INIBORNEO.COM, Pontianak – Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran investasi sangat dibutuhkan oleh suatu negara. Investasi yang masuk diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat serta membantu pemerintah dalam mengatasi keterbatasan pembangunan infrastruktur dan sektor lainnya. Demi menarik investor, pemerintah pun memberikan berbagai kemudahan melalui serangkaian regulasi dan kebijakan yang mendukung serta melindungi investasi.
Di Kalimantan Barat, arus investasi telah masuk sejak lama, dimulai dari eksploitasi hutan di wilayah-wilayah masyarakat adat. Sejak tahun 1970-an, berbagai perusahaan mendapat izin untuk menebang pohon dan mengolahnya menjadi kayu bernilai ekspor tinggi. Hingga saat ini, beberapa perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) masih beroperasi, meskipun tidak semasif pada masa kejayaannya antara tahun 1970-an hingga awal 2000-an. Ketika masa keemasan industri kayu berakhir, masyarakat serta para pekerja dan buruh tetap bertahan, berjuang mencari penghidupan baru.
Kini, investasi di Kalimantan Barat didominasi oleh tiga sektor utama: perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan pertambangan bauksit. Namun pola investasinya masih serupa dengan era kolonial: berbasis pada eksploitasi tanah dan hutan. Ironisnya, banyak dari izin usaha tersebut diberikan oleh pemerintah di atas wilayah-wilayah masyarakat adat atau lokal tanpa melibatkan atau memperhitungkan keberadaan dan hak masyarakat setempat
Karpet Merah Investasi Sawit yang Berujung Bencana
Perkebunan sawit di Kalimantan Barat pertama kali dibuka oleh perusahaan milik negara, PTPN, di beberapa kabupaten seperti Sanggau, Sambas, Sintang, dan Mempawah. Selain sawit, juga dikembangkan perkebunan pohon karet melalui skema Hutan Tanaman Industri (HTI).
Demam investasi sawit skala besar mulai terjadi sejak awal tahun 2000-an. Pemerintah memberikan berbagai kemudahan perizinan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit, seolah-olah menggelar karpet merah bagi masuknya modal. Sampai hari ini, praktik tersebut masih terus berlangsung.
Namun sayangnya, investasi yang diberi karpet merah ini kerap diduga melanggar berbagai peraturan dan undang-undang. Salah satu dampak yang tak terlupakan adalah bencana kabut asap yang hampir setiap tahun menyelimuti wilayah Kalimantan Barat. Asap tersebut diduga kuat berasal dari pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit dengan cara membakar hutan dan lahan gambut.
Metode pembakaran ini dianggap murah dan efisien oleh perusahaan, karena membutuhkan biaya minimal dengan potensi keuntungan maksimal. Praktik ini mencerminkan logika hukum ekonomi klasik: “keluarkan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.”
Dampak Kesehatan dan Kerugian Sosial
Sejak tahun 1999 hingga 2023, pembukaan lahan perkebunan sawit telah menyebabkan kerugian ekonomi dan krisis kesehatan bagi masyarakat Kalimantan Barat. Data dari Society of Indonesia Science Journalists (SCISJ) mencatat, sepanjang 2015–2020 terdapat 10.955 warga terkena ISPA akibat kabut asap. Balita menjadi kelompok dengan kasus tertinggi kedua, dengan total 1.238 kasus.
Deforestasi Masif Akibat Ekspansi Sawit
Konversi lahan berhutan menjadi perkebunan sawit berlangsung masif, terutama sejak awal 2000-an. Luasan lahan sawit yang telah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) mencapai 2,1 juta hektare—artinya, terjadi konversi langsung dari hutan seluas itu. Ini belum termasuk wilayah yang masih dalam tahap Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Menurut analisis Yayasan Auriga, mayoritas perusahaan sawit berada dalam kawasan hutan. Antara tahun 2000 hingga 2010, deforestasi terjadi rata-rata 600.000 hektare per tahun. Meski intensitasnya menurun pasca-2010, pembukaan hutan terus berlanjut hingga 2024. Secara akumulatif, dalam dua dekade terakhir, Kalimantan Barat kehilangan sekitar 1,25 juta hektare hutan.
Hilangnya Fungsi Hutan dan Krisis Iklim
Deforestasi akibat ekspansi sawit telah merusak fungsi vital hutan sebagai penyerap karbon dan penyeimbang iklim. Jutaan pohon yang seharusnya menyerap CO₂ melalui proses fotosintesis, kini hilang. Karbon yang tersimpan dalam batang, akar, cabang, dan daun pun dilepaskan ke atmosfer.
Setelah hutan dibabat dan gambut dikeringkan, lahan kemudian dibakar. Asap dan abu hasil pembakaran tidak lagi tersaring secara alami karena pohon-pohon telah tiada. Akibatnya, polusi menyebar ke pemukiman. Ketika fungsi hutan sebagai penyaring udara hilang, manusialah yang menanggung dampaknya—ribuan orang, termasuk balita, menderita penyakit saluran pernapasan akut
Hak atas Lingkungan dan Hidup Sehat: Siapa yang Melindungi?
Deforestasi yang masif akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit skala besar menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kalimantan Barat. Praktik pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan sawit, meskipun telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) melalui mekanisme AMDAL dan ANDAL, telah mengorbankan kesehatan ribuan warga, termasuk anak-anak balita.
Fakta bahwa ribuan masyarakat terpapar ISPA akibat kebakaran lahan menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi hak-hak dasar warganya. Padahal, setiap warga negara memiliki hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan aman—hak yang dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional.
Masyarakat berhak atas perlindungan dari dampak negatif investasi, apalagi jika investasi tersebut membawa ancaman terhadap kesehatan dan kehidupan mereka. Pencemaran udara akibat asap pembakaran lahan bukan sekadar isu lingkungan, melainkan pelanggaran hak hidup sehat. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah, dari pusat hingga daerah, diduga abai dan lalai dalam memenuhi tanggung jawabnya sebagai pelindung rakyat.
Ironisnya, dalam semangat mengejar pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi, pemerintah kerap menomorduakan hak-hak warganya. Kepentingan pembangunan dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban negara dalam menjamin hak hidup sehat. Akibatnya, ribuan anak-anak balita menjadi korban ISPA, karena pohon-pohon yang mestinya menjadi penyaring udara telah digusur dan dibakar.
Lantas, di mana tanggung jawab pemerintah terhadap anak-anak yang terpapar ISPA? Bagaimana bentuk pemulihan hak-hak mereka yang telah dirampas oleh kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan modal?
Oleh: Agus Sutomo, Teraju Indonesia