SUNGAI RAYA, INIBORNEO.COM – Berbagai pihak melakukan upaya bersama dalam menyelamatkan ekosistem gambut di Desa Kalibandung dan Desa Sungai Asam, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Penyelamatan gambut perlu dilakukan karena ada bagian yang mengalami degradasi. Warga, pemerintah, lembaga terkait, dan NGO, saling bergotong royong, meski menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah.
“Masih ada yang membersihkan lahan dengan cara bakar, istilah kami itu namanya dipanduk. Karena cara Ini yang dinilai paling cepat dan tanpa memakan biaya,” ungkap Hayat (31), saat menceritakan tantangan menjaga areal gambut di Dusun Maju Bersama, Kampung Sangkar Dunia, Desa Kalibandung.
Hayat merupakan petani yang memanfaatkan lahan bekas perkebunan kelapa sawit milik PT. Bina Lestari Khatulistiwa Sejahtera (BLKS). Bersama sejumlah petani lokal, ia mencoba peruntungan dengan menanam jahe di lahan itu.
Hayat dan petani lain berupaya untuk menerapkan praktik baik dalam bercocok tanam. Mereka sadar, lahan gambut yang mereka kelola saat ini rentan terbakar. Terlebih masih ada sebagian masyarakat yang menerapkan pola membakar untuk membuka lahan. Cara ini mengancam area gambut yang ia kelola apabila aktivitas membakar lahan tidak mampu dikendalikan.
Kepala Desa Kalibandung, Sangaji menyebut, dari total luas desa sekitar 12 ribu hektare, 60 persen merupakan lahan gambut. Menurutnya, kondisi gambut di sana mudah terbakar terutama ketika musim kemarau. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya lahan yang telah teregradasi.
Dia menceritakan, apabila sudah memasuki musim kemarau, warga membuat sekat-sekat kanal manual sebagai upaya untuk mencegah agar tidak terjadi kebakaran lahan. Selain itu, pemerintah desa setempat juga mengoptimalkan kesatuan Masyarakat Peduli Api (MPA) yang telah berdiri sjeik tahun 2014.
“Namun, karena keterbatasan alat membuat kami masih belum bisa maksimal dalam melakukan pemadaman ketika terjadi kebakaran lahan,” imbuhnya.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kalibandung, Usman mengatakan, berbagai strategi dilakukan untuk menyelamatkan gambut yang terdegradasi. Salah satnya adalah dengan dengan merangkul masyarakat setempat untuk mengelola lahan. Dia membentuk 5 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di bawah naungan LPHD Kalibandung. Setiap KPUS tersebut diberikan lahan masing-masing dengan luas sekitar 1 hingga 8 hektare untuk ditanami komditas yang potensial dikembangkan seperti jahe, pinang, nanas dan jengkol.
“Selain diberikan lahan untuk dikelola, para petani yang tergabung dalam KUPS itu juga diberikan pelatihan melalui dampingan sejumlah NGO bagaimana cara mengelola lahan gambut dengan ramah lingkungan, menghindari membuka lahan tanpa bakar dan diajarkan cara membuat pupuk organik dengan bahan baku yang ada di sekitar desa,” papar Usman.
Total luas Hutan Desa di Kalibandung 7.225 hektare, yang terdiri dari Hutan Produksi Konservasi (HPK) 4.079 hektare dan 3.146 hektare berstatus kawasan hutan lindung (HL). Sekitar 54 hektare kawasan hutan desa itu terdata sudah mengalami degradasi.
Sejalan dengan edukasi dan pendampingan yang dilakukan, kata Usman, sebagian petani mulai membuat pupuk organik dan mengimplementasikannya pada tanaman yang mereka budidayakan. Meski begitu, pihaknya masih harus bekerja ekstra sebab masih ada warga sekitar yang belum bisa meninggalkan cara lama dalam mengelola dan membuka lahan bercocok tanam.
“Masih ada warga yang membuka lahan dengan memanduk (membakar dalam tumpukan kecil, red) walaupun jumlahnya mulai berkurang. Sebagian warga masih bertahan denga cara lama, karena prinsipya bagaimana masyarakat ini masih dengan pola pikir ingin hasil yang cepat, murah dan instans,” jelasnya.
Kondisi yang sama juga dihadapi Desa Sungai Asam. Luas desa ini sekitar 23 ribu hektare, yang mana 60 persennya merupakan lahan gambut. Beberapa tahun terakhir, desa ini mendapatkan dampingan dari sejumlah pihak untuk melestarikan lahan gambut, serta mendorong masyarakat membuka lahan dengan cara yang ramah lingkungan.
“Sejak ada pendampingan, secara bertahap sudah ada warga yang mulai menerapkan cara-cara yang lebih ramah lingkungan untuk membuka lahan dan menjaga kelestarian gambut,” kata Kepala Desa Sungai Asam, Sumardi. Meski tidak semua warga meninggalkan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, namun upaya edukasi dan pendampimgan terus ia lakukan secara berkesinambungan.
Kepala Seksi Perencanaan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Kubu Raya, Evy Sahman mengatakan, luas lahan gambut di Kubu Raya sekitar 523.174 hektare, atau 60 persen dari wilayah administratif kabupaten tersebut. Menurutnya, gambut merupakan lahan penghidupan masyarakat, dan telah terdapat permukiman eksis dan budidaya masyarakat yang sejak lama telah dilakukan.
Adapun pengelolaan gambut yang dapat direkomendasikan adalah pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, tidak menghilangkan atau berdampak pada subsidens namun tetap dapat dikelola atau dibudidayakan, seperti tidak menambah kanal-kanal yang menyebabkan subsidens, menjaga tinggi muka air tanah gambut, pengolahan lahan tanpa bakar, pengendalian karhutla dan tetap mempertahankan kelestarian gambut.
“Sepanjang pengelolaannya baik dan berkelanjutan, anggapan bahwa lahan gambut hanya menimbulkan masalah seperti Karhutla dan sejenisnya perlu kita luruskan kembali sekaligus kita perlu mengarusutamakan pengelolaan lahan gambut yang lestari,” ujarnya.
KPH Kubu Raya menurutnya memiliki program kerja perlindungan gambut, antara lain pengadaan alat cuka kayu untuk pengelolaan lahan tanapa bakar, pengadaan alat-alat ekonomi produktif untuk dihibahkan atau dikerjasamakan dengan masyarakat, pembangunan agroforestry dengan jenis tanaman kopi liberika dan jenis tanaman semusim yang cocok di tanam di areal gambut. KPH Kubu Raya juga melakukan rehabilitasi di luar dan di dalam kawasan dengan bibit yang berasal dari persemaian dengan jenis jenis yang disesuaikan dengan kondisi wilayah
Adapun pendekatan kawasan yang rawan terhadap Karhutla didasarkan pada peta kerawanan Karhutla yang telah disusun KPH pada tahun 2019. Dipetakan daerah-daerah yang sering terjadi kebakaran, dari beberapa indicator seperti tutupan lahan, data hotspot 20 tahun, peta gambut, faktor budidaya dan sejenisnya.
Direktur Yayasan Natural Kapital Indoesia, Haryono mengatakan, pengelolaan lahan gambut di Kubu Raya sudah tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang biasa. Pengelolaan lanskap berkelanjutan yang dimaksud adalah pengelolaan yang memiliki kesamaan visi dan bersifat co-management. Setidaknya ada 4 sektor yang harus dituju dalam pengelolaan berbasis lanskap berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati, pembangunan berkelanjutan, dukungan pengetahuan serta mitigasi perubahan iklim.
“Perlu ada kesamaan visi, serta pengelolaan bersama untuk mengelola kawasan gambut,” katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan, dalam memulai restorasi atau pemulihan di lanskap gambut Pesisir Delta Kapuas, perlu diketahui kondisi terkini dari lanskap. Sedikitnya ada delapan peta yang menggambarkan kondisi Lanskap Delta Kapuas mengenai kerentanan lingkungan dan sosial yang terdiri dari; overview lanskap cakupan gambut di lanskap delta kapuas, Indikasi kekeringan gambut, sebaran konsesi dan distribusi habitat konektivitas, fragmentasi, kemudian Kanal, lokasi terbakar dan konsesi, tingkat kerusakan gambut,tatus indeks desa membangun, Indikasi lahan terbakar yang berulang 2015-2019 dan Pemantauan kinerja REDD++.
Haryono melanjutkan, peta-peta tersebut menampilkan bagaimana kondisi Lanskap Delta Kapuas yang telah mengalami degradasi ekosistem lahan gambut. Degradasi ekosistem dari lanskap DKCP menurutnya telah berdampak pada menurunnya fungsi-fungsi jasa lingkungan dari lanskap dalam memberikan jasa penyediaan (pangan, udara, air, energi), jasa pengaturan (pengaturan suhu/udara, pencegahan hama penyakit, purifikasi air), jasa kultural (aesthetic, spiritual, pendidikan dan rekreasi). Untuk mengantisipasi degradasi semakin jauh, lanjutnya, maka perlu adanya pemulihan dan restorasi kawasan gambut.
“Masyarakat juga harus didukung untuk meningkatkan produktivitas lahannya terjaga melalui praktik pertanian yang menjaga tinggi muka air, tanpa membakar lahan dan pemahaman dampak luas dan global dari praktik-praktik sebelumnya yang tidak ramah lingkungan. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut pada Lanskap Delta Kapuas harus ditata ulang,” jelasnya.
Project Leader WWF Indonesia Sintang-Melawi, Anas Nashrullah menilai, area penting dalam Lanskap Kubu Raya antara lain ekosistem gambut, bekantan, dan mangrove. Pihaknya mendorong konsep pengadaan redesign kanal untuk keberlangsungan tanah gambut dan memonitori pengembangan kanal pertahunnya.
“Memunculkan 1,2 business case untuk menjamin lanskap Delta Kapuas. KPH Kubu Raya harus memperhatikan kubah gambut di area konsesi maupun area luar konsesi,” ucapnya. (rilis)