Tambang di Pulau Gelam Ancam Perempuan

  • Share
Lima (45) yang baru pulang mencari hasil tangkapan di Pulau Gelam/Victor Fidelis

INIBORNEO.COM, Pontianak – Kehangatan sinar Matahari yang masih merah menyapu langit pagi terasa seperti sapaan bagi Neka (40), seorang nelayan dari Pulau Cempedak, Desa Kendawangan Kiri, Kabupaten Ketapang. Meski malam masih menyelimuti, kokok ayam yang riuh membangunkannya dari tidurnya yang lelap, menggiringnya menuju rutinitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya.

Hari itu, dengan hati penuh keberanian dan tanggung jawab, Neka bersiap untuk bersama suaminya menjelajahi luasnya samudra, memburu rezeki di lautan yang memanggilnya. Dapur mereka menjadi pusat kegiatan sejak subuh, dengan aroma nasi hangat, ikan goreng garing, dan sambal cabe hijau yang menggugah selera, serta kopi siap saji yang tak pernah absen dalam setiap petualangan mereka.

“Kalau kita tak sempat sarapan nasi, cukup kopi saja,” ujar Neka, sambil menuangkan nasi ke dalam rantang di rumahnya di Pulau Cempedak, November 2023.

Sekitar pukul 05.30 WIB, Salmin, suami Neka, bangun bersama anak balitanya. Ia menyeruput segelas kopi sambil menghisap sebatang rokok, persiapan sebelum melangkah ke perahu mesin di dermaga kayu tidak jauh dari rumah. Perahu mesin, yang oleh masyarakat setempat disebut “lepeh”, telah diisi dengan bahan bakar solar.

Meski pagi itu Neka hanya menyiapkan bekal makanan, namun sebelumnya ia telah membuat pukat untuk menangkap ikan. Seperti kebiasaan perempuan nelayan di Pulau Cempedak, membuat pukat adalah rutinitas harian mereka.

Tujuan keluarga Salmin pada hari itu adalah Pulau Gelam, sekitar 15 mil ke arah selatan dari Pulau Cempedak. Perjalanan menggunakan lepeh membutuhkan sekitar dua jam untuk mencapai pulau tersebut.

Neka bersama keluarganya sedang dalam perjalanan ke Pulau Gelam untuk mencari hasil tangkapan/Victor Fidelis

Perairan di sekitar Pulau Gelam menjadi favorit para nelayan di Kecamatan Kendawangan karena melimpah dengan berbagai jenis ikan, seperti lobster, rajungan, baronang, bawal, dan lainnya. Namun, aktivitas tambang pasir kuarsa atau silika telah mengancam keberadaan pulau tersebut.

Neka sering menemani suaminya melaut, meskipun perjalanan ke Pulau Gelam memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar. Pendapatan dari hasil tangkapan ikan di sana cukup besar, meskipun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama berada di laut.

Pulau Gelam, meski tidak lagi dihuni secara permanen, masih menjadi tempat singgah sementara bagi sejumlah nelayan. Pondok-pondok kecil dibangun untuk bertahan selama beberapa hari di sana.

Marai (43), seorang nelayan perempuan, tinggal di sebuah pondok kecil di Pulau Gelam bersama keluarganya. Mereka telah menetap di sana selama sekitar sebulan.

Ketika dikunjungi pada November 2023, Marai sedang membersihkan puluhan renjong, atau ranjungan, hasil tangkapan mereka sehari sebelumnya. Renjong-renjong tersebut kemudian akan dikirim ke pusat kota di kecamatan Kendawangan.

Perempuan nelayan seperti Marai memiliki peran penting dalam menciptakan kesejahteraan keluarganya. Mereka tidak hanya membantu suami dalam pekerjaan, tetapi juga turut serta dalam mencari ikan.

Marai sedang membersihkan hasil tangkapan renjong, atau ranjungan, yang ia dapat di Pulau Gelam/Victor Fidelis

Sumia (50), nelayan perempuan lainnya, juga sering mencari ikan di sekitar Pulau Gelam. Mereka biasanya menginap di lepeh karena pondok di pulau tersebut banyak diserang nyamuk.

Selama berbulan-bulan, Sumia bersama suaminya menjelajahi perairan sekitar Pulau Gelam dan tempat-tempat lainnya, mencari ikan untuk menghidupi keluarga. Meskipun memiliki kenangan manis di pulau itu, Sumia menyadari bahwa kondisi sudah berubah sejak masa kecilnya.

Perjalanan ke pusat kota dulu memakan waktu seharian, bergantung pada angin dan cuaca. Tetapi meski kondisinya sulit, para nelayan seperti Sumia tetap bertahan dan bekerja di laut untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka.

Aktivitas Tambang

Tim investigasi pada November 2023, mengunjungi Pulau Gelam, Kabupaten Ketapang. Saat kami tiba di tepi pantai, beberapa bangunan kayu terlihat berdiri kokoh. Bangunan-bangunan itu adalah tempat tinggal sementara bagi para pekerja tambang yang sedang melakukan pengambilan sampel di pulau tersebut. Beberapa pekerja terlihat sibuk di pondok-pondok tersebut.

Di lokasi tersebut, terdapat sejumlah alat pengeboran yang terparkir di belakang pondok. Selang-selang panjang juga terpasang pada alat-alat tersebut.

Menurut pengakuan para nelayan, perusahaan tersebut sedang melakukan pengambilan sampel pasir kuarsa. “Saya bertanya kepada perusahaan, dan mereka mengambil sampel di beberapa lokasi,” ujar Hartono, seorang nelayan dari Pulau Cempedak, yang kami temui pada November 2023.

Hartono juga merupakan ketua Pokdarwis Cempedak Jaya Ketapang, yang berpusat di Pulau Cempedak, Kecamatan Kendawangan. Dia aktif melakukan patroli di sekitar perairan Pulau Cempedak dan sesekali di Pulau Gelam. Dia juga memantau aktivitas pengambilan sampel yang dilakukan oleh perusahaan di Pulau Gelam.

Suasana Pulau Cempedak/Victor Fidelis

Bagi para nelayan, Pulau Gelam sangat berharga. Pak Tono menjelaskan bahwa banyak nelayan yang menginap di sana terutama saat musim lobster dan rajungan. Mereka mencari rezeki dari hasil laut dan setiap hari ada yang mencari ikan di sana.

Informasi tentang aktivitas eksploitasi tambang di selatan Kalimantan Barat membuat para nelayan merasa khawatir. Yanti (37), seorang warga Pulau Cempedak, Desa Kendawangan Kiri, mengatakan bahwa dia khawatir pulau itu akan tenggelam jika tambang terus berlanjut. “Kalau pulau itu tenggelam, maka ikan-ikannya juga akan hilang,” ungkapnya.

Yanti tidak lagi mencari ikan karena harus menjaga anak balitanya. Namun, suami dan tiga anak laki-lakinya adalah nelayan. Mereka biasanya pergi ke Pulau Gelam sekali seminggu.

Meskipun tidak ikut pergi melaut, Yanti memegang peran penting dalam keluarganya. Dia membantu menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk berangkat ke laut, termasuk mempersiapkan makanan dan pukat. Dia juga membantu suaminya dalam mengolah hasil tangkapan ikan agar siap dijual.

Ekosistem yang masih baik di perairan sekitar Pulau Gelam menjadi sumber rezeki bagi warga setempat. Rabatin (60), seorang warga Desa Kendawangan Kanan, yang menetap sementara di Pulau Gelam bersama keluarganya, mengatakan bahwa masih banyak nelayan yang sering singgah di pulau tersebut.

Keluarga Rabatin tidak hanya menangkap dan mengolah ikan, tetapi juga membuat kapal. Suaminya, Doel Ahyar (63), sedang mengerjakan sebuah kapal motor berkapasitas lima gross ton ketika kami temui di Pulau Gelam pada awal November.

Tidak hanya nelayan, pedagang ikan di pesisir Kendawangan juga bergantung pada hasil tangkapan ikan dari Pulau Gelam. Yuningsih (43), seorang pedagang di Pasar Ayu Kecamatan Kendawangan, mengatakan bahwa perairan di Pulau Gelam adalah salah satu sumber ikan di pasar tersebut.

Penolakan Akan Tambang

Perairan yang mengelilingi Pulau Gelam telah diakui sebagai bagian dari zona inti konservasi, sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 91/KEPMEN-KP/2020 yang mengatur tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kendawangan serta perairan di sekitarnya. Dari dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Taman Pulau Kecil Kendangan yang dirilis oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kalbar, terungkap bahwa padang lamun di sekitar Pulau Gelam memiliki tutupan yang tergolong padat. Penetapan zona inti di perairan sekitar Pulau Gelam dilakukan untuk melakukan rehabilitasi dan menjaga ekosistem penting ini.

Tidak hanya padang lamun, tetapi Pulau Gelam juga memiliki mangrove, sebuah ekosistem yang sama pentingnya di lingkungan perairan. Mangrove ini berperan sebagai area pemijahan ikan dan juga sebagai penyedia nutrien bagi berbagai biota yang hidup di sekitarnya, termasuk kerang, ikan kecil, dan berbagai biota lainnya.

Kehadiran tambang di Pulau Gelam menimbulkan penolakan dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan pemerhati lingkungan dan konservasi. Setra Kusumardana, Program Director Yayasan Webe Konservasi Ketapang, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyampaikan nota protes terkait aktivitas eksplorasi tambang di pulau tersebut.

“Nota protes itu berisi mengapa kami menolak adanya kegiatan (aktivitas tambang). Dari Webe menyurati ke Dinas terkait, antara lain Dinas LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan),” terangnya.

Pihaknya menolak kegiatan penambangan di pulau kecil karena bertentangan dengan undang-undang pengelolaan pulau kecil. Melalui nota tersebut, pihaknya juga memaparkan potensi kerusakan yang akan diakibatkan dari aktivitas pertambangan tersebut. Utamanya, kerusakan yang mungkin terjadi pada ekosistem perairan sekitar pulau, satwa-satwa dilindungi seperti penyu dan dugong, hingga berkurangnya sumber daya laut yang menjadi tumpuan hidup nelayan.

“Kalau belajar dari penambangan kuarsa lainnya kerusakannya terjadi pada darat dan laut. Kerusakan penurunan ketinggian daratan, berkurangnya garis pantai. Kerusakan ekosistem terumbu karang dan lamun,” pungkasnya.

Perempuan Paling Terdampak

Perempuan, khususnya para nelayan, menjadi pihak yang paling rentan terdampak dari kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang pasir di sekitar perairan Pulau Gelam. Dampak yang ditimbulkan oleh tambang pasir kuarsa tidak hanya akan memberikan beban tambahan pada kaum perempuan di pesisir sekitar perairan Pulau Gelam, tetapi juga akan mengganggu ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Menurut Julia, seorang pemerhati isu perempuan dan politik lingkungan, kehadiran tambang pasir akan berdampak langsung pada pendapatan nelayan perempuan.

“Yang akan terjadi lebih kepada jumlah pendapatan yang dibawa oleh suami nelayan mereka, yang berdampak pada pendapatan rumah tangga,” katanya.

Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat bahwa setidaknya 48 persen pendapatan keluarga nelayan disumbangkan oleh perempuan nelayan. Perempuan nelayan juga berperan besar dalam rantai nilai ekonomi perikanan, mulai dari pra-produksi hingga pemasaran. Mereka terlibat dalam menyiapkan bekal melaut, mengolah hasil tangkapan, hingga menjualnya di pasar.

Suasana pasar ikan di Kendawangan yang didominasi oleh penjual perempuan/Victor Fidelis

Arniyanti, seorang pegiat sosial, menyoroti bahwa perempuan nelayan akan menghadapi beban ganda akibat aktivitas tambang.

“Perempuan, terlebih nelayan perempuan sudah punya beban ganda, yakni waktu kerja perempuan nelayan tidak hanya untuk kegiatan ekonomi tetapi juga non ekonomi alias kegiatan rumah tangga (domestik), sementara nelayan perempuan sebenarnya mampu berkontribusi lebih, tidak hanya pada ekonomi keluarga tetapi dengan banyaknya upaya penyelamatan lingkungan hidup,” paparnya.

Mereka harus mengatur strategi penghidupan dan keberlangsungan hidup rumah tangga mereka, sementara juga harus mengatasi dampak kerusakan lingkungan. Tambahan beban ini terjadi karena aktivitas tambang dapat mengurangi sumber penghidupan perempuan nelayan.

Apalagi, tambahnya, bila nelayan perempuan di sana bergantung dengan profesi saat ini, maka akan sulit sekali untuk mendapatkan alternatif pekerjaan lain saat wilayah tangkap mereka hilang. Hal ini selalu menjadi PR besar ketika sumber penghidupan telah rusak. Dampaknya juga bahwa pengetahuan yang mereka punya saat ini sudah tidak berarti lagi.

“Makanya saya selalu katakan, merusak alam adalah merusak tatanan kehidupan, merusak alam adalah merusak perempuan, sebab perempuan adalah pelestari kehidupan,” tuturnya.

Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh para nelayan perempuan di Pulau Cempedak. Juni mengungkapkan bahwa aktivitas tambang dapat mencemari laut dan mengurangi jumlah ikan.

“Kalau dibikin gitu (tambang di Gelam) pasti ikannya lepas, nanti susah cari ikan. Karena air limbahnya pasti (dikhawatirkan mencemari laut),” katanya,

Bila limbah mencemari laut, lanjut dia, tentunya akan mengurangi jumlah ikan dan berdampak pada pendapatan nelayan. Ikan yang sulit didapat akan membuat nelayan melaut lebih jauh lagi. Semakin jauh area tangkapan ikan, semakin besar pula ongkos yang harus dikeluarkan.

Lima (45) juga menyatakan bahwa sejak ada aktivitas tambang, lahan yang biasanya digunakan untuk bercocok tanam tidak lagi dimanfaatkan.

“Semenjak ada aktivitas tidak menanam lagi, tidak dirawat lagi,” imbuhnya.

Ia tak tahu persis dampak yang akan terjadi bila eksploitasi tambang dilakukan di Pulau Gelam, entah itu wilayah tangkapan yang nantinya menjadi terbatas, ataukah jumlah tangkapan yang berkurang. Intinya, ia berharap bisa mendapat banyak ikan seperti saat ini guna menghidupi keluarganya.

“Inginnya (di Gelam) tetap bisa menangkap ikan di sana,” ungkapnya.(***)

Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, Suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak.com, Mongabay Indonesia dan Projeck Multatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan WeBe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *