Kemampuan Fiskal di Kalbar Masih Bergantung Transfer Pusat

  • Share
Gubernur Kalbar, Ria Norsan (tengah) saat hadir dalam rapat bersama Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri dan jajaran kepala daerah se-Indonesia secara virtual di Ruang Data Analytic Room (DAR), pada Senin (25/8/2025).

INIBORNEO.COM, Pontianak – Gubernur Kalbar, Ria Norsan, menyebut ketergantungan fiskal Kab/Kota di Kalbar pada Tahun 2025 sebesar 76,36 persen dengan sumber pendanaan dari transfer pusat. Hal itu diungkapkannya saat menghadiri rapat bersama Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri dan jajaran kepala daerah se-Indonesia secara virtual di Ruang Data Analytic Room (DAR), pada Senin (25/8/2025).

Selain itu, Norsan mengatakan berdasarkan kajian fiskal regional Tahun 2024 disebutkan bahwa secara konsolidasi seluruh pemerintah daerah Provinsi dan Kab/Kota di Kalbar mencapai tingkat kemandirian fiskal yang optimal.

Norsan juga menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas komitmen dan kerja keras seluruh jajaran Bupati dan WaliKota di Kalbar dalam mengelola keuangan daerah. Selaku wakil pemerintah pusat di daerah, pihaknya selalu berpedoman pada Pasal 3 ayat (3) PP no 33 Tahun 2018 pada bidang keuangan dimana Gubernur melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD di Kab/ Kota yang bertujuan untuk memastikan bahwa setiap rupiah APBD dapat dijalankan secara optimal.

“Saya berikan apresiasi kepada pemerintah Kabupaten Kota yang telah mampu menjalankan tugas dengan baik terhadap pengelolaan keuangan APBD meskipun masih ada beberapa Kab/kota yang sangat masih berharap ketergantungan pada transfer pusat,” katanya.

Sementara itu, dalam rapat virtual yang digelar oleh Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri dan jajaran kepala daerah se-Indonesia, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, menegaskan pentingnya kemandirian fiskal sebagai fondasi utama dalam implementasi otonomi daerah. Ia juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap tingginya ketergantungan fiskal daerah terhadap pemerintah pusat.

“Kemandirian fiskal semestinya menjadi tulang punggung daerah dalam membiayai pembangunan. Namun kenyataannya, sebagian besar APBD di daerah masih sangat bergantung pada dana transfer dari pusat,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa dari total 548 daerah otonom, hanya sekitar 4,76% yang benar-benar memiliki kemampuan fiskal yang kuat. Sisanya, sebanyak 27 daerah dikategorikan sedang, dan mayoritas lainnya, yaitu 439 daerah, berada dalam kategori lemah.

Ketergantungan ini dinilai menjadi penghambat dalam pelaksanaan otonomi yang sesungguhnya. “Jika PAD (Pendapatan Asli Daerah) tidak mampu mencukupi belanja daerah, maka pembangunan dan pelayanan publik akan sangat terbatas,” tambah Aria Bima.

Ia pun mendorong setiap daerah untuk lebih aktif dan inovatif dalam menggali potensi ekonomi lokal sebagai upaya meningkatkan PAD dan mengurangi ketergantungan pada pusat.

Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, dalam kesempatan yang sama, mengungkapkan dari 38 provinsi di Indonesia, hanya 11 yang memiliki kapasitas fiskal kuat. Sisanya terbagi dalam kategori sedang (12 provinsi) dan lemah (15 provinsi).

Sementara di tingkat kabupaten, kondisinya lebih mengkhawatirkan: hanya 4 dari 415 kabupaten masuk kategori kuat, sedangkan 407 kabupaten tergolong lemah secara fiskal. Di tingkat kota, dari 98 kota, hanya 11 kota yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, 12 kota sedang, dan sisanya mayoritas berada dalam kategori lemah.

Situasi ini, menurut Bima Arya, menjadi tantangan besar dalam membangun daerah yang benar-benar mandiri. Ia berharap para kepala daerah mampu berinovasi dan membuat strategi fiskal yang lebih efektif demi mewujudkan otonomi daerah yang sejati.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *