INIBORNEO.COM, Pontianak – Revisi Undang-Undang (UU) Mineral dan Batubara (Minerba) ditargetkan akan disetujui pada 18 Februari 2025 oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Revisi ini bertujuan untuk mempercepat pengembangan industri pengolahan mineral dalam negeri dan mengatur pemberian izin pertambangan kepada berbagai entitas, termasuk organisasi keagamaan dan perguruan tinggi.
Menurut Firdaus Cahyadi, Founder Indonesian Climate Justice Literacy, konsesi tambang untuk perguruan tinggi dinilai merupakan salah satu cara untuk mendapatkan pembenaran atas tindakan bunuh diri ekologi pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Intelektual kampus harus bersuara menolak revisi ini karena jika dibiarkan disahkan tanpa perlawanan, tanggal itu akan menjadi tanggal kematian suara kritis kampus, karena melalui UU Minerba itu upaya pembungkaman suara kritis kampus melalui bagi-bagi konsesi tambang bekas mendapat payung hukum UU,” ujarnya.
Ia juga menuturkan bahwa para ilmuwan di kampus akan dijadikan sekedar stempel dari kebijakan pemerintah yang merusak alam dan menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Sebelumnya hal yang sama juga sudah dilakukan pemerintah kepada organisasi massa (ormas) keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto komitmen pemerintah terhadap lingkungan hidup terus melemah. “Indikasinya, warisan buruk Presiden Joko Widodo yang membagi-bagi tambang batubara untuk membungkam suara kritis ormas keagamaan, tidak dikoreksi tapi justru dilanjutkan dan diperluas ke perguruan tinggi,” jelasnya.
Lanjut, ia mengatakan bahwa jika komitmen pemerintah terhadap lingkungan hidup terus menurun, cepat atau lambat, Indonesia akan memanen bencana. Selain itu, anggota DPR juga harus menempuh jalan lain dari jalan sesat pemerintah, yang mengarah kepada tindakan bunuh diri ekologi.
“Revisi UU Minerba, yang memberikan peluang bagi-bagi konsesi tambang untuk membungkam suara kritis perguruan tinggi, harus dihentikan. Anggota DPR harus mendengar suara rakyat bukan menjadi sekedar paduan suara yang hanya bisa bilang setuju terhadap setiap gagasan pemerintah yang membahayakan keberlanjutan alam dan keselamatan warga negara,” lanjutnya.
Ia mengimbau bahwa publik tidak bisa menunggu niat baik anggota DPR. Terkait dengan itulah, intelektual kampus harus mulai bergerak menolak secara lebih keras dan tegas terhadap upaya negara membungkam sikap kritis mereka.
“Jika perguruan tinggi mendapatkan konsesi tambang, intelektual kampus akan hanya menjadi sekedar intelektual tukang dan itu akan menghancurkan marwah perguruan tinggi,” pungkasnya.