INIBORNEO.COM, PONTIANAK – Pengadilan Negeri (PN) Pontianak pada Selasa 18 Februari 2025, kembali menggelar sidang praperadilan yang diajukan tiga tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah Bank Kalbar, yakni SDM, SI, dan MI.
Dalam sidang putusan tersebut, hakim tunggal Dicky Ramdhani menolak permohonan praperadilan para tersangka dengan alasan bahwa penetapan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat telah sesuai prosedur dan didukung alat bukti yang cukup. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa penyidik Kejati Kalbar telah memiliki bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Selain itu, hakim menegaskan bahwa prosedur penyidikan telah dilakukan sesuai hukum acara yang berlaku, sehingga keberatan para pemohon terkait dugaan cacat formil dinyatakan tidak berdasar. Dengan demikian, status tersangka tetap berlaku, dan penyidikan kasus dugaan korupsi ini dapat terus dilanjutkan.
Menanggapi putusan ini, Kasi Penkum Kejati Kalbar menyatakan bahwa jaksa telah membuktikan dalam persidangan bahwa setiap langkah penyidikan telah sesuai dengan prosedur hukum.
“Penolakan praperadilan ini semakin memperkuat posisi kejaksaan dalam melanjutkan proses hukum terhadap para tersangka,” ungkapnya.
Namun, sidang ini menyisakan sejumlah kejanggalan yang disoroti oleh kuasa hukum pemohon, Herawan Utoro. Ia menyoroti adanya pertimbangan hakim dalam putusan yang memasukkan putusan praperadilan tersangka lain, yaitu PAM, yang sebenarnya tidak diajukan dalam gugatan kali ini.
Selain itu, dalam persidangan, hakim tidak mampu memberikan penjelasan yang jelas terkait dasar penyidikan yang dilakukan Kejati Kalbar. Ketika ditanya oleh Herawan mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan kliennya, dasar penetapan tersangka, serta kerugian negara yang ditimbulkan, hakim tetap bungkam dan tidak memberikan jawaban.
“Kita tidak mengerti, pengadilan melalui hakim praperadilan ini mengerti tidak?” ujar Herawan dengan nada kecewa.
Menurut Herawan, jika hakim menyatakan penyidikan yang dilakukan Kejati Kalbar sah dan sesuai prosedur, maka seharusnya hakim mampu menjelaskan dasar penyidikan tersebut secara rinci.
“Yang kita tanyakan itu perbuatan melawan hukum apa yang dilakukan klien kami sampai ditetapkan tersangka. Ini bukan pokok perkara, tapi dasar penyidikan. Namun hakim dan jaksa sama-sama tidak mampu menjelaskan itu,” tegasnya.
Herawan juga mengkritisi bahwa putusan hakim praperadilan kali ini hanya berfokus pada jumlah bukti dan pemeriksaan saksi tanpa melakukan analisis lebih dalam terhadap materi bukti yang diajukan.
Menurutnya, hakim hanya mempertimbangkan jumlah saksi dan ahli yang diperiksa, yaitu sebanyak 13 orang, tanpa mengevaluasi isi dari berita acara pemeriksaan (BAP) tersebut. Ia menilai bahwa putusan ini tidak disertai dengan pertimbangan yang memuat alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa dalam putusan tersebut tidak ada pertimbangan mengenai adanya peristiwa pidana korupsi dalam pengadaan tanah yang ditemukan oleh jaksa penyidik.
Selanjutnya ketidakjelasan perbuatan atau keterlibatan SDM, SI, dan MI dalam pengadaan tanah hingga ditetapkan sebagai tersangka.
Serta tidak terjawabnya bentuk perbuatan melawan hukum, seperti pelanggaran SOP, adanya mufakat jahat, serta dugaan mark-up harga tanah yang menyebabkan kelebihan pembayaran lebih dari Rp30 miliar.
Dengan berbagai kejanggalan tersebut, Herawan menilai bahwa putusan praperadilan ini tidak didasarkan pada fakta-fakta dari bukti yang diajukan jaksa penyidik, melainkan hanya pada jumlah pemeriksaan saksi dan ahli tanpa analisis mendalam.
Putusan ini semakin mempertegas bahwa proses hukum terhadap tiga tersangka tetap berlanjut, meskipun pihak kuasa hukum menilai ada banyak hal yang belum terungkap secara transparan dalam persidangan.