- Pemerintah pusat dan provinsi mempunyai perbedaan mendasar mengenai sawit swasta yang masuk dalam kawasan hutan. Jumlah konsesi yang masuk dalam kawasan hutan versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membengkak lebih dari dua kali lipat dengan jumlah yang didata provinsi.
- Perbedaan ini cukup krusial lantaran akan menjadi dasar untuk melepaskan kawasan yang masuk dalam hutan karena keterlanjuran, namun melalui mekanisme sanksi denda administrasi melalui pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
- Tempo bersama IniBorneo.com, RiauTerkini.com, dan BanjarHits.co yang merupakan mitra Teras.id melakukan liputan bersama di empat provinsi untuk mengungkap kebijakan tersebut. Liputan ini mendapat bantuan/dukungan Pulitzer Center Rainforest Journalism Fund.
INIBORNEO.COM, Pontianak – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan 3,4 juta hektar konsesi sawit dalam kawasan hutan. Luasan tersebut merupakan 20,7 persen dari total perkebunan sawit saat ini yakni 16,4 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 41 persennya merupakan kebun rakyat, dengan luasan 9,66 juta hektare. Sisanya, yakni 59 persen merupakan milik perusahaan swasta, dan ada pula milik perusahaan negara.
Inventarisasi dilakukan sejak 2021 hingga Agustus 2023, dengan penerbitan 14 Keputusan Menteri. Subjek hukum terbanyak berada di Provinsi Riau diikuti Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Di Kalimantan Barat, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat lebih dari 198 perusahaan sawit yang masuk dalam kawasan hutan. Dari ratusan perusahaan tersebut luasan yang masuk dalam kawasan hutan mencapai 88 ribu hektare.
Sementara sebelumnya, pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mendata konsesi yang masuk kawasan hutan hanya 38 ribu hektare meliputi 23 konsesi perusahaan sawit. Areal yang paling banyak enclave adalah dengan Hutan Produksi yang mencapai lebih dari 13 ribu hektare.
Dari data konsesi perusahaan sawit yang masuk dalam kawasan hutan di Kalimantan Barat -baik versi KLHK maupun Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat- terdapat nama perusahaan milik Salim Group; PT Riau Agrotama Plantation (RAP).
Perusahaan ini terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, diduga merambah ke kawasan hutan di Desa Bukit Penai, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Perusahaan ini merupakan satu-satunya yang terindikasi masuk ke kawasan hutan Kapuas Hulu, dengan luasan 2,171 hektare.
Peta Konsesi PT RAP
Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, Heronimus Hero, mengakui PT RAP merupakan salah satu perusahaan yang sudah mengajukan laporan terkait konsesi mereka yang dinyatakan masuk dalam kawasan hutan.
Semua perusahaan sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan sudah menjalankan kewajibannya melakukan pelaporan atau klarifikasi kepada KLHK. Pemerintah daerah yang bantu memfasilitasi laporan tersebut.
“Ada perbedaan penggunaan basis peta untuk pendataan kawasan. Setelah kami cermati, peta dasar yang digunakan KLHK adalah peta izin lokasi perkebunan. Seharusnya, data untuk tumpangsusun peta kawasan dan peta kebun menggunakan peta Izin Usaha Perkebunan,” jelas Hero. Laporan kepada kementerian pun telah dikirimkan, sebelum tenggat yang diberikan KLHK, yakni pada awal November 2023. “Hingga kini belum ada jawaban,” katanya.
Pada 2022 lalu, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, menyebutkan jumlah Izin Usaha Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat yang diterbitkan sebanyak 378 Perusahaan dengan luasan 3.321.731 hektare yang tersebar di 12 kabupaten-kota.
Selain PT RAP, ada 23 perusahaan lain yang terdata oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat masuk ke dalam kawasan hutan. Hasil analisis spasial menunjukkan adanya indikasi perizinan perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan berdasarkan sebanyak 23 perusahaan dengan luasan 38.616,98 hektar. Analisis ini adalah hasil tumpang susun peta konsesi dengan peta kawasan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor 733 Tahun 2014.
PT RAP sendiri telah dikonfirmasi oleh tim Iniborneo sejak 25 Desember 2023, namun hingga berita ini diturunkan, tidak memberikan tanggapan.
Tim mengunjungi Desa Bukit Penai pada Oktober 2023. Ternyata desa itu lebih dekat ditempuh dari Kabupaten Sintang. Jaraknya, memakan waktu tujuh jam perjalanan dari Kota Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. Jalan menuju ke desa terbuat dari tanah merah, serta mempunyai kemiringan yang beragam. Cukup sulit memasuki desa tersebut jika musim penghujan tiba.
Kepala Desa Bukit Penai, Eko Budi Santoso, tengah tidak berada di tempat. Istrinya menemui tim di kediamannya. Kediaman mereka merupakan bekas barak perusahaan. Desa tersebut berada tepat dipinggir konsesi perusahaan.
Jalan menuju desa hanya satu jalur, dan juga masih tanah merah. Pusat desa terletak di seputar masjid utama. Di sampingnya merupakan kantor desa. Di seberang jalan itulah letak barak dengan empat pintu, di mana salah satunya adalah kediaman Eko.
Sepengetahuannya, urusan kebun sudah mendapat titik tengah. Eko sendiri tak berkomentar banyak saat dihubungi di telepon selularnya. “Sudah dimediasi,” ujarnya melalui pesan singkat. Ada kekhawatiran dari warga, jika hal itu diusut lagi pihak perusahaan kembali menarik diri dari kesepakatan bersama. Hal yang tidak diinginkan oleh warga setempat.
Sempat Berkonflik
Sepanjang tahun 2023, merupakan tahun yang cukup ‘panas’ bagi masyarakat Desa Bukit Penai, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan PT Riau Agrotama Plantation (RAP). Pasalnya, konflik tenurial yang terjadi belum juga berakhir. Gejolak dimulai pada tahun 2021, saat warga menggugat pengambilalihan lahan seluas 537,5 hektare yang dilakukan perusahaan PT RAP.
“Perlawanan warga tersebut merupakan rentetan panjang dari kesewenang-wenangan pihak perusahan di wilayah Divisi II KSE. Kali ini warga sudah habis kesabaran setelah 20 tahun lahan mereka dijadikan hamparan kebun sawit tanpa alas hak,” ujar Eko Budi Santoso, kepala Desa Bukit Penai, pada aksinya penyegelan lahan tahun 2021 lalu.
Lahan itu adalah milik warga transmigrasi, yang meliputi tanah kas desa seluas e22,5 hektare, fasilitas umum 10 hektare, pusat desa 10 hektare, lahan gembala 20 hektare dan lahan pencadangan 475 hektare.
Tawaran sudah dilayangkan agar melepaskan lahan masyarakat Desa Bukit Penai masing-masing 1,5 hektare per kepala keluarga, dengan total 206 kepala keluara atau 371,5 hektar, beserta lahan kas desa seluas 62,5 hektar. Sedangkan sisanya boleh digarap pihak perusahaan. Akan tetapi tuntutan itu tidak dipenuhi sampai batas waktu yang diminta yakni 16 Oktober 2021, padahal lahan mereka sudah digarap sejak tahun 2020.
Di tahun 2023, hal tersebut berulang kembali. Warga kembali menggugat perusahaan. Kali ini Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu turun tangan. Tidak adanya itikad baik dari perusahaan untuk menghadiri pertemuan yang difasilitasi Pemkab Kapuas Hulu serta Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) sehingga diputuskan penutupan sementara operasi perusahaan hingga 31 Januari 2023. Hingga Februari 2023, upaya mediasi masih mentok.
Baru pada bulan Mei 2023, masih difasilitasi pemerintah pihak perusahaan menandatangi kesepakatan mengenai pengambilalihan lahan dan pemagaran lahan inti perusahaan. Jika ditarik lebih panjang, sengketa perusahaan sudah terjadi sejak tahun 2012 silam.
Persoalan dipantik setelah petani plasma PT RAP meminta kejelasan status lahan kebun seluas 5.155 hektare di Desa Miau Merah, Kecamatan Silat Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar). Sudah 12 tahun berjalan sejak tahun 2000, lahan belum diserahkan kepada petani.
Petani bahkan hanya menerima 25 persen dari hasil panen. Selebihnya, diambil perusahaan dengan alasan untuk membayar kredit dan pengeloaan. Kenyataan, kredit ke bank tak dibayar. Malah petani yang diminta menanggung utang pembangunan kebun dan kerugian kelola mencapai lebih Rp200 miliar.
Soal kawasan PT RAP masuk dalam kawasan hutan, Pemkab Kapuas Hulu pun agaknya sudah wanti-wanti soal ini. Dari data Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat, PT RAP adalah salah satu perusahaan yang konsesinya cukup besar masuk dalam kawasan hutan.
PT RAP merupakan anak perusahaan dari Salim Group. Berdasarkan data dari Dirjen Adrminstrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM, terdaftar pada Agustus 2020. Tercatat 28 turunan usaha yang didaftarkan meliputi lingkung perkebunan sawit.
Design by ini BorneoPemegang sahamnya adalah PT Salim Ivomas dan PT Sarana Inti Pratama. Tercatat Johnny Ponto sebagai direktur utama, Sophiawati Rahardjo sebagai komisaris dan Herlina Sugianto, sebagai direktur.
Konsesi PT RAP melingkupi Kecamatan Silat Hilir dan Silat Hulu, luasanya mencakup 18 ribu hectare. Dari data Pemprov Kalimantan Barat, perusahaan ini adalah satu-satunya yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan di Kabupaten Kapuas Hulu, seluas 2.171 hektare.
Hal ini membuat daftar ‘dosa’ perusahaan kian bertambah. Walau, grup ini sudah mengundurkan dari dari keanggotaan RSPO sejak 2019 lalu, setelah bergabung selama 15 tahun. Seperti diketahui RSPO menerapkan kebijakan No Deforestation, No Peat And No Explotation (NDPE), yakni tidak boleh ada deforestasi, tidak membuka lahan gambut, dan tidak ada eksploitasi.
Masuknya PT RAP sebagai perusahaan yang konsesinya berada dalam kawasan hutan serta adanya konflik lahan dengan masyarakat menjadikan perusahaan tersebut menyalahi dua kebijakan NDPE. Padahal setelah mundur Salim Ivomas menyatakan tetap akan menerapkan kebijakan sawit berkelanjutan walaupun sudah keluar dari RSPO.
“Tapi kita harapkan perusahaan yang masuk itu, tidak memperdaya masyarakat desa,” ujar Tumenggung Rajang, salah satu tokoh adat Desa Penai. Rajang bilang, kini masalah dengan perusahaan sudah selesai. Dia mengharapkan, warga mendapatkan haknya kembali, walau kini dalam bentuk lahan sawit.
“Dari pada tidak ada,” ujarnya. Rajang menyatakan bahwa hutan adat merupakan hal yang tidak bisa diselamatkan dan telah berganti konsesi. Hal itu lantaran, saat dialihfungsikan belum ada kekuatan hukum terhadap hutan adat tersebut.
Tahun 2022 lalu, Dinas Perkebunan Kalimantan Barat menyebutkan jumlah Izin Usaha Perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat yang diterbitkan sebanyak 378 Perusahaan dengan luasan 3.321.731 hektare yang tersebar di 12 kabupaten-kota.
Hasil analisis spasial menunjukkan adanya indikasi perizinan perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan berdasarkan sebanyak 23 perusahaan dengan luasan 38.616,98 hektar. Analisis ini adalah hasil tumpang susun peta konsesi dengan peta kawasan berdasarkan Kepmenhut 733 tahun 2014. “Namun masih perlu dilakukan verifikasi,” kata Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji.
Adanya temuan ini, disebabkan oleh perubahan status kawasan hutan dari Kepmenhut no 733 tahun 2014 yang diganti dengan Kepmenhut no. 259 tahun 2020, terdapat beberapa kawasan yang tadinya berstatus Areal Penggunaan Lain (APL), dalam aturan yang baru menjadi kawasan hutan.
Sejarah Kawasan Hutan di Kalbar
Bila merunut aturan, terdapat lini masa mengenai aturan penetapan kawasan hutan di Kalbar. Data ini dapat dilihat melalui situs web pengukuhan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Made with Visme Infographic Maker
Versi Pemprov Kalbar, perusahaan yang konsesinya paling banyak masuk dalam kawasan hutan adalah PT Wirata Daya Bangun Persada seluas 7.250 hektare, PT Ceria Prima seluas 5.083 hektare, dan PT Inti Sarana Makmur seluas 3.798 hektare, yang seluruhnya berada di Bengkayang.
PT Wirata Daya Bangun Persada dan PT Ceria Prima sendiri adalah milik Surya Darmadi, yang telah divonis pidana. Kedua perusahaan tersebut berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri pada tanggal 25 Agustus 2022, dan Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pontianak, telah disita oleh negara. Selain dua perusahaan tadi, negara juga menyita perusahaan lainnya milik Surya Darmadi, PT Wana Hijau Semesta.
Ketiganya, juga masuk dalam data KLHK sebagai konsesi yang masuk kawasan hutan. PT Wana Hijau Semesta terletak di Kabupaten Sambas. Luas areal yang masuk kawasan hutan sebesar 1.635 hektare.
Sedangkan versi KLHK, Kabupaten Bengkayang juga menempati urutan pertama untuk jumlah perusahaan yang masuk dalam kawasan hutan. Urutan kedua Kabupaten Sanggau dan ketiga Kabupaten Ketapang.
PT Ceria Prima menempati urutan pertama dengan luasan yang masuk kawasan hutan seluas 8979,86 hektare, PT Wirata Daya Bangun Persada seluas 6588,72 hektare, dan PT Budidaya Agrolestari dan PT Karya Bakti Agro Sejahtera seluas 5363,89 hektare.
Lembaga SIAR melakukan analisis terkait rencana pemutihan ini. Disebutkan, wacana ini akan berdampak langsung pada tutupan sawit di kawasan hutan Kalbar.
Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2019) menyebutkan, Kalimantan Barat merupakan Provinsi dengan lahan perkebunan kelapa sawit terluas ketiga yaitu 1,8 juta hektare setelah Provinsi Riau (3,4 juta hektar) dan Sumatera Utara (2,1 juta hektar) dan dari luas sawit tersebut berdasarkan analisis oleh SIAR menunjukkan angka sekitar 109.233,69 hektar yang berada dalam kawasan hutan.
Jika rencana pemutihan ini dilakukan melalui UU Cipta Kerja, maka kawasan hutan di Kalimantan Barat seluas 109.233,69 hektar akan legal ditanami kelapa sawit tanpa ada pertanggungjawaban secara berkelanjutan.
ASEANTY PAHLEVI | CANTYA ZAMZABELA