INIBORNEO.COM, Sambas – Sebagai industri yang berbasis pengelolaan lahan, sawit mempunyai banyak permasalahan dalam pengolahan berkelanjutan. Dibutuhkan sebuah transformasi untuk menemukan titik temu terkait transisi yang adil agar kepentingan lingkungan dan sosial terakomodir di dalam industri tersebut.
“Buruh merupakan salah satu komponen penting dalam industri sawit, dengan adanya acara ini harapannya dapat menyelesaikan masalah hubungan industrial antara buruh dan perusahaan, semoga hasil dari konferensi ini memberikan masukan solusi masalah-masalah pada industri perkebunan sawit untuk Sambas dan Indonesia,” ungkap Sekretaris Daerah Kabupaten Sambas, Fery Madagaskar, saat memberikan sambutan sekaligus secara resmi membuka agenda konferensi internasional ‘Just Transition in the Palm Oil Industry’, 28 November 2023.
Kegiatan ini akan dilaksanakan selama dua hari dan dihadiri berbagai pihak dari akar rumput yang terhubung dengan industri sawit seperti diantaranya buruh, serikat buruh, masyarakat lokal, masyarakat adat, petani kecil, kelompok lingkungan dan aktivis agraria, kelompok feminis, dan lain sebagainya dari dalam maupun luar negeri.
Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch menambahkan, transisi yang adil pasti mendiskusikan kondisi yang belum adil. “Kita tidak hanya bicara upah layak, tidak hanya bicara konflik agraria. Dua hari ini adalah hari yang penting dan bersejarah,” katanya.
Rambo, demikian akrab disapa, mengatakan, dalam konferensi ini akan didiskusikan soal seperti apa transisi yang adil di industri perkebunan sawit, dengan konteks kekinian yang terjadi. Akan ditentukan pula apa langkah yang dilakukan bersama untuk mengarah ke transisi tersebut melalui gerakan bersama.
“Pesatnya perkembangan perkebunan sawit memang memberikan keuntungan yang sangat besar bagi sebagian orang, tetapi di sisi lain ‘keuntungan besar’ itu tidak terlihat dalam realitas kehidupan buruh,” ungkap Rizal Assalam dari Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS).
Tak hanya isu tenaga kerja, terjadi pula konflik agraria akibat kehadiran perkebunan sawit dan kehancuran alam yang diakibatkannya. Lebih lanjut Rizal menyampaikan kondisi buruk yang diakibatkan industri sawit menjadi isu besar yang harus dikerjakan oleh gerakan bersama buruh, petani, kaum perempuan, dan masyarakat adat.
Tina Goethe, HEKS/EPER sebuah organisasi yang berbasis di Swiss, mengatakan, dibutuhkan transformasi industri ini dari aspek sosial dan ekologi. Sama halnya dengan TPOLS, Tina mengatakan transformasi tersebut harus dibangun dari perspektif buruh, perempuan dan komunitas adat.
Transisi yang berkeadilan memiliki tujuan transformasi sosial-ekologis yang berfokus pada kebutuhan manusia dalam ekonomi nol karbon dengan memperhatikan makhluk hidup lainnya. Melalui rangkaian kegiatan dalam konferensi ini, diharapkan dapat mendalami pemahaman soal konsep transisi yang adil serta dapat melahirkan perspektif-perspektif mengenai bagaimana transisi yang berkeadilan dalam sektor industri sawit dapat terwujud.(*)