INIBORNEO.COM, Samarinda – Puluhan warga berpakaian hitam duduk berbaris di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Di hadapan mereka, miniatur truk-truk batubara tersusun rapi, dihubungkan benang hitam sebagai simbol. Simbol bahwa jalan umum, ruang hidup, dan rasa aman mereka kini terikat pada jalur tambang.
Aksi tersebut bukan sekadar protes. Ini adalah pernyataan: warga dari Muara Kate, Rangan, dan Batu Kajang menolak tunduk pada praktik tambang yang mereka nilai merampas hak dasar manusia. Bersama mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil, mereka menyuarakan satu pesan: hentikan penggunaan jalan umum sebagai jalur hauling batubara.
Koalisi ini juga menyerahkan surat keberatan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Surat tersebut memuat tuntutan agar pemerintah segera menegakkan aturan yang telah dibuat sendiri: Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 10 Tahun 2012, yang dengan tegas melarang angkutan batubara dan sawit melintasi jalan umum.
Namun kenyataannya, truk-truk batubara masih hilir mudik di ruas jalan warga. Jalan rusak, debu mengudara, dan risiko kecelakaan meningkat.
“Kami sudah terlalu sering melihat dan merasakan langsung dampaknya. Ini bukan cuma soal hukum, tapi keselamatan dan keadilan,” ujar Warta Linus, salah satu perwakilan warga.
Tuntutan warga bukan tanpa alasan. Mereka membawa serta kisah dari Muara Kate, Kabupaten Paser, tempat seorang warga adat meninggal dalam insiden pada 15 November 2024. Insiden itu, menurut warga, bukan yang pertama. Mereka menilai pemerintah dan aparat penegak hukum gagal memberikan perlindungan dan keadilan atas berbagai bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat yang menolak aktivitas tambang.
“Ini bukan cuma tentang truk di jalan. Ini tentang rasa aman yang hilang dari kampung kami,” ungkap salah satu warga Batu Kajang yang turut hadir, pada Selasa (15/4/2025).
Dalam surat keberatan, warga menilai pembiaran terhadap pelanggaran ini berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak atas lingkungan yang sehat sebagaimana dijamin dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), Pasal 11 dan 12, serta Pasal 28H UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Langkah hukum disebut sebagai opsi berikutnya jika negara tetap abai. Koalisi berencana menggugat pemerintah atas dugaan perbuatan melawan hukum: lalai menegakkan peraturan, lalai menjaga hak rakyat.
Aksi hari itu berlangsung damai. Poster berisi kritik tajam dibentangkan. Simbol-simbol perlawanan ditampilkan dalam diam. Anak-anak muda duduk bersisian dengan warga lanjut usia semua menyatu dalam satu suara.
Audiensi sempat dilakukan di Ruang Ruhui Rahayu antara pukul 13.30 hingga 14.45 WITA. Namun banyak peserta aksi merasa, perjuangan mereka belum selesai.
“Negara seharusnya hadir. Tapi hari ini kami yang hadir, mengingatkan bahwa jalan ini milik rakyat. Begitupun dengan perlawanan warga belum usai. Di jalanan, di ruang sidang, atau di panggung solidaritas, mereka terus menuntut: hak hidup tak boleh kalah oleh batubara,” ucap seorang mahasiswa peserta aksi.(salsa)