INIBORNEO.COM, Pontianak — Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ketapang Selatan, dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) bekerja sama melakukan translokasi satu individu orangutan jantan dewasa di Dusun Sumber Priangan, Desa Simpang Tiga Sembelangaan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Orangutan ini sebelumnya beberapa kali dilaporkan memasuki area perkebunan warga dan memakan buah-buahan seperti jambu, kelapa, dan nanas.
Menanggapi laporan tersebut, tim Orangutan Protection Unit (OPU) YIARI segera melakukan verifikasi lapangan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa konflik manusia-orangutan di lokasi tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan serius. Oleh karena itu, setelah berkoordinasi dengan BKSDA Kalimantan Barat, diputuskan bahwa translokasi ke habitat yang lebih aman merupakan langkah paling rasional dan menguntungkan semua pihak. Translokasi ini tidak hanya untuk melindungi orangutan, tetapi juga untuk menjamin keselamatan warga. Ini adalah solusi saling menguntungkan yang perlu diambil sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Warga setempat mengaku sempat panik saat melihat orangutan muncul di pekarangan rumah mereka. “Awalnya kami kira hanya monyet biasa. Tapi setelah dilihat lebih dekat, ternyata orangutan,” ujar salah satu warga. “Kami takut, tapi juga kasihan. Mungkin dia tersesat atau habitatnya terganggu,” tambah warga lainnya. Orangutan tersebut pertama kali terlihat berjalan di antara pepohonan dekat pemukiman, sebelum akhirnya mendekati rumah warga. Video kehadiran orangutan ini sempat viral di media sosial lokal.
Lokasi kemunculan orangutan berada sangat dekat dengan jalan raya utama yang menghubungkan Kabupaten Ketapang dan Kota Pontianak, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas serta bahaya bagi manusia dan satwa. Selain itu, hasil pengamatan tim menunjukkan bahwa kawasan tersebut telah mengalami degradasi dan fragmentasi habitat yang parah akibat konversi lahan hutan menjadi kebun sawit dan perambahan hutan. Akibatnya, tidak ada lagi kawasan hutan yang cukup luas dan layak sebagai tempat hidup orangutan tersebut.
Kasus-kasus konflik sebelumnya memperlihatkan betapa genting situasi ini. Pada pertengahan tahun lalu, seekor induk orangutan ditemukan mati dengan luka parah di bagian punggung akibat senjata tajam di kebun warga kawasan Riam Berasap—yang secara lanskap masih terhubung dengan lokasi temuan orangutan kali ini. Setahun sebelumnya, di Desa Sungai Pelang, seekor orangutan yang merasa terancam bahkan sempat bertindak agresif terhadap manusia, menyebabkan seorang warga luka cukup parah dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Menyadari pentingnya translokasi ini, tim gabungan bergerak ke lokasi sejak dini hari dan tiba sekitar pukul 04.30 WIB. Tim YIARI menggunakan senjata bius untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan, baik bagi satwa maupun petugas lapangan. Dosis bius dihitung secara cermat oleh dokter hewan YIARI berdasarkan ukuran dan perkiraan berat badan orangutan. Proses penembakan bius ini dilakukan oleh petugas yang memiliki izin resmi sesuai protokol penanganan satwa liar.
Setelah orangutan terbius dan jatuh ke jaring, tim medis langsung melakukan pemeriksaan fisik. Hasilnya menunjukkan bahwa orangutan dengan berat sekitar 60–65 kg ini memiliki luka lama di punggung tangan kiri yang sudah membentuk jaringan ikat, namun masih mengeluarkan sedikit nanah dan darah. Luka tersebut telah dibersihkan dan dilakukan flushing. Pemeriksaan gigi juga menunjukkan kerusakan seperti gigi fraktur, berlubang, dan ada yang hilang—kemungkinan akibat usia yang sudah tua. Meski demikian, kondisi umum orangutan dinyatakan cukup baik untuk kembali ke alam.
Usai pemeriksaan, tim langsung berangkat menuju kawasan Hutan Lindung Gunung Tarak untuk proses translokasi. Lokasi ini telah melalui survei kelayakan dan dinyatakan cocok sebagai habitat baru. Setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh jam, orangutan ini berhasil dilepasliarkan dengan bantuan masyarakat setempat yang turut mengantar hingga ke dalam hutan. Ketika dilepaskan, orangutan menunjukkan respons positif, langsung bergerak menjauh dan menunjukkan perilaku liar—pertanda kesiapan untuk kembali hidup bebas di alam.
Hutan Lindung Gunung Tarak dipilih sebagai lokasi pelepasliaran karena memiliki kondisi ekologi yang sangat mendukung kelangsungan hidup orangutan. Survei menunjukkan bahwa populasi orangutan di kawasan ini masih relatif rendah, sehingga kehadiran individu baru tidak akan menimbulkan kompetisi berlebih. Kawasan ini juga memiliki keanekaragaman hayati tinggi, termasuk pohon-pohon pakan alami yang melimpah. Hutan ini berada di bawah pengelolaan KPH Ketapang Selatan dan secara lanskap masih terhubung langsung dengan Taman Nasional Gunung Palung, salah satu habitat orangutan terpenting di Kalimantan.
Di dalam kawasan ini terdapat stasiun monitoring untuk mengamati perilaku orangutan dan menjaga kelestarian hutan. Tim YIARI bersama KPH Ketapang Selatan secara rutin melakukan pemantauan dari stasiun ini. Kombinasi habitat yang ideal, keterhubungan ekosistem, dan infrastruktur pemantauan menjadikan Hutan Lindung Gunung Tarak sebagai tempat yang tepat dan aman untuk menjadi rumah baru bagi orangutan hasil translokasi.
Ketua Umum YIARI, Silverius Oscar Unggul, menyampaikan bahwa pelepasliaran ini merupakan bukti nyata pentingnya kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga konservasi dalam menjaga kelangsungan hidup satwa liar, khususnya orangutan.
“Pelepasliaran ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga konservasi. Kami mengapresiasi keterlibatan aktif masyarakat yang membantu proses pelepasan hingga ke dalam kawasan hutan. Ini adalah langkah kecil yang membawa dampak besar bagi pelestarian hutan dan masa depan keanekaragaman hayati Indonesia,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kepala KPH Ketapang Selatan, Kuswadi, SP., menyatakan, “Terima kasih kepada BKSDA Kalimantan Barat, YIARI, dan masyarakat Dusun Sumber Priangan atas kolaborasi dan kepeduliannya dalam translokasi orangutan ke Hutan Lindung Gunung Tarak. Kami juga menghimbau seluruh lapisan masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung seluas ±21 ribu hektar ini untuk terus menjaga kelestariannya agar fungsi lindung sebagai sumber air, oksigen, plasma nutfah, dan habitat satwa langka tetap terjaga.”
Sementara itu, Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat, Murlan Dameria Pane, menegaskan bahwa translokasi ini merupakan bagian dari komitmen dalam merespons cepat setiap potensi konflik antara satwa liar dan manusia.
“Ini juga sejalan dengan upaya pelestarian keanekaragaman hayati di Kalimantan Barat. Kami mengajak semua pihak untuk terus menjaga habitat alami agar tidak ada lagi satwa yang kehilangan tempat hidupnya,” pungkasnya.