PONTIANAK – Sejumlah kabupaten di Kalimantan Barat (Kalbar) yang belum memiliki peraturan daerah (perda) terkait Masyarakat Hukum Adat (MHA). Padahal, berdasarkan penerbitan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-X/2012 telah menjadi tonggak penting bagi Masyarakat Hutan Adat (MHA) dalam mewujudkan kedaulatan kedaulatan atas wilayah adat dan hutan adatanya.
“Putusan MK tersebut menandaskan bahwa keberadaan masyarakat adat tidak bisa dipisahkan dari wilayah (hutan) adatnya. Dengan demikian, Putusan MK ini penting sekaligus memberikan peluang maupun ruang bagi proses penetapan dan perlindungan hak-hak MHA,” ungkap Agustinus Agus, Ketua Koalisi HAK Kalbar.
Saat ini setidaknya ada empat kabupaten yang telah memiliki perda hutan adat, diantaranya Kabupaten Landak, Sanggau, Sintang dan Melawi. Sedangkan yang belum yaitu Kabupaten Pontianak, Sambas, Bengkayang, Kapuas Hulu, Ketapang dan Kayong Utara.
Mengacu pada putusan MK tersebut, menurut Agus penetapan hutan adat dalam wilayah MHA penting dan mendesak untuk segera diwujudkan untuk penguatan maupun pengakuan keberadaan MHA di Kalbar.
Adapun target penetapan hutan adat di Kalbar, kata Agustinus, seluas 656.340,17 hektar pada tahun 2018-2022 yang tersebar di 9 daerah kabupaten. Dengan urgensi penetapan hutan adat dalam wilayah MHA didasari argumen yang terdiri dari tiga hal.
“Yakni, penyelematan MHA, sebab keberadaanya yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah hutan adatnya. MHA memiliki banyak pengetahuan dan praktik-praktik sosial budaya, religi, dan kebutuhan makan-minum yang sangat tergantung dengan keberlanjutan ekologis dalam wilayah adatnya,” katanya.
Kemudian, lanjut dia, Kalbar seluas 1,6 juta hektar wilayah adat telah dipetakan, di mana masih banyak pemukiman MHA berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pada satu sisi, keberadaan Industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan mengancam keberlanjutan sumber daya hutan sebagai ekosistem kompleks tempat kehidupan MHA bergantung.
“Ketiga rentannya MHA menjadi korban kriminalisasi hingga penggurusan wilayah hidupnya akibat kebijakan berbasis hutan dan lahan yang mengabaikan prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan atas hadirnya izin bagi industri ekstraktif dan atau kebijakan pembangunan yang kurang berpihak pada penguatan dan perlindungan,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kalbar, M. Marcellus TJ, menyebutkan pihaknya terus berupaya untuk memberikan perhatian terhadap masyarakat adat yang erat kaitannya terhadap hutan adat.
“Kita terus berupaya memberikan perhatian terhadap masyarakat adat, meski kita masih terkendala di beberapa daerah kabupaten yang belum memiliki perda. kita juga mendorong percepatan hal ini, baik itu dari instansi, stake holder lainnya, sebab dalam hal ini kita tidak dapat bekerja sendiri,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga telah memperoleh data-data mengenai kawasan hutan yang ada di Kalbar. Namun meski sudah memiliki data tersebut, pihaknya tetap melakukan verivikasi, yang kemudian nantinya akan dilakukan pemetaan.
“Dari pemetaan inilah nantinya akan menjadi penetapan hutan adat, ini sudah dilakukan, dan hal ini juga menjadi modal kita untuk menunggu proses verivikasi,” tutupnya.