INIBORNEO.COM, Pontianak – Perjuangan buruh/pekerja di perkebunan sawit menghadapi tantangan besar. Tantangan utama yang mereka hadapi adalah sikap apatis dan arogan dari manajemen perusahaan. Pihak manajemen kerap memandang organisasi buruh atau serikat pekerja sebagai musuh, bukan sebagai mitra. Akibatnya, berbagai tuntutan pemenuhan hak yang disuarakan oleh serikat sering dianggap sebagai gangguan. Dampaknya, banyak pengurus serikat mengalami mutasi tanpa alasan yang jelas, yang kemudian berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dugaan Union Busting di Perusahaan Perkebunan Sawit Kalbar, Pemasok untuk Pasar Eropa
Pengurus dan anggota serikat buruh di PT Aditya Agroindo diduga menjadi korban praktik union busting. Mereka mengalami mutasi sepihak yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah memperjuangkan hak-hak normatif yang belum dipenuhi oleh perusahaan. Di antaranya adalah tidak adanya kepesertaan BPJS, status kerja yang tidak jelas meskipun telah bekerja lebih dari lima tahun, serta hak-hak buruh pensiunan dan almarhum yang diabaikan oleh manajemen.
Salah satu kasus terbaru menimpa Yustinus, pengurus serikat yang dimutasi tanpa kejelasan usai dimintai keterangan oleh Pengawas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalbar. Praktik mutasi sebagai kedok union busting ini dilaporkan telah dialami oleh seluruh pengurus serikat di perusahaan tersebut.
Bahkan, ada dugaan intimidasi terhadap buruh yang ingin bergabung ke dalam serikat. Informasi yang diterima menyebutkan bahwa seorang manajer perusahaan pernah menyatakan bahwa serikat buruh hanya diperuntukkan bagi pekerja harian lepas, dan bahwa pekerja tetap dilarang ikut serta. Bila tetap bergabung, mereka harus siap menerima risiko.
Kelalaian perusahaan dalam memenuhi hak-hak buruh telah membawa dampak serius. Salah satunya, meninggalnya anak dari seorang buruh akibat tidak memiliki akses terhadap layanan BPJS Kesehatan, karena orang tuanya tidak didaftarkan oleh perusahaan
PT Aditya Agroindo Group (KPU/DTK) diduga melakukan praktik kerja paksa terhadap buruh yang direkrut dari luar Kalimantan Barat. Para pekerja tersebut tidak didaftarkan ke dalam program BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Identitas pribadi mereka bahkan ditahan oleh pihak perusahaan, dan dalam beberapa kasus, ada yang dilaporkan hilang.
Buruh yang jatuh sakit tidak mendapatkan akses layanan kesehatan dari perusahaan. Salah satu kasus menyedihkan menimpa seorang buruh asal Lombok yang akhirnya harus kembali ke kampung halaman dalam kondisi sakit tanpa menerima bantuan biaya sedikit pun dari perusahaan.
Kejadian tragis juga dialami oleh seorang buruh perempuan berstatus Buruh Harian Lepas (BHL) yang telah bekerja lebih dari delapan tahun. Saat hendak melahirkan, ia tidak mendapatkan bantuan fasilitas kesehatan ataupun kendaraan dari perusahaan. Akibatnya, ia harus dibawa ke puskesmas besar menggunakan mobil sewaan. Tragisnya, bayi yang dikandungnya meninggal dunia saat tiba di rumah sakit, meskipun sang ibu berhasil diselamatkan.
Selain itu, buruh yang mengalami kecelakaan kerja pun tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dari perusahaan. Semua kasus ini telah diadvokasi oleh pengurus serikat pekerja. Namun, alih-alih menyelesaikan persoalan, manajemen justru merespons dengan melakukan mutasi terhadap para pengurus serikat yangmana merupakan sebuah pola tindakan yang kuat diduga sebagai bagian dari praktik union busting.
Dugaan praktik union busting tidak hanya terjadi di PT Aditya Agroindo Group (KPU/DTK). Anak perusahaan Gunas/ICASI Group yang beroperasi di Kabupaten Sanggau juga diduga melakukan hal serupa. Selain itu, di Kabupaten Ketapang, perusahaan PT MAS Group Mukti pun dilaporkan melakukan tindakan serupa terhadap pengurus serikat pekerja.
Di PT MAS, pengurus serikat mempertanyakan status ketenagakerjaan buruh keamanan (security), serta pelaksanaan aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di pabrik. Namun, alih-alih mendapat tanggapan yang solutif, para pengurus justru menerima surat teguran dari pihak manajemen.
Pengabaian berlarut-larut terhadap berbagai masalah yang disuarakan oleh serikat pekerja telah menimbulkan dampak serius. Banyak anggota serikat yang akhirnya menjadi apatis dan pasrah terhadap nasib mereka. Manajemen perusahaan diduga memainkan strategi psikologis untuk melemahkan semangat perjuangan para buruh dalam menuntut hak-haknya.
Padahal, hak-hak dasar pekerja sudah diatur dengan jelas dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta berbagai peraturan terkait lainnya.
Pelanggaran Union Busting
Praktik union busting merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Serikat pekerja seharusnya dipandang sebagai mitra kerja perusahaan, bukan sebagai ancaman atau musuh.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000, setiap orang dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk:
- Membentuk atau tidak membentuk serikat;
- Menjadi atau tidak menjadi pengurus;
- Menjadi atau tidak menjadi anggota; dan/atau
- Menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh,
Dengan cara:
a. Melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberhentian, penurunan jabatan, atau mutasi;
b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apa pun;
d. Melakukan kampanye anti-pembentukan serikat pekerja/buruh.
Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000, yang menyatakan:
“Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”
Jika indikasi union busting benar terjadi, maka ini adalah situasi yang sangat memprihatinkan, terutama dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kebebasan berserikat dan berkumpul adalah hak konstitusional yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, segala bentuk upaya untuk menghalangi kebebasan berserikat adalah pelanggaran terhadap konstitusi dan prinsip-prinsip negara hukum.
Dampak Union Busting
Union busting tidak hanya membuat pekerja atau buruh menjadi apatis dan pasrah terhadap nasib mereka, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tetapi juga berdampak serius pada terpenuhinya hak-hak buruh serta upaya perbaikan menuju perkebunan sawit yang berkelanjutan.
Ketika hak-hak pekerja tidak terpenuhi, dampaknya akan dirasakan hingga ke keluarga mereka. Hal ini meliputi menurunnya kesehatan keluarga, kekurangan gizi pada anak-anak, tidak adanya jaminan kehidupan yang lebih baik di masa depan, bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan kematian. Kemiskinan semakin bertambah karena pekerja tidak mendapatkan perlindungan atau jaminan apapun saat pensiun, meninggal dunia, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Kalimantan Barat mematuhi hak-hak asasi pekerja dan keluarganya. Investasi memang penting untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi bukan berarti hak-hak pekerja dapat diabaikan atau tidak dilindungi.
Perlu diingat, hampir 80 persen pekerja di sektor perkebunan sawit yang diklaim perusahaan berasal dari masyarakat adat atau lokal, sedangkan sisanya didatangkan dari luar daerah. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah provinsi serta kabupaten/kota bersikap tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Jangan sampai ada korban meninggal lagi seperti yang pernah terjadi.
Pemerintah juga perlu segera menerbitkan undang-undang (UU) dan peraturan daerah yang secara khusus melindungi dan memenuhi hak-hak pekerja di perkebunan sawit di Kalimantan Barat. Dengan adanya UU dan peraturan tersebut, pekerja dan perusahaan akan mendapat payung hukum yang jelas, sekaligus membantu pemerintah dalam mengawasi dan menegakkan perlindungan.
Selain itu, UU dan peraturan daerah juga dapat mendukung upaya perlindungan lingkungan, terutama terkait perubahan iklim yang sudah dirasakan oleh pekerja. Perlindungan terhadap areal berhutan, daerah tangkapan air, dan gambut sangat penting untuk keberlanjutan sektor ini.
Tanpa UU dan peraturan yang kuat, pekerja akan terus mendapat tekanan dari manajemen untuk produksi tanpa batas, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan dan keberlanjutan jangka panjang.
Oleh: Bung Tomo