BRIN Ungkap Kajian Perubahan Iklim yang Tunjukkan Cuaca Ekstrem Alami Peningkatan Signifikan

  • Share
Sumber : JS UGM

INIBORNEO.COM, Pontianak – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan hasil kajian terkini terkait perubahan iklim di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) pada periode 2021-2050. Kajian yang melibatkan teknik dynamic downscaling resolusi tinggi dari tim periset BRIN menunjukkan peningkatan signifikan dalam kekeringan dan hujan ekstrem.

Dalam konferensi pers yang digelar pada 30 Januari 2024, Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer-BRIN, Erma Yulihastin, menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim tersebut secara khusus terasa di wilayah Sumatra bagian tengah dan selatan. Selain itu, kekeringan ekstrem juga diproyeksikan berdampak pada wilayah Kalimantan bagian tengah, timur, dan selatan, termasuk Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia Timur (IKN), sementara Kalimantan bagian barat diprediksi mengalami peningkatan curah hujan.

“Kami berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada publik terkait perubahan iklim yang terjadi di Indonesia, terutama dalam menghadapi cuaca ekstrem yang semakin meluas,” ujar Erma.

BRIN akan menggelar acara Media Lounge Discussion (MELODI) pada Rabu (31/1), yang akan dihadiri oleh dua narasumber utama, Erma Yulihastin dari BRIN dan Agie Wandala Putra, Ketua Tropical Cyclone Warning Center (TCWC) Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Erma juga menyoroti pentingnya kajian klimatologis terkini mengenai karakteristik hujan tahunan dan musiman di Indonesia sebagai bentuk validasi terhadap indikasi perubahan iklim. Fokusnya adalah pada pola musim dan cuaca ekstrem, yang memiliki dampak signifikan terhadap kondisi lingkungan dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Kajian yang dilakukan oleh BRIN juga menyoroti fenomena hujan diurnal, dengan penekanan khusus pada hujan dinihari di utara Jawa bagian barat. Erma menjelaskan bahwa pemahaman terhadap karakteristik ini menjadi kunci untuk memahami pola cuaca ekstrem yang terjadi di BMI sebagai dampak dari pemanasan global.

Dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim, Erma Yulihastin mengusulkan pembentukan Komite Cuaca Ekstrem di Indonesia. Kolaborasi erat antara BRIN, BMKG, BNPB, BPBD, Pemda, relawan, dan media dianggap penting untuk membangun langkah-langkah strategis nasional dalam mitigasi dan antisipasi dampak cuaca ekstrem.

“Komite Cuaca Ekstrem dapat menjadi wadah untuk mengkoordinasikan upaya mitigasi dan antisipasi dampak cuaca ekstrem yang semakin meluas. Model seperti yang diterapkan di negara-negara federal di Amerika Serikat dapat menjadi inspirasi,” jelas Erma.

Erma juga menekankan perlunya edukasi publik dan pembentukan simpul relawan yang efektif dalam menghadapi cuaca ekstrem. Komite tersebut diharapkan dapat merumuskan program-program penting untuk edukasi publik, membangun simpul-simpul relawan yang efektif, dan secara aktif bekerja dalam membangun kesadaran publik.

“Penting untuk dipahami, cuaca ekstrem adalah jenis bencana alam yang paling dinamis dan sering terjadi sehingga butuh terus-menerus untuk keep up to date. Bahkan informasi prediksi cuaca ekstrem pun harus terus-menerus diperbarui idealnya dua kali dalam sehari, mengikuti dinamika cuaca yang berubah-ubah setiap waktu,” ungkapnya.

Erma menegaskan bahwa tantangan terbesar dalam ilmu meteorologi dan klimatologi adalah menghasilkan model prediksi hujan yang akurat untuk wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI). Oleh karena itu, semua bentuk studi dari hulu ke hilir yang berkaitan dengan meteorologi dan klimatologi diharapkan dapat menciptakan prediksi cuaca ekstrem yang lebih baik.

“Untuk mencapai target menjaga suhu bumi tidak melampaui 1,5 derajat Celcius pada 2050, di bagian hulu, Indonesia harus segera menguasai teknologi prediksi cuaca dan iklim,” pungkas Erma, menyongsong Indonesia emas 2045.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *