Ragu Lanjutkan Aksi Iklim, Orang Muda Kritik Keras Sikap Bahlil

  • Share

INIBORNEO.COM, Pontianak – Keraguan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia untuk melanjutkan aksi iklim setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyatakan keluar dari Paris Agreement seolah menjadi pelengkap dari kebijakan pro batubara. Kebijakan batubara untuk ormas, kampus dan berlebihan produksi batubara telah menjauhkan kita dari komitmen mempensiunkan PLTU dalam 15 tahun ke depan. Rencana membangun 75 gigawatt pembangkit listrik dari energi terbarukan kini meredup. 

Kebijakan memperluas subjek pengelola tambang batubara ke ormas keagamaan dan kampus menuai kritik.  Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk menggalang dukungan untuk industri batubara, mengalihkan fungsi lembaga-lembaga tersebut dari layanan publik menjadi pengelola tambang. 

Dinayah Faza, seorang mahasiswa juga Koordinator Climate Rangers Sumatera Selatan mengungkap kegeramannya melihat upaya pemerintah dan pemain batubara menyeret kampus dalam industri batubara.

“Kampus harusnya tempat mencetak generasi berpikir, bukan malah diseret ikut main bisnis tambang batubara. Ini mengubah lembaga pendidikan menjadi pabrik cuan yang bahan bakunya masa depan kami. Ini menabung bencana untuk kami,” ujarnya.

Melihat kerusakan lingkungan di daerahnya, dia menambahkan, “Sumatera Selatan sudah tercemar polusi, dan kini kampus diseret dan mau ikut-ikutan meramaikan kehancuran? Kampus harusnya jadi sumber solusi, bukan malah tangan lain dari eksploitasi.”

Salah satu jalan keluar dari lingkaran kerusakan akibat industri batubara ini adalah pensiun dini PLTU. Terkait hal itu, Bahlil mesti tahu bahwa bagi warga sekitar PLTU, pensiun dini PLTU sangat diharapkan. Di Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, PLTU batubara telah merenggut sumber kehidupan masyarakat, khususnya nelayan dan petani.

“Tentu Pak Bahlil terlihat begitu serakah dan tidak memperdulikan daya rusak batu bara,” ujar Rimba Zait dari Climate Rangers Sumatera Utara. Bersama dengan Yayasan Srikandi Lestari, Climate Rangers Sumut telah mengenal secara langsung masyarakat yang terdampak dari pembakaran batu bara, “Mereka banyak mengalami gangguan kesehatan hingga penurunan ekonomi secara drastis gara-gara PLTU Batubara,” lanjutnya.

Di Cirebon, PLTU batubara juga tak kalah merusaknya, pembangkit yang dibangun di area tambak garam tersebut mencemari air laut mengakibatkan kualitas garam merosot. “Penguatan komitmen pensiun dini adalah angin segar bagi kita semua, karena dengan itu akan ada kepastian bagi penutupan PLTU Cirebon 1. Akan tetapi gagasan untuk mengikuti jejak Amerika keluar dari kesepakatan paris sangat mengecewakan,” ujar Izzul Munna, Climate Rangers Cirebon. 

Izzul optimis jika pensiun dini dilakukan dan digantikan ke energi terbarukan akan membawa kemaslahatan. Potensi energi terbarukan Indonesia dinilai sangat besar. ESDM sendiri mencatat lebih dari 3500 gigawatt yang berasal dari Surya, Angin dan Air, tergantung bagaimana pemerintah ingin memperluas partisipasi publik dalam pembangkitannya.

Menurut Masagus Fathan, Climate Rangers Jakarta, pernyataan dan tindakan pemerintah belakangan ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap masa depan bangsa Indonesia. Kabinet yang mengatasanamakan “Merah Putih” justru menambah beban penderitaan rakyat dan orang muda.

“Menghentikan komitmen iklim yang ambisius dan berkeadilan hanya karena larinya AS dari tanggung jawab justru mengkerdilkan kedaulatan rakyat di hadapan asing,” tegasnya.

Potensi energi terbarukan yang besar di Indonesia memberikan peluang besar bagi indonesia untuk melakukan transisi energi secara cepat, dengan demikian kita tidak perlu terus menerus bergantung pada energi fossil. Ketergantungan indonesia pada energi fosil sangat tinggi, listrik nasional 53 persen atau 49,88 GW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), 27 persen atau 25,24 GW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), dan 5 persen atau 4,64 GW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

“Ini mendesak untuk segera dilakukan transisi ke energi terbarukan secara cepat lewat peningkatan komitmen yang ambisius dan serius,” kata Fathan.

Sementara itu, Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, menekankan pentingnya penguatan komitmen iklim dalam  Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang diberikan tenggat waktu hingga Februari 2025 ini.

“Data menunjukkan bahwa transisi energi terbarukan bukan hanya mungkin, tapi sudah menjadi kebutuhan mendesak. Dengan melibatkan partisipasi publik, khususnya komunitas lokal yang memahami kebutuhan dan potensi daerahnya, kita bisa mencapai target transisi energi lebih cepat. Peran komunitas yang sudah ada saat ini mesti diakui keberadaannya dan komitmen peningkatan bauran energi terbarukan dalam SNDC harus memberikan ruang bagi peran komunitas,” ungkap Sisilia.

Menurutnya, ada banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa pemberdayaan komunitas dalam pengelolaan energi terbarukan menciptakan dampak ganda – tidak hanya mempercepat transisi energi, tapi juga mendorong kemandirian ekonomi lokal. Indonesia, memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, dari tenaga surya hingga mikrohidro.

“Dengan memberdayakan komunitas hingga tingkat terkecil, kita bisa membangun sistem energi yang mandiri, berkelanjutan, dan tidak bergantung pada fluktuasi kebijakan negara lain. Inilah swasembada energi yang sesungguhnya yakni  ketika masyarakat bisa menghasilkan dan mengelola energi bersihnya sendiri,” pungkasnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *