DIO Dan MHADN Temui WamenLH, BPIP dan GP Ansor

- News
  • Share

INIBORNEO.COM, JAKARTA – Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHDN) menemui Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr Alue Dohong SE, Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Dr Yudian Wahyudi dan Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pusat Ansor, H Drs Yagut Cholil Qoumas, di Jakarta, 15 – 16 Juli 2020.

Peserta DIO dan MHADN berasal dari Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Timur, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Utara.

Hari pertama, pukul 13.00 WIB, Rabu, 15 Juli 2020, bertemu dengan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),Yudian Wahyudi, di Jalan Veteran II Nomor 2, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 10110.

Hari kedua, pertemuan dilakukan dua kali di tempat berbeda. Pukul 10.00 WIB, Kamis, 16 Juli 2020, bertemuan dengan H Yaqut Cholil Qoumas di Kantor DPP GP Ansor, Jalan Kramat Raya Nomor 65, RW.8, Kramat, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10450.

Dengan PP GP Ansor, DIO dan MHADN, berdiskusi menyamakan persepsi mengantisipasi paham radikalisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkaan Pancasila.

Pukul 14.00 WIB, Kamis, 16 Juli 2020, pertemuan dengan Alue Dohong di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Jalan di Gedung Manggala Wanabakti Blok,  Lantai 2, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta.

Ketua Umum MHADN, Askiman (Wakil Bupati Sintang), mengatakan, pertemuan dengan BPIP, menyampaikan surat kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk menghentikan praktik kriminalisasi para peladang Dayak sebagaimana terjadi pada musim kemarau tahun 2019 silam.

Kemudian, menyampaikan pokok-pokok pikiran pengamalan ideologi Pancasila sebagai produk budaya Bangsa Indonesia, harus berlandaskan kebudayaan masing-masing suku Bangsa. Di kalangan Suku Dayak, harus sesuai dengan Kebudayaan Suku Dayak.

Menurut Askiman, pertemuan dengan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, untuk menyampaikan pokok pemikiran pengelolaan sumberdaya kehutanan berbelanjutan yang sesuai dengan Kebudayaan Suku Dayak.

Tentang praktik perladangan dengan cara bakar, menurut Yulius Yohanes, Sekretaris Jenderal Dayak International Organization, maka Pemerintah Republik Indonesia, harus konsisten di dalam menjabarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan, dan program pembangunan di Kalimantan harus berbasiskan Kebuayaan Suku Dayak (Protokol Tumbang Anoi 2019).

“Mendesak Bapak Presiden Republik Indonesia, supaya Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk dibekali pemahaman anthropologi budaya secara memadai,” kata Yulius Yohanes.

Maksudnya, lanjut Yulius Yohanes, supaya tidak lagi melakukan kriminalisasi terhadap petani peladang Dayak yang buka ladang dengan cara bakar, karena bagian tidak terpisahkan dari aspek religinya.

“Mengingatkan kepada Presiden Republik Indonesia, selagi teknologi inovasi tepat-guna berbiaya murah belum ditemukan dalam buka ladang tidak dengan cara dibakar, supaya memperhitungkan dampak sosial yang lebih luas, jika masih dilakukan kriminalisasi terhadap petani Dayak, karena berladang dengan cara bakar, bagi orang Dayak bagian dari aplikasi peribadatannya,” ujar Yulius Yohanes.

Dikatakan Yulius Yohanes, alasan di balik kriminalisasi terhadap peladang Dayak buka ladang dengan cara bakar, lantaran menimbulkan kabut asap, sangat tidak tepat, bukti aparat Pemerintah Indonesia tidak memahami anthropologi budaya Suku Dayak.

Karena aktifitas ini, ujar Yulius Yohanes, sudah dilakukan sejak ribuan tahun silam, sementara penyebab kabut asap setiap kali musim kemarau, adalah kebakaran lahan milik perusahaan perkebunan berskala besar, serta pemanfaatan lahan gambut menjadi kegiatan ekonomi non-konservasi yang mengabaikan aspek keseimbangan ekosistem.

Memperhatikan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan, lanjut Yulius Yohanes, supaya pemajuan kebudayaan tidak memicu pertikaian dan penindasan yang mengancam keragaman masyarakat, yang merupakan identitas bangsa Indonesia.

“Maka masyarakat Suku Dayak, untuk tidak dipaksakan bertani menanam padi sawah baru di Pulau Kalimantan, karena bukan bagian dari Kebudayaan Dayak,” ujar Yulius Yohanes.

“Masyarakat Suku Dayak membutuhkan sistem pengairan atau tata kelola air yang cocok dengan Kebudayaan Suku Dayakdi dalam bercocok tanam padi,” tambah Yulius Yohanes.

Belajar dari langkah Pemerintah Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, kata Yulius Yohanes, melakukan kerjasama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) di dalam pengembangan varietas unggul padi gunung, dimana hasilnya cukup memuaskan.

“Maka program ini agar dapat diakselerasi secara lebih luas karena cocok dengan Kebudayaan Suku Dayak, sebagaimana langkah serupa sudah diterapkan di kalangan petani penanam varietas padi gunung di lahan kering di Kamboja, Vietnam dan Thailand,” tutur Yulius Yohanes.

Koordinator Penghubung DIO Provinsi Kalimantan Tengah, Dagut H Djunas, di bagian lain, dalam surat disampaikan kepada Presiden Indonesia, lewat BPIP, mendesak kepada Presiden Republik Indonesia, supaya kawasan situs pemukiman dan situs pemujaan yang sudah terlanjur beralih fungsi menjadi kegiatan ekonomi non-koservasi sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang: Kehutanan, maka setelah habis izin usahanya atau habis satu siklus tanam, supaya segera dikembalikan kepada masyarakat Suku Dayak setempat.

“Ini sebagai implementasi dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan, serta sebagai upaya mendukung Program Heart of Borneo (HoB) Indonesia Malaysia, Brunei Darussalam sejak 12 Februari 2007,” ujar Dagut H Djunas.

Menurut Dagut H Djunas, situs pemukiman dan situs pemujaan di dalam religi Dayak, merupakan kawasan sakral dan suci, karena diyakini tempat bersemadi arwah para leluhur

Masalah pengamalan ideologi Pancasila, Koordinator DIO Provins Kalimantan Timur, Jiuhardi, mendesak Pemerintah Republik Indonesia sebagai negara hukum, harus tegas dan jelas di dalam menegakkan ideologi Pancasila, di dalam tindakan dan perilaku masyarakat Bangsa Indonesia, sehingga ada efek jera yang dapat menimbulkan keharmonisan lintas budaya (terutama agama) yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Pengingkaran terhadap keberagaman kebudayaan(ada agama di dalamnya) di Indonesia, berarti pengingkaran terhadap hakekat ideologi Pancasila,” kata Jiuhardi.

Menurut Jiuhardi, dalam mewujudkan Pembinaan Ideologi Pancasilan (PIP) harus menjadi payung hukum berupa struktur kelembagaan operasional dari Pemerintah Pusat sampai kepada Pemerintah Daerah.

“Lembaga operasi PIP, demi  menciptakan keselarasan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat Bangsa Indonesia yang berkeadilan serta merata dalam kebersamaan dan keserasian,” ujar Jiuhardi;

Menurut Jiuhardi, dibutuhkan produk perundang-undangan khusus sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan ideologi Pancasila, sebagai turunan dari Undang-Undang Dasar 1945, sinkronisasi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan dalam keutuhan NKRI.

“Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 97/PUU-XIV/2016, tanggal 7 Nopember 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai pengakuan terhadap keberadaan agama asli di Indonesia dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan,” ungkap Jiuhardi.

Dikatakan Jiuhardi, harus dipisahkan antara agama sebagai sumber keyakinan iman dan Pancaslia sebagai filosofi etika berperilaku segenap lapisan masyarakat. Karena masalah agama di dalam ideologi Pancasila, sudah final dan mengikat, sudah tidak bisa diungkit-ungkit lagi, karena sudah diatur di dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Masa Esa.

Karena masalah agama, lanjut Koordinator DIO Provinsi Kalimantan Selatan, Abdussani, adalah soal keyakinan iman, hubungan personil seseorang dengan Tuhan, sementara ideologi Pancasila sebagai filosofi etika berperilaku masyarakat dengan penekanan akan aspek penghargaan akan keberagaman dan kebhinekaan.

Dikatakan Abdussani, tidak bisa bicara masalah agama sebagai sumber keyakinan iman, saat bersamaan bicara masalah Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Agama dan Pancasila sama-sama produk budaya, tapi masalahnya kemudian, tidak semua agama sebagai sumber keyakinan iman di Indonesia, lahir dari kebudayaan asli bangsa Indonesia.

“Sementara Pancasila tidak mengatur tentang tata cara seseorang beragama, karena Pancasila sebagai filosofi atau falsafah hidup masyarakat di dalam bernegara di Indonesia, dimana dijamin kebebebasan beragama di dalamnya,” ungkap Abdussani.

“Karena dalam sejarahnya di awal kemerdekaan Indonesia, para tokoh agama mendukung, setuju dan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, maka kelembagaan keagamaan harus menjadi mitra strategis Pemerintah Republik Indonesia di dalam mensosialisasikan pengamalan ideologi Pancasila,” ujar Abdussani.

Sehubungan dengan itu, Sekretaris Penghubung DIO Provinsi Kalimantan Selatan, Bujino A Salan, penekanan pengalaman ideologi Pancasila, harus pada penekanan pentingnya menjaga kebersamaan, berkehidupan yang bermartabat, menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, menghargai keberagaman, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Ideologi Pancasila harus dijadikan mata ajar kembali kepada peserta didik di semua tingkatan pendidikan di Indonesia, dengan mengedepankan pada aspek anthropologi budaya dalam memahami kebudayaan asli bangsa Indonesia,” ujar Bujino.

Di mana dalam aplikasinya harus dititikberatkan kepada konkretitasikaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, penghargaan kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.

“Perlu pula penekanan pendekatan anthropologi budaya padapenjabaran lebih teknis di dalam pengamalan ideologi Pancasila di masing-masing suku atau komunitas di Indonesia, melalui bahasa yang sederhana, jernih, aplikatif, sebagai jaminan terpeliharanya, terawatnya dan terakatualisasinya kebudayaan asli Bangsa Indonesia,” ujar Bujino A Salan.

“Ini melalui langkah akselerasi kapitalisasi modernisasi budaya dalam pembangunan nasional, demi terwujudnya identitas lokal dalam integrasi regional, nasional dan internasional sebagai wajah peradaban kebudayaan asli Bangsa Indonesia,” lanjut Bujino A Salan. (r-papiadjie)

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *