INIBORNEO.COM, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam mendukung transisi menuju pembangunan hijau dan penanggulangan perubahan iklim global. Hal itu ia sampaikan saat menghadiri Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.
“Kita telah mendapatkan dukungan pendanaan dari berbagai sumber, dan dana ini akan dimanfaatkan untuk mewujudkan pembangunan hijau, termasuk kegiatan pelestarian lingkungan dan menghadapi perubahan iklim di Kalimantan Barat,” ujar Ria Norsan.
Meskipun belum memiliki program khusus yang eksplisit, Norsan menyatakan bahwa arah kebijakan Kalbar akan difokuskan pada kegiatan penghijauan dan perlindungan lingkungan, yang menjadi bagian integral dari upaya mitigasi dampak krisis iklim.
Global Boiling: Bukan Lagi Wacana, Tapi Ancaman Nyata
Konferensi ini mengangkat tema “Menapak Paradigma Baru: Inovasi dan Integritas untuk Pendanaan Hijau yang Transformatif” dan dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional, termasuk Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya, dan perwakilan Bappenas.
Wamen LH Diaz Hendropriyono mengungkapkan fakta mengejutkan: tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, menurut data Climate Central. Ia menyebut fenomena ini bukan lagi sekadar “global warming”, melainkan telah bergeser menjadi “global boiling”.
“Panas ini bukan alami. Jika suhu bumi naik 1,5 derajat, es kutub mencair. Naik 2 derajat, musim panas tanpa es akan jadi kenyataan dalam 10 tahun. Dampaknya bisa naikkan permukaan laut hingga 7 meter,” ujarnya tegas.
Diaz juga menekankan bahwa pengelolaan sampah adalah kontributor besar terhadap emisi karbon. Satu ton sampah bisa menghasilkan 1,7 ton CO₂. Secara nasional, Indonesia menghasilkan hingga 1,7 miliar ton sampah per tahun yang mana menjadi tantangan besar dalam konteks mitigasi emisi.
Kepemimpinan Hijau dan Urgensi Ekonomi Berbasis Lingkungan
Pemerintah Indonesia sendiri telah merevisi target Net Zero Emission (NZE) dari 2060 menjadi 2050. Komitmen terbaru ini, tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2031–2035, diperkirakan membutuhkan pendanaan hingga Rp4.000 triliun hingga tahun 2030.
Perwakilan Bappenas menegaskan bahwa target ambisius ini mustahil tercapai jika pembangunan masih memakai pola lama. “Kita perlu meninggalkan business as usual dan menyelaraskan semua kebijakan dengan prinsip ekonomi hijau.”
Wamendagri Bima Arya menambahkan bahwa perubahan iklim bukan lagi isu aktivis atau wacana akademik, melainkan krisis nyata yang mengancam masa depan Indonesia.
“Selamat tinggal global warming, selamat datang global boiling,” ucapnya dalam pernyataan tegas.
Ia juga menyoroti pentingnya peran kepala daerah dan DPRD dalam membentuk green leadership. Menurutnya, upaya mengatasi krisis iklim memerlukan kebijakan nyata dan reformasi pengelolaan fiskal di daerah.
“Tugas kita bukan sekadar buat CFD atau matikan lampu. Kita harus mengubah perilaku dari hulu ke hilir, berkolaborasi dengan swasta, memperkuat ruang hijau, dan membangun ekosistem kepemimpinan hijau,” tutupnya.