Di tengah dominasi perkebunan sawit yang membentang luas di Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, sebuah kawasan hijau bertahan teguh. Masyarakat mengelola Hutan Larangan Desa Asam Besar yang luasnya sekitar 100 hektare, menjadi simbol perlawanan terhadap ekspansi sawit yang terus menggerus bentang alam. Bagi masyarakat setempat, hutan ini lebih dari sekadar pepohonan ia adalah warisan, supermarket alami, dan penjaga keseimbangan ekologi yang tak ternilai.
INIBORNEO.COM, Ketapang – Perjalanan cukup lama menuju lokasi Sekretariat Perkumpulan Petani Mitra Harapan (PPMH), sebuah organisasi yang berkomitmen pada praktik perkebunan sawit berkelanjutan. Menempuh waktu selama 9 jam dari Ibu Kota Ketapang, kami tiba di Dusun Cinta Damai, Kecamatan Manis Mata, lokasi sekretariat organisasi tersebut.
Sesampai di sana kami diajak ke sebuah hutan desa yang berjarak 15 kilometer dari sekretariat PPMH. Warga menamai hutan tersebut sebagai hutan larangan atau hutan Brupis yang memiliki luas 80 hektare. Selama berada di sana, kami dipandu oleh Robertus Mamang, seorang Demong atau juru kunci hutan, yang menjelaskan isi yang ada di dalam hutan tersebut.
“Ada dua hutan dan kami menyebutnya sebagai Hutan Larangan,” kata Mamang.
Kedua hutan ini bukan bagian dari hutan adat atau kawasan konservasi pemerintah, melainkan lahan milik petani sawit swadaya yang dengan sukarela menghibahkannya demi kepentingan bersama. Aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama memastikan kelestarian hutan ini : setiap satu pohon yang ditebang harus digantikan dengan dua pohon baru.
Menjaga Warisan Leluhur
Bagi warga Manis Mata, yang sebagian besar menggantungkan hidup pada perkebunan sawit, keberadaan hutan ini menjadi bentuk menjaga warisan leluhur atas konversi lahan yang masif. Lebih dari 70 persen wilayah mereka kini telah berubah menjadi perkebunan sawit, baik oleh petani swadaya maupun perusahaan besar. Namun, mereka sadar bahwa tanpa hutan, keseimbangan alam akan terganggu.
“Hutan ini menjadi rumah bagi beruang madu, kijang, rusa, dan landak. Di dalamnya juga tumbuh pohon-pohon bernilai tinggi seperti gaharu dan berbagai tanaman buah,” ungkap Mamang.
Tak hanya sebagai habitat satwa liar, hutan ini juga menjadi sumber air bersih bagi sekitar 6.000 jiwa. Sungai yang mengalir dari dalam hutan menjadi urat nadi kehidupan bagi masyarakat sekitar.
“Tanpa hutan ini, kami akan kesulitan mendapatkan air bersih. Sungai yang mengalir ke desa berasal dari kawasan hijau ini,” lanjutnya.
Hutan, Supermarket Alami yang Tak Bisa Dibeli
Memiliki dua hutan larangan yang dijaga ketat oleh warga, masyarakat setempat menjuluki kedua hutan larangan ini sebagai “supermarket alami” karena menyediakan berbagai kebutuhan hidup, mulai dari kayu, tanaman obat, hingga buah-buahan, tanpa harus membeli.
Selain Brupis, ada satu Hutan Larangan lain di desa tersebut. Hutan ini dimiliki oleh seorang warga setempat bernama Abraham. Untuk bisa sampai ke sana, kami memerlukan waktu sekitar satu jam dengan menggunakan kendaraan roda empat. Hutan tersebut dinamai oleh warga sebagai Hutan Tamtam.
Kepada kami, Abraham menegaskan pentingnya menjaga kawasan ini. Ia bahkan bersumpah tidak akan membiarkan satu pun pohon ditebang untuk ekspansi sawit.
“Hutan ini adalah warisan orang tua kami. Untuk anak cucu. Harus dijaga dan tidak boleh dijual,” kata Abraham tegas.
Abraham menceritakan bahwa kawasan ini pernah diincar oleh sebuah perusahaan. Namun, ia menolak tawaran tersebut demi menjaga peninggalan leluhurnya.
Hutan larangan memiliki keanekaragaman hayati yang sulit ditemukan di tempat lain, salah satunya adalah pohon langka bernama Ipuh atau Antiaris toxicaria yang berdiri megah di tengah hamparan hutan. Jaman dahulu, getah dari pohon ini dikenal mematikan dan konon pernah digunakan sebagai senjata melawan penjajah Belanda.
Dari Sawit Berkelanjutan Hingga Reboisasi
Kesadaran akan pentingnya menjaga hutan juga ditunjukkan dengan upaya PPMH dalam restorasi lingkungan. Mereka telah menyiapkan 12 ribu bibit pohon, termasuk petai, durian, ulin, dan gaharu. Bibit ini akan digunakan untuk merehabilitasi hutan yang rusak akibat kebakaran serta menghijaukan pekarangan warga dan sekolah-sekolah.
Sandi Priana, Ketua PPMH Ketapang, menegaskan bahwa petani sawit swadaya juga peduli terhadap kelestarian lingkungan. Mereka bahkan telah mendapatkan sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), yang menunjukkan komitmen mereka terhadap praktik sawit berkelanjutan.
“Kami ingin masyarakat tahu bahwa petani sawit tidak selalu identik dengan perusak lingkungan. Kami menjaga keseimbangan ekosistem dengan melestarikan hutan,” tegas Sandi.
Dukungan Pemerintah untuk Sawit Berkelanjutan
Keberhasilan PPMH dalam mendapatkan sertifikasi RSPO ini juga mendapat Dukungan dari berbagai pihak, termasuk organisasi seperti Fortasbi, perusahaan kelapa sawit Cargill, serta pemerintah, terutama pemerintah desa, berperan penting dalam membantu petani sawit swadaya menjalankan praktik pertanian berkelanjutan. Kepala Desa Air Upas, Agus Purwanto, menegaskan bahwa keberadaan hutan ini membuktikan bahwa perkebunan sawit dan pelestarian lingkungan dapat berjalan berdampingan.
“Menanam sawit tidak harus merusak hutan. Hutan ini adalah bukti bahwa petani swadaya bisa menjaga keseimbangan alam sambil tetap menghidupi keluarga mereka,” kata Agus.
Di tengah ekspansi perkebunan sawit yang terus meluas, Hutan Larangan di Manis Mata menjadi benteng terakhir yang tak tergoyahkan. Ia bukan hanya sekadar bentangan pepohonan, tetapi juga warisan berharga yang tak ternilai harganya. Sebab, bagi masyarakat setempat, hutan ini bukanlah aset yang bisa diperjualbelikan, melainkan kehidupan yang harus dijaga demi generasi mendatang.