Perubahan Iklim Bisa Ancam Populasi Penyu

  • Share
Seminar Keanekaragaman Hayati untuk Wilayah Pesisir Borneo dan Laut Indonesia Menuju Indonesia’s FOLU Net Sink 2030

INIBORNEO.COM, Pontianak – Perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu bumi bisa mengancam populasi penyu. Hal ini dikarenakan tanaman di pantai yang perlahan semakin terkikis sehingga sulit untuk membantu masa inkubasi dan daya tetas tukik.

Dwi Suprapti, Pegiat Konservasi Kelautan – IAM Flying Vet, mengatakan, “Pada penelitian saya di tahun 2008, kami menemukan bahwa jenis kelamin anak penyu atau tukik, itu ditentukan dari suhu ketika telur tersebut mengalami masa inkubasi,” katanya pada Seminar Keanekaragaman Hayati untuk Wilayah Pesisir Borneo dan Laut Indonesia Menuju Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 pada Kamis, (25/5).

Melanjutkan, Dwi juga mengutarakan bahwa pada suhu lebih dari 30 derajat celcius, 100 persen tukik yang akan menetas akan berjenis kelamin betina sedangkan suhu di bawah 27 derajat celcius, 100 persen tukik akan berjenis kelamin jantan. Untuk toleransi suhu agar menghasilkan tukik jantan dan betina dengan perbandingan 1 : 1 yakni antara 23 – 33 derajat celcius.

“Nah, karena emisi karbon deforestasi yang menyebabkan kurangnya tanaman pada pantai membuat telur-telur penyu tidak memiliki pelindung ketika masa inkubasi sehingga kebanyakan yang menetas berjenis kelamin betina,” lanjutnya.

Penelitian di Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, pada tahun 2006 – 2008 mengindikasi bahwa 100 persen tukik yang menetas disana berjenis kelamin betina. Di Palm Beach Country, Tenggara Florida pada tahun 2000 – 2002 menyatakan bahwa 97 – 100 persen tukik yang meneteas disana juga berjenis kelamin betina. Sedangkan di tahun 2018, 99 persen penyu hijau muda di Great Barier Reef, Utara Australia, berjenis kelamin betina, hanya sedikit keberadaan penyu jantan dewasa.

“Ketidakseimbangan penyu betina dengan jantan membuat pembuahan pada penyu tidak maksimal sehingga mampu mengancam populasi penyu,” tegas Dwi.

Dosen Ilmu Kelautan UNTAN, Shifa Helena, turut membenarkan bahwa deforestasi atau mengubah lahan hutan menjadi non-hutan di pantai memiliki dampak yang cukup luas untuk segala aspek. “Sangat miris bahwa tanaman laut menjadi salah satu aspek penting terhadap populasi penyu sedangkan saat ini saja terdapat beberapa jenis tamanan laut yang sudah sulit untuk di temukan,” ungkapnya.

Katang-katang, salah satu tanaman yang hidup di pesisir pantai, menjadi salah satu tanaman yang membantu untuk melindungi telur penyu dari suhu panas saat ini sudah sulit untuk ditemukan.

“Saya pernah mendatangi suatu pantai yang masih terdapat katang-katang, yang mengejutkan adalah tanaman tersebut diambil oleh masyarakat untuk memberi pakan kambing,” ucapnya ketika menyampaikan materi.

Lanjut, Shifa juga menuturkan bahwa selain katang-katang, ada juga tanaman kandelia candel yang merupakan endemik yang statusnya sudah hampir punah.

“Di daerah Kakap, pohon kandelia candel masih bisa ditemukan di empat titik lokasi. Sedangkan di Singapura saja hanya ditemukan satu pohon dan itu mereka jaga dengan baik. Seharusnya kita juga bisa menjaga seperti mereka,” tutur Shifa.

Shifa juga berpesan, untuk menjaga ekosistem, pembatas di pantai juga harus dijaga dan disesuaikan dengan tempatnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *