BPKP: Kepala Daerah Bisa Dicopot Kalau Cuma Formalitas Jalankan PSN

  • Share

INIBORNEO.COM, Pontianak – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menilai penerapan manajemen risiko di banyak pemerintah daerah masih sebatas formalitas. Sistem yang mestinya menjadi fondasi tata kelola pemerintahan justru sering berhenti di tataran dokumen administratif, tanpa benar-benar diterapkan dalam substansi kebijakan.

“Manajemen risiko kita masih formalistik. Tantangan kami adalah bagaimana mengubahnya menjadi sesuatu yang benar-benar substantif. Kalau itu bisa dilakukan, pasti rakyatnya akan lebih sejahtera,” ujar Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Barat, Rudy M. Harahap.

BPKP kini mendorong agar kepala daerah memahami bahwa pengelolaan risiko bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif, melainkan bagian penting dari kinerja dan tanggung jawab terhadap program strategis nasional (PSN).

Masalah utama, kata dia, terletak pada rendahnya kesadaran kepala daerah terhadap pentingnya manajemen risiko. Hal ini dipengaruhi oleh beragam latar belakang pimpinan daerah di Indonesia.

“Kepala daerah kita beragam. Ada yang dari birokrat, ada dari kalangan umum, bahkan ada juga yang dulunya sekolah Paket C. Jadi kita memang harus memberikan informasi tentang konsekuensinya,” katanya.

Menurutnya, orang Indonesia baru akan punya kesadaran jika diberi tahu konsekuensinya. Karena itu, BPKP menekankan bahwa pelaksanaan program strategis nasional memiliki dasar hukum yang kuat dan bersanksi tegas.

Kewajiban itu tertuang dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa kepala daerah wajib memegang teguh dan mengamalkan Pancasila serta UUD 1945, menjaga keutuhan NKRI, menaati peraturan perundang-undangan, menjaga etika dan norma pemerintahan, melaksanakan program strategis nasional, serta menjalin kerja sama dengan instansi vertikal dan perangkat daerah.
Sementara itu, Pasal 68 dari undang-undang yang sama menjelaskan konsekuensi dan sanksi bagi kepala daerah yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut.

Dulu, tambah Rudy, banyak yang menganggap kepala daerah tidak mungkin diberhentikan karena tidak perform. Biasanya kepala daerah diberhentikan hanya karena desakan massa atau masalah politik. Namun paradigma itu kini berubah.

“Kita tidak bisa lagi berasumsi seperti dulu. Tidak mungkin diberhentikan karena tidak perform? Sekarang bisa. Sudah ada contohnya, satu bupati diberhentikan karena tidak menjalankan program strategis nasional,” ungkapnya.

Ia menilai perubahan kebijakan pemerintah pusat ini menunjukkan keseriusan untuk menegakkan disiplin kinerja. Kepala daerah yang lalai menjalankan PSN berisiko kehilangan jabatan, bukan hanya reputasi.

Sambas dan Kubu Raya Jadi Contoh Aktif

Di Kalimantan Barat, beberapa daerah sudah mulai aktif berkoordinasi dengan BPKP dalam mendukung PSN. Salah satunya Kabupaten Sambas, yang memiliki banyak program strategis nasional dengan dukungan anggaran besar dari pusat.

“Sambas sering jadi lokus karena programnya banyak dan anggarannya besar. Setelah PSN dijalankan, kesadaran kepala daerahnya meningkat,” ujarnya.

Sementara di Kabupaten Kubu Raya, langkah proaktif justru datang dari bupatinya sendiri. Daerah itu menjadi yang tercepat melaksanakan Program Koperasi Merah Putih, sehingga ditetapkan sebagai lokasi peresmian pertama.

“Persaingan positif antar kepala daerah seperti ini yang kami harapkan,” tambahnya.

BPKP berharap, dengan adanya aturan tegas dalam Pasal 68 dan contoh nyata kepala daerah yang diberhentikan karena tak perform, kesadaran itu bisa tumbuh secara lebih sistematis. Kesadaran bukan hanya karena takut sanksi, tetapi karena memahami pentingnya menjalankan program nasional bagi kesejahteraan masyarakat.

“Kalau kesadaran itu sudah tumbuh, manajemen risiko tidak akan lagi jadi formalitas. Dia akan hidup dalam kebijakan dan tindakan,” tutupnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *