banyak tentang perjuangan masyarakat setempat dalam mempertahankan hutan adat mereka. Itu membuat kami berpikir, bagaimana mungkin kami tidak menyuarakan isu yang begitu dekat dengan tanah kelahiran kami?” tutur Bob.

Menurutnya, keterkaitan musisi dengan isu lingkungan sangatlah penting, terutama ketika musisi memiliki audiens yang luas. “Jika musisi terkenal menggerakkan kampanye seperti reforestasi atau crowdfunding, dampaknya pasti akan sangat terasa,” tambahnya.

BSAR, band asal Bali yang mengikuti tur BABLAS mengatakan bahwa musisi memiliki kedekatan yang spesifik dengan lingkungan. “Musisi itu sangat dekat karena dari alam lah tercipta suara. Kalau digali dan diriset secara mendalam, suara dan nada itu berasal dari alam,” kata Yosi, drummer BSAR.

Ia juga mengatakan ingin meninggalkan legacy bahwa ada orang-orang yang mengawal isu lingkungan ini dengan karya. Baginya, musik merupakan saranan yang sangat dekat dengan masyarakat karena orang-orang akan mencari lirik di lagu, kemudian dimengerti dan dipahami. Jika isu yang diangkat merupakan isu yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, maka orang-orang juga akan merasa relate dengan hal tersebut.

Sama seperti Yosi, Alvin Jefry dari Poker Mustache juga merasa bahwa musisi dapat memperkuat isu-isu yang cenderung berat untuk disampaikan ke masyarakat. “Musisi dapat menyentuh hati pendengarnya sehingga isu lingkungan ini bisa dikemas lebih ringan dan diterima lebih mudah oleh orang banyak,” tuturnya.

“Sebagai orang Bali, kita percaya bahwa manusia dan alam itu beriringan. Kita kasih apa yang bisa dikasih, yaitu melalui karya,” lanjutnya lagi.

Selain membuat musik, LAS! juga mulai menerapkan environmental riders yang mana meminimalisir menggunakan alat dan bahan yang ramah lingkungan. Hal ini terinspirasi dari musisi-musisi di Bali yang menurut mereka bernyali besar untuk menerapkan hal serupa.

“Salah satu contohnya ketika membuat merchandise kita menerapkan environmental ethic yakni menggunakan pewarna alami, yang mana hal itu memang sudah ada sejak lama di Kalimantan Barat ini,” jelas Bob.

Bob juga menimbau kepada musisi lain bahwa meskipun dari kota kecil, jangan pernah padamkan mimpi untuk mengawal terus isu lingkungan yang akan merugikan semua orang.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *