INIBORNEO.COM, Pontianak – Perselisihan hubungan industrial antara CNN Indonesia dan jurnalisnya, Miftah Faridl, bermula pada pertengahan 2024. Saat itu, manajemen CNN Indonesia secara sepihak memotong upah sejumlah pekerja di berbagai biro, termasuk Surabaya dan Jakarta. Pemotongan dilakukan tanpa pemberitahuan atau kesepakatan, dan tanpa kompensasi apa pun. Miftah Faridl, yang telah bekerja sebagai koresponden CNN Indonesia di Surabaya selama sembilan tahun, termasuk yang menolak perlakuan ini.
Faridl bersama tujuh rekannya kemudian mendirikan serikat pekerja Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI) sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik sepihak manajemen. Namun, tak lama setelah itu, Faridl dipecat secara sepihak pada September 2024, disusul pemecatan tujuh pekerja lainnya di Jakarta. Delapan orang ini lalu menempuh jalur hukum dan membawa kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Pada 10 April 2025, Majelis Hakim PHI di Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan bahwa CNN Indonesia harus membayar kekurangan upah Faridl sebesar Rp3.045.900. Jumlah itu merupakan akumulasi dari pemotongan upah pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2024. Putusan ini memperkuat anjuran mediator dari Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disnaker) Surabaya, yang sebelumnya juga menyatakan bahwa pemotongan upah Faridl tidak sah.
Namun alih-alih menjalankan putusan tersebut, manajemen CNN Indonesia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 21 April 2025. Perusahaan yang dimiliki oleh salah satu orang terkaya di Indonesia itu memilih menghindari kewajiban hukum alih-alih memenuhi hak pekerjanya.
Salawati, anggota Tim Pendamping Hukum dari Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur, menyebut CNN Indonesia tidak menyampaikan dalil baru dalam kasasinya. “Mereka hanya mengulang dalih lama yang sudah dipatahkan saat mediasi dan persidangan. Mereka tetap menggunakan istilah ‘penyesuaian’, bukan ‘pemotongan sepihak’ seperti yang sebenarnya terjadi,” katanya.
Menurut Salawati, dalil hukum CNN Indonesia juga kacau. “Mereka menyebut penyesuaian tapi pakai rujukan hukum tentang peninjauan. Padahal dua hal itu berbeda. Ini menunjukkan mereka tidak punya dasar kuat dan mencoba menyamarkan pelanggaran,” tegasnya.
Salawati menekankan, pemotongan upah seharusnya dilakukan melalui kesepakatan bersama, seperti yang dilakukan beberapa media lain saat menghadapi krisis. Dalam kasus-kasus tersebut, pekerja biasanya diberikan kompensasi, dan upah yang dipotong diakui sebagai hutang perusahaan.
“CNN Indonesia tidak melakukan itu. Mereka potong sepihak, tanpa kesepakatan, tanpa kompensasi. Ini jelas merugikan klien kami,” ujarnya.
Lebih lanjut, dalam memori kasasinya CNN Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak perlu meminta persetujuan pekerja untuk melakukan penyesuaian upah. “Mereka ini media, seharusnya menjunjung tinggi hukum dan etika. Ini sangat berbahaya,” ujar Salawati. Ia menegaskan bahwa tim pendamping akan mengirim kontra-memori untuk menolak argumen kasasi CNN Indonesia.
Sementara itu, Miftah Faridl menyebut langkah kasasi tersebut sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab. “Saya tidak kaget. Ini bagian dari strategi mereka untuk mengulur waktu agar pekerja menyerah. Tapi saya dan rekan-rekan tetap bertahan berkat solidaritas,” kata Faridl.
Ia juga menyoroti praktik manipulasi bahasa yang dilakukan manajemen CNN Indonesia. “Upah kami dipotong, tapi disebut penyesuaian. Kami dipecat, tapi disebut layoff. Sama seperti menggusur tapi disebut menertibkan. Mereka sedang memainkan politik bahasa untuk menutupi pelanggaran mereka,” tegasnya.
Faridl adalah satu dari delapan pekerja yang menggugat pemotongan upah sepihak oleh CNN Indonesia. Tujuh rekan lainnya yang bekerja di Jakarta kini sedang menjalani proses hukum serupa di PHI Jakarta Pusat, didampingi oleh LBH Pers. Mereka juga menjadi korban pemecatan setelah mendirikan serikat pekerja.
Selama sepuluh bulan terakhir, Faridl mendapat pendampingan hukum dari Komite Advokasi Jurnalis (KAJ) Jawa Timur. Tim pendamping terdiri dari enam pengacara: Salawati, Fatkhul Khoir, Johanes Dipa Wijaya, Romi Martens Yuswantoro, Beryl Cholif Arrachman, dan Mahendra Suhartono.