Merawat Perdamaian dan Keberagaman melalui Pendidikan Muatan Lokal dan Multikultur Pada Masa Pandemi di Kalimantan Barat

- News
  • Share

INBORNEO.COM, Kalbar – Pandemi Covid-19 tak menjadi alasan untuk abai dan terhenti menjaga komitmen multipihak untuk merawat nilai-nilai perdamaian dan keberagaman di Bumi Khatulistiwa ini. Diskusi juga demi mengembangkan wawasan masyarakat luas tentang praktik perdamaian, keberagaman dan nilai-nilai toleransi, serta mengeksplor tanggapan para pihak terkait inisiatif pembelajaran muatan local budaya dan multikultur di masa pandemi Covid-19 ini. Pendidikan multikultur tetap perlu dukungan dari semua pihak. Hal tersebut dinyatakan Krissusandi Gunui’, Direktur Eksekutif Institut Dayakologi saat memberikan sambutan diskusi terfokus pada Kamis (10/9/2020) tersebut.

Senada dengan itu, Suhardi, M.Pd, Kabag Kebudayaan DISDIKBUD Provinsi Kalimantan Barat, saat mewakili Kepala DISDIKBUD Kalbar, yang sekaligus membuka diskusi terfokus itu menyatakan pihaknya senantiasa siap mendukung pendidikan multikultur di Kalbar karena sesuai karakteristik daerah ini yang beragam. “Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar selalu siap mendukung pendidikan multikultur untuk daerah ini. Apalagi rencana Kerjasama seperti ini dengan pihak Institut Dayakologi dan ANPRI telah beberapa kali dibicarakan dengan kami pada tahun lalu yang kemudian sempat terhalang oleh pandemi Covid-19 ini,”imbuhnya.

Diskusi berlangsung di ruang Jurung Dayakologi, dihadiri langsung 20 peserta, dan 20 lainnya hadir secara virtual. Peserta dari utusan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sanggau, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkayang, pendamping dan guru muatan local dari daerah Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, SMP/Sederajat di Pontianak, Kubu Raya, Landak, dan aktivis lokal dari komunitas, tokoh pemuda dan tokoh perempuan, serta aktivis yang mewakili lembaga-lembaga mitra ANPRI Kalimantan Barat.
Dalam pemaparannya, Gunui’ juga mengatakan bahwa di Indonesia, fenomena muncul dan berkembangnya paham radikal dan fundamental yang berpotensi mengarah pada tindakan kekerasan terus menjadi perbincangan dan perhatian banyak kalangan.

Radikalisme-fundamentalisme bisa tumbuh dan berkembang pada kelompok berbasis keagamaan, politik, ekonomi maupun etnisitas. Kekerasan verbal dan fisik hingga aksi terorisme menjadi ciri yang paling menyolok dari keberadaan kelompok radikal-fundamental tersebut. Dia menandaskan bahwa dari berbagai upaya melawan paham radikal-fundamental tersebut, satu langkah yang relevan adalah pencegahan dengan membumikan budaya perdamaian dan anti kekerasan. Anak-anak di sekolah tingkat dasar dan menengah bahkan taman kanak-kanak berisiko terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme. “Pendidikan adalah solusi yang tepat dan strategis. Pendidikan mesti diperkenalkan dengan materi atau bahan ajar berbasis muatan local dan multikultur karena kreativitas, ajaran toleransi dan nilai solidaritas kemanusiaan yang beradab dari para peserta didik dapat digali dengan pendekatan seni, musik dan budaya local serta apresiasi terhadap budaya lain,”ujarnya.

Kalbar sebagai provinsi yang berpenduduk heterogen, posisi geografisnya sebagai kawasan strategis perbatasan dengan Sarawak-Malaysia, mudah dipengaruhi budaya luar. Hal ini semakin diperlukan terlebih di era globalisasi ini sehingga kecakapan dalam komunikasi, kerja sama, kapasitas dan wawasan kritis serta kemampuan memecahkan masalah patut dikuasai peserta didik. Tentu saja, hal tersebut mesti didukung tenaga pendidik (guru) lebih kreatif, inovatif dan komunikatif dalam memberikan pembelajaran termasuk di situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Dr. Saiful Bahri, peneliti dan dosen dari IKIP PGRI Pontianak mengatakan bahwa metode etnopedagogik relevan diterapkan dalam proses pembelajaran materi pendidikan muatan local budaya dan multikultur di Kalimantan Barat. Dia mencontohkan, nilai kearifan local dalam praktik perladangan gilir balik pada masyarakat Dayak Kanayatn di Lingga, misalnya, dapat disampaikan kepada peserta didik dengan mengintegrasikannya dengan mata pelajaran lain di sekolah. “Nilai kearifan local dalam perladangan gilir balik masyarakat Dayak Kanayatn di Lingga bisa dijadikan bahan ajar pendidikan muatan local budaya dan multikutlur di sekolah,”pungkasnya. Dr. Saiful juga menambahkan bahwa buku bahan ajar pendidikan muatan local multikultur di Kalimantan Barat yang pernah diterbitkan oleh ANPRI dan Institut Dayakologi untuk kelas 7, 8, dan 9 itu, bisa dimutakhirkan kembali.

Sementara itu, Yohanes RJ, anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat, sebagai pemantik diskusi menyampaikan bahwa usulan kerjasama dari pihak DISDIKBUD Provinsi Kalimantan Barat dapat disampaikan ke Komisi 5 DPRD Provinsi Kalbar. Ia juga meminta agar pihak DISDIKBUD Provinsi Kalbar tidak sekadar dalam posisi mendukung, tapi justru harus yang menjadi leading dan yang terdepan. “Saya malah meminta agar teman-teman dari tidak DISDIKBUD Provinsi Kalimantan Barat harus menjadi pihak yang menjadi leading dan terdepan untuk urusan pendidikan multikulkur di Bumi Khatulistiwa ini, dan jangan hanya di posisi sekadar mendukung. Untuk urusan pendidikan dan kebudayaan seperti ini, silahkan ajukan dukungan kepada Komisi 5 DPRD Provinsi Kalimantan Barat,”pungkasnya.

Kemudian, saat membagikan tanggapannya sebagai pengawas pendidikan dan pengajaran mulok budaya tingkat SD/Sederajat di Kecamatan Balai Batang Tarang, Kab. Sanggau, Paimin mengatakan bahwa Pendidikan mulok budaya itu penting untuk memperkuat hubungan peserta didik dengan lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Untuk memperkenalkan kearifan local, peribahasa setempat dapat menjadi bahan ajar pengajaran mulok budaya yang menarik bagi para peserta didik. “Pendidikan mulok budaya khususnya Sapta Basa yang merupakan hasil refleksi nilai kearifan budaya Dayak yang sering digunakan untuk bahan ajar di SDN 05 Tae dan SDN 25 Padang dan beberapa SDN di lingkar Tiong Kandang sangat cocok diterapkan, peserta didik pun mudah memahaminya,”paparnya melalui platform meet.google langsung dari kantornya di Batang Tarang.

Dalam varian yang lain, ada juga sharing pengalaman dari Yayasan SAKA Pontianak dalam menyelenggarakan pendidikan alternatif. Sri Hartati, penggiat Yayasan SAKA menyatakan bahwa pihak kini terus mengembangkan pendidikan alternatif sebagai model pembelajaran muatan local dan multikultur. “Di sekolah kami, anak-anak yang beragam latar belakang social budayanya, diajarkan untuk mengenal dirinya, lingkungan terdekatnya, hingga lingkungan sosial budaya lain sehingga anak-anak mengenal dan menghormati perbedaan serta nilai-nilai toleransi sejak dini,”pungkasnya dengan jaringan virtual.

Diapresiasi Para Tokoh Madura
Tokoh muda Madura Kalimantan Barat dan pengurus MISEM Kalbar, Subro, M.Ag mengatakan bahwa pengalaman MISEM berkolaborasi bersama ANPRI dan Institut Dayakologi, juga telah didiseminasikan di dalam Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep, beberapa waktu lalu. Ia mengatakan bahwa sambutan para tokoh intelektual Madura yang berprofesi sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi di Jawa memberikan apresiasi yang sangat positif karena di dalam buku bahan ajar Pendidikan Mulok Budaya dan Multikultur di Kalimantan Barat yang selama itu menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah SMP/sederajat mitra ANPRI di Kalbar terdapat materi tentang kebudayaan Madura. Pengalaman tersebut menjadi bahan diskusi di antara para tokoh Madura itu. “Satu pelajaran yang saya petik adalah bahwa saat mereka berdiskusi dan berdebat dalam Kongres Kebudayaan Madura itu, kita di Kalbar sudah jauh lebih dulu menerapkan pendidikan mulok budaya multikultur, terlepas dari apakah di dalam prosesnya masih ada keterbatasan-keterbatasannya,”ujar Subro, yang kerap disapa Cak Subro ini.

Institut Dayakologi bersama ANPRI dan anggota-anggotanya berusaha konsisten terus memelihara rasa peduli dan komitmen untuk merawat keberagaman di bumi Khatulistiwa ini. Narasumber dari SMP St. Fransiskus Asisi Pontianak, yang juga seorang kolomnis yakni Drs. Priyono Pasti, membagikan pengalaman sekolah dengan pelindung spiritual yakni Santo Fransiskus dari Asisi tersebut mengatakan bahwa pihak sekolahnya menerapkan pendidikan mulok budaya multikultur. Dalam praktiknya di sekolah, peserta didik diajarkan nilai-nilai toleransi, menjaga perdamaian dan menghormati perbedaan. “Di SMP Asisi, sudah biasa jika dalam kepanitiaan di acara hari besar agama, juga dilibatkan peserta didik dari agama lain. Di sini mereka punya kesempatan langsung bekerja sama, mengenal perbedaan dan sikap toleransi satu sama lain,”kata Pak Pri, yang juga Kepsek SMP St. Fransiskus Asisi itu.
Inisiatif pendidikan muatan local budaya dan multikultur masih sangat relevan di Kalimantan Barat terlepas akan didukung atau tidak. Hal ini bahkan telah dimulai sejak 2007-2008, oleh Institut Dayakologi dan ANPRI bersama anggotanya yang memiliki visi yang sama mengenai nilai perdamaian dan kehidupan multikultur di Kalimantan Barat. Di dalam Kurikulum 2013 (revisi), pendidikan muatan local budaya dan multikultur dapat diintegrasikan di dalam setiap mata pelajaran yang ada sehingga nantinya bisa segera diupayakan strategi dan langkah inovatif dalam penerapannya. (r-papiadjie)

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *