INIBORNEO.COM, Pontianak – Di tengah rimbun hutan Kalimantan, di mana pepohonan menjulang dan semak belukar menjadi tantangan sehari-hari, ada satu alat yang menjadi saksi sejarah perlawanan masyarakat Dayak, talawang atau perisai. Bukan sekadar kayu yang diukir dan dicat warna-warni, perisai Dayak menyimpan filosofi mendalam tentang keberanian, perlindungan, dan identitas suku yang diwariskan turun-temurun.
Bentuk perisai Dayak memang khas, memanjang, segi enam, dengan ujung atas dan bawah yang runcing. Filosofi di balik desain ini bukan sembarangan. Ujung bawah memungkinkan perisai ditancapkan di tanah saat pemiliknya berhenti, sedangkan ujung atas membantu membuka jalan di rimba yang rapat.
“Kalau bawah itu biasanya untuk mendirikan perisai, jadi melacaknya ke tanah. Kemudian ke atas itu untuk menembus hutan belantara Kalimantan yang sangat-sangat lebat,” kata Benyamin Dermawan, seniman Dayak asal Sanggau.
Dulu, perisai adalah pasangan setia mandau. Mandau di tangan kanan untuk menyerang, perisai di tangan kiri untuk menangkis. “Itu pasangannya mandau. Kalau mandau untuk menyerang, perisai untuk menangkis,” tambah Benyamin. Dalam pertempuran, perisai menjadi pelindung utama yang memungkinkan pejuang Dayak bertahan dari serangan senjata lawan.
Menariknya, perisai Dayak justru dibuat bukan dari kayu keras seperti ulin, melainkan dari kayu-kayu ringan seperti pulai atau lempung. Filosofinya jelas, agar perisai tidak memberatkan pemiliknya, dan jika senjata musuh menancap di perisai, justru senjata itu bisa tersangkut dan mudah lepas dari tangan lawan.
“Justru diharapkan kalau musuh menyerang, itu bisa mengancam di perisai, kemudian senjatanya mudah terlepas,” ujar Benyamin.
Di permukaan perisai, terhampar berbagai motif penuh makna. Ada kamang, taji sempidan, dan tempayan, yang bukan sekadar hiasan, melainkan doa dan pengingat tentang kekuatan, perlindungan, dan keberanian menghadapi segala rintangan. Warna-warna yang digunakan pun khas seperti merah melambangkan keberanian, kuning untuk kejayaan, putih untuk kesucian, dan hitam sebagai simbol kekuatan.
Kini, perisai Dayak memang tak lagi digunakan untuk berperang. Ia lebih sering hadir dalam upacara adat, tarian, dan pertunjukan budaya. Namun, maknanya tak pernah pudar. Di setiap guratan ukiran dan tetes cat yang menghiasinya, ada cerita tentang keberanian orang Dayak menembus rimba Kalimantan, tentang perlawanan mereka terhadap penjajah, dan tentang kebanggaan sebagai bagian dari budaya yang kaya.
“Perisai itu bukan cuma alat perang, tapi juga pengingat siapa kita. Ada sejarah di situ, ada identitas,” tutup Benyamin.
Perisai Dayak, lebih dari sekadar benda, adalah warisan yang perlu dijaga. Di tengah arus modernisasi yang terus menggempur, melukis dan merawat perisai bukan hanya tentang seni, tapi juga tentang merawat akar, menjaga sejarah, dan memastikan cerita tentang keberanian di hutan Kalimantan tetap hidup untuk generasi-generasi yang akan datang.