76-80 Persen Orang Indonesia Suka Berita Hoax

  • Share

PONTIANAK – Hasil survey Kementrian Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) mencatat 76-80% warga indonesia menyukai berita hoax. Indonesia masuk tiga besar terhadap konsen publiknya kepada berita bohong tersebut.

Apa itu Hoax? Hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar tetapi dibuat-buat seolah-olah benar, bahasa simplenya adalah berita palsu tau bohong.

Menurut Masyarakat Anti Fitnah, Hasut dan Hoax Kalbar, Ema Rahmaniah, penyebaran hoax maupun ujaran kebencian harus dicegah secara bersama-sama dimulai dari kesadaran dini untuk memerangi konten-konten yang berbau berita palsu yang diakuinya marak beredar.

“Bahkan Indonesia menyukai berita-berita bohong seperti itu. Ini menimbulkan pertanyaan besar kita, mengapa bisa seperti itu karena ini sangat berbahaya. Seharusnya kita menolak ini malah menyukai informasi-informasi seperti itu,” katanya saat menjadi narasumber ‘Digital Security dan Coaching Clinic: Melindungi Diri di Dunia Digital’, Senin (26/2).

Literasi yang rendah menjadi salah satu penyabab mengapa masyarakat Indonesia cenderung menyukai informasi bernada hoax tersebut. Data statistik UNESCO menyebutkan dari 61 total negara, Indonesia menempati urutan ke 60.

“Tentu ini memprihatinkan kita. Makanya edukasi literasi internet sehat itu penting, untuk mengaktifkan pemahaman masyarakat bahwa hoax itu harus dilawan, bukan disebarkan segera sesaat setelah membaca judul tanpa mengkroscek kebenaran berita itu. Kebanyakan seperti itu, padahal sebelum kita tahu kebenarannya, jangan diteruskan karena akan memberikan pendidikan informasi yang salah. Ini juga rentan perpecahan,” paparnya.

Sementara di Kalbar, hoax dianggap sangat berbahaya karena bisa membuat gaduh, memecah belah dan daya rusaknya cukup signifikan.

“Kita harus bersama-sama untuk memerangi hoax ini,” ucap Ema yang juga dosen di salah satu universitas Kota Pontianak ini.

Hal sama juga diungkapkan, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Kalbar, Jane Aileen Tedjasaputra. Menurut dia, UU Hak Asasi Manusia (HAM) sudah mengatur secara hukum pasal tentang ujaran kebencian dan hoax.

“Ada juga UU khusus yang mengatur tentang rasial, propanganda, streotip yang dibiarkan begitu saja bisa ditindak tegas oleh negara. Negara punya kuasa untuk mengatur persoalan hukum ini dan negara harus hadir karena konten-kontennya mampu mengadu domba,” katanya.

Diakuinya, masih ditemukan sejumlah akun media sosial masih yang mengandung ujaran kebencian dan hoax. Ironisnya, banyak aparat hukum yang tidak terlalu paham akan UU tersebut sehingga salah mempersepsikan mana akun yang harus ditindak dan mana yang tidak.

“Lantas dilemanya UU ini menjadi pembatas ekspresi, pasal karet untuk memidanakan orang, terutama akun pemilik medsos yang melakukan kritik yang tidak juga bisa disebut ujaran kebencian, ada perbedaannya. Maka aparat juga harus paham aturan mainnya seperti apa,” jelas Jane.

Diakuinya, banyak kasus yang sudah ditangani LBHI Kalbar terkait persoalan ujaran kebencian, hoax maupun konten sejenis lainnya.

Untuk mencegah agar tidak terjadi salah persepsi berita bohong dan tidak, maupun ujaran kebencian, persekusi maupun hal tidak menyenangkan terkait penggunaan internet, Penggiat SafeNet, Anton Muhajirin, menyarankan agar pengguna lebih bijak dan berhati-hati dalam setiap postingan.

“Lebih baik kita menahan diri untuk menulis hal-hal yang membuat marah kita, terlalu pribadi sifatnya, membully seseorang karena ketika sudah di post dalam status maka tidak bisa dicabut. Meskipun di delete, jejak digitalnya akan ada. Tidak bisa hilang. Semua tergantung kita, karena hp dan jari miliki kita, jadi kitalah yang mengarahkan ke mana semua itu,” ucap Anton.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *