Indikasi Penanaman Sawit Baru oleh Korporasi Pada Area Bekas Kebakaran Lahan di Kalimantan

  • Share
Kebakaran lahan yang belakangan ditanami sawit. Foto: Aseanty Pahlevi

INIBORNEO.COM, Pontianak – Komitmen no deforestation, no peat, and no exploitation (NDPE) yang menjadi mandat dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan belum sepenuhnya dijalankan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran komitmen tersebut belum mendapatkan sanksi yang memberikan efek jera sehingga benar-benar dipatuhi.

Padahal, pemerintah mengeluarkan payung hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Aturan ini yang dikenal sebagai Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO, mengeluarkan sertifikasi bagi perusahaan yang dinyatakan telah memenuhi prinsip dan kaidah berkelanjutan dalam operasionalnya.

Sertifikasi ISPO menjadi kewajiban bagi seluruh pelaku usaha industri sawit, yang di dalamnya terdapat prinsip dan kaidah berkelanjutan. Pada tingkat internasional, terdapat sertifikasi  Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO merupakan asosiasi yang berupaya mendudukkan para stakeholder atau pemangku kepentingan dalam satu wadah sama. 

“Pada tataran ideal dalam perkebunan kelapa sawit berkelanjutan harus mengelola dengan praktek-praktek ramah lingkungan. Dari beberapa contoh NDPE, yang juga harus menjadi perhatian adalah bagaimana komitmen perusahaan tidak melakukan penanaman di kawasan yang pernah terbakar, baik di areal konsesi maupun milik petani mandiri,” ujar Direktur Yayasan Earthqualizer, Adriani.

Namun, ternyata masih menemukan adanya pelanggaran terhadap standar ini. Kebakaran hutan yang terjadi hingga tahun 2019 lalu membuktikan banyak kawasan terbakar di konsesi kebun sawit. “Beberapa perusahaan tersebut padahal sudah mengantongi sertifikasi RSPO dan ISPO. Tim mengambil contoh empat perusahaan di Kalimantan. Namun, ternyata praktik ini juga dilakukan oleh korporasi di luar Indonesia. Dua perusahaan di Malaysia juga terindikasi hal yang sama. 

Khusus untuk perusahaan di Kalimantan, terdapat dua korporasi yang terletak di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Dua daerah ini merupakan kawasan penyumbang angka kebakaran lahan terbesar di pulau tersebut. 

Perusahaan tersebut antara lain; Koperasi LKA yang terletak di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, PT KS yang terletak Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah.

Earthqualizer juga mendapati sekitar 20 ribu-an hektar yang terindikasi perusahaan tersebut sengaja melakukan aktifitas pembukaan lahan diareal bekas terbakar serta areal yang dibersihkan sejak 2016 sampai 2018 kemudian terjadi kebakaran pada Tahun 2019 atau 2020.

Pada kasus Koperasi LKA, di Desa Pelang, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, kebakaran lahan mulai terjadi pada bulan September Tahun 2019 seluas 246 hektare. Lalu, pada tahun 2021 terlihat areal tersebut sudah ditanami (lingkaran merah). Tim Mongabay Indonesia pun telah melakukan pengecekan ke lapangan terkait informasi ini. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali, dalam dua tahun yang berbeda. (insert foto2 koperasi LKA)

Di lokasi ini, sejak tahun 2018 hingga 2021 setiap tahunnya terjadi kebakaran lahan. Kebakaran terhebat terjadi tahun 2019 yang menyebabkan ratusan hektar lahan terbakar. Beberapa warga mendapatkan sanksi pidana terkait dengan kebakaran lahan ini. Desa Pelang sendiri terletak di kawasan bergambut. (lihat peta gambut)

Kasus kedua terletak di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, yang dilakukan oleh PT KS. Perusahaan ini sebelumnya telah oleh pengadilan telah mendapat sanksi membayar ganti rugi Rp 175,18 miliar dan memulihkan lahan terbakar itu.

Sanksi dijatuhkan melalui setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun menetapkan PT KS bertanggung jawab mutlak atas peristiwa kebakaran lahan seluas 3.000 ha yang berada di dalam konsesi PT KS, di Desa Sei Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. 

Lokasi penanaman lahan bekas kebakaran di areal konsesi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan

Dari pengamatan satelit, kawasan ini mulai terjadi kebakaran lahan dari bulan Agustus sampai September 2019 seluas 4,017 hektar. Pada tahun 2021 terlihat perusahaan tersebut membuat kanal dan membersihkan lahan yang sebelumnya terbakar. Areal yang terbakar ditunjukan pada polyon merah pada gambar disamping kanan. Warna orange pada polygon sebelab kanan menunjukkan batas konsesi kadastral PT KS. (insert gambar PT KS).

Kasus selanjutnya, dapat dilihat di Kalimantan Tengah. Pengamatan satelit pada PT PEAK, (MSAL Group), terjadi kebakaran di bulan September 2019 seluas 125 Ha. Pada Tahun 2021 terlihat areal tersebut sudah ditanami (lingkaran merah). (Insert gambar PT PEAK)

Di Kalimantan Selatan pun terjadi hal yang sama. PT TAL (GL Berhad), di Barito Kuala, terlihat kebakaran di lahan perusahaan pada  bulan September 2018 seluas 289 hektar. Bisa dilihat areal yang bekas terbakar dan nampak api kecil pada lingkaran merah. Pada Tahun 2020 terlihat areal tersebut sudah ditanami (lingkaran merah). (insert gambar PT TAL)

Modus operandi yang sama juga ditemukan di daerah Sumatera Selatan, pada perusahaan PT SUJ. Perusahaan yang berada di Ogan Komering Ilir ,Sumatra Selatan terjadi kebakaran di bulan September sampai November 2019 seluas 870 Ha. Pada Tahun 2021 terlihat areal tersebut sudah ditanami (lingkaran merah). (insert gambar PT SUJ).

Dari hasil analisis, perusahaan-perusahaan itu telah melakukan penanaman sawit baru pada areal bekas kebakaran lahan di perusahaan mereka. Hal ini tentunya bertentangan dengan komitmen NDPE, belum lagi perusahaan-perusahaan tersebut ada yang berada di kawasan gambut. 

“Dari semua perusahaan yang telah dianilisis, semua merupakan areal garapan gambut. Contohnya pada lahan koperasi, sebelumnya merupakan hutan gambut, termasuk perusahaan yang telah dijatuhi hukuman di Kalteng itu, itu areal bergambut dan belum pernah ditanami,” ujarnya. Adriani tidak menyangkal jika di kawasan tersebut ada pula tanaman milik perusahaan yang terbakar, namun luasan areal yang terbakar relatif kecil. “Perusahaan-perusahaan baru beroperasi di areal tersebut.”

Dia menambahkan, terlepas dari siapa yang melakukan pembakaran terhadap lahan-lahan tersebut, temuan di lapangan menandakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut melanggar aturan Kementerian LHK yang menyatakan bahwa pemegang konsesi dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan di areal kerja bekas terbakar.

Sepanjang tahun 2016 – 2021, tercatat 2,6 juta hektare  lahan terbakar di Indonesia. Sekitar 308,053 hektare atau 12 persen dari area kebakaran yang dipetakan berada di konsesi kelapa sawit. Bahkan, karhutla terburuk terjadi pada tahun 2019 seluas 1,4 juta hektare. (data karhutla)

Namun, banyak kasus karhutla tidak terselesaikan dengan tuntas. Bahkan dari 258 sanksi administratif yang diberikan, terdapat 51 tuntutan pidana dan 21 gugatan perdata. 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi. (carikan data kasus Karhutla oleh KLHK)

Lahan terbakar yang terjadi di areal perusahaan perkebunan sawit ini akan menjadi tanggung jawab kelompok brand/retailer/financier/buyer yang mempunyai komitmen NDPE serta isu pemulihan lahan areal terbakar, kata Adri.

Pelaksanaan Pemerintah Lemah

Chain Reaction Research, mengeluarkan analisis pada bulan April 2020, mengenai kebijakan NDPE pada pabrik sawit dan pelaksanaannya. CRR menyebutkan, per tahun 2020, hampir semua perusahaan besar yang terlibat dalam rantai pasokan minyak sawit global telah berkomitmen pada nol NDPE.  Perusahaan besar tersebut termasuk perusahaan perkebunan, perusahaan dagang, perusahaan barang konsumen, dan lembaga keuangan. 

Dalam Kebijakan NDPE mencakup komitmen pada hal-hal sebagai berikut: Persetujuan atas Dasar Informasi Awal tanpa Paksaan atau Free Prior and Informed Consent (FPIC) bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, nol pembakaran lahan, sistem ketenaga kerjaan yang baik; dan pelestarian areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT), areal Stok Karbon Tinggi (SKT) dan konservasi lahan gambut. 

Temuan CRR, per bulan April 2020, kebijakan NDPE mencakup 83 persen kapasitas pengolahan minyak kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, di bulan November 2017, persentasenya hanya sebesar 74 persen. Peningkatan ini sebagai akibat dari enam grup perusahaan berkapasitas pengolahan besar yang menerapkan kebijakan NDPE.

“Oleh karena pelaksanaan yang lemah, efektivitas cakupan NDPE berkurang menjadi 78 persen. Delapan dari dua puluh lima penyulingan terbesar di Indonesia dan Malaysia masih menjadi bagian dari pasar ‘leakage’ atau merembes ke pasar tak resmi,” tulis CRR.

CRR menemukan lima perusahaan pengolahan paling besar yang masih bermain di leakage

market di Indonesia dan Malaysia. “Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Indonesia menawarkan jalan keluar bagi perusahaan pengolahan leakage lokal untuk lolos dari persyaratan pasar NDPE melalui pasar biosolar.”

CRR menyimpulkan bahwa kebijakan NDPE, bersama dengan tindakan pemerintah dan rendahnya

harga minyak kelapa sawit, telah menyebabkan laju deforestasi terkait perkebunan kelapa sawit menjadi lebih rendah. 

Komitmen NDPE setelah 2020 ini adalah kebijakan utk perbaikan tatakelola penggunaan lahan

(sawit) pasca Undang-Undang Cipta Kerja sangat menentukan keberhasilan NDPE. Termasuk pula penyelesaian masalah kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan, serta penerapan kemudahan pelacakan untuk transparansi rantai pasok sawit.

Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat, Munsif, menanggapi temuan ini menyatakan, dinasnya tidak dalam kapasitas untuk penanganan kebakaran lahan pada kebun. “Ranah perkebunan hanya pada proses mitigasi/pencegahan karhutla,” katanya.

Mitigasi atau pencegahan yang dilaksanakan diantaranya;menyampaikan surat peringatan/waspada karhutla ke dinas yang membidangi perkebunan di seluruh kabupaten-kota; termasuk pula memantau informasi data hotspot. Apabila hotspot terindikasi di areal konsesi maka akan dimintai diklarifikasi melalui surat dan dilakukan groundchek.

Bentuk pelaksanan mitigasi juga dilaksanakan dalma bentuk pertemuan mitigasi dalm rangka pencegahan yg melibatkan instansi terkait, perusahaan perkebunan sawit dan NGO. Dinas Perkebunan Kalimantan Barat juga telah melakukan evaluasi dan monitoring ketaatan perusahaan sawit dlm memenuhi kelengkapan sarpras kebakaran sesuai permentan no 5 tahun 2018.

“Fokus ke evaluasi di ketersediaan dan kelengkapan sarana prasarananya, dan memberikan pembinaan atau imbauan untuk melengkapi Sarpras dalam rangka mitigasi,” tambahnya.

Putuskan Rantai Pasok

Pada tahun 2019 lalu, Greenpeace juga telah menyerukan agar perusahaan-perusahaan ternama memutuskan hubungan dengan semua pedagang dan kelompok pemasok yang lahannya terbakar atau ditanami di areal bekas terbakar.

Grup-grup produsen minyak kelapa sawit yang diidentifikasi oleh Greenpeace secara kolektif bertanggung jawab atas kebakaran gambut yang menghanguskan 68.300 hektare lahan pada 2015-2018. Akumulasi emisi selama empat tahun itu mencapai sekitar 63 Megaton CO2 atau setara dengan 28 persen emisi 2015 untuk seluruh sektor energi Indonesia.

Greenpeace mendesak agar perusahaan-perusahaan itu hanya mengambil pasokan kepada kelompok produsen yang tidak terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, deforestasi, dan perusakan ekosistem lainnya. 

Direktur Eksekutif Siar Kalimantan Barat, Erlangga RA, menambahkan, pelacakan rantai pasok kelapa sawit merupakan salah satu upaya lain dalam memastikan pengelolaan perkebunan sawit yang berkelanjutan. “Dengan mengetahui rantai pasok dari kebuh hingga ke pabrik dan pihak yang membeli produk, maka dapat terlihat serta memudahkan pengawasan untuk memastikan tandan buah segar tersebut legal dan tidak mempunyai konflik lingkungan dan sosial,” ujar Erlangga.

Erlangga mengungkapkan dua mekanisme dalam memungut sawit dari kebun. Dengan Skema pertama tergolong mudah dilacak, di mana perusahaan memanen kelapa dari kebun inti dan kebun plasma mitra perusahaan. Sementara itu mekanisme kedua cukup bermasalah karena melibatkan pihak ketiga (sering disebut pengepul atau tengkulak). Di sini, perusahaan membeli dari kebun swadaya milik petani kecil dan sumber lainnya, namun dipasok oleh tengkulak. 

Melacak sumber kelapa sawit melalui perantara tidaklah mudah. Di lapangan, seringkali pengepul mencampur tandan buah segar dari berbagai sumber sebelum dibawa ke pabrik. Selain itu, mekanisme pemanenan TBS ini juga sulit dilacak karena sebagian besar aktivitas jual-beli antara pengepul dan petani tidak tercatat.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *