WALHI Kalbar Dorong Moratorium Tambang dan Penataan Ulang Wilayah Kelola Rakyat

  • Share
Andre Illu dari WALHI Kalbar. (Foto: Cantya Zamzabella)

INIBORNEO.COM, Pontianak – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalbar menilai penataan wilayah pertambangan di Kalbar belum berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Pemerintah dinilai lebih sibuk menerbitkan izin dibanding melindungi ruang hidup rakyat.

“Dalam konteks Kalbar, yang paling besar adalah bauksit, namun sekarang juga sudah mulai masuk ke pertambangan emas,” kata Andre Illu dari WALHI Kalbar.

Ia mengungkapkan, dalam rentang waktu 2018 hingga 2020, tercatat ada 285 izin pertambangan yang diterbitkan di Kalbar. Sementara itu, Presiden Prabowo juga menyebut kerugian negara akibat aktivitas pertambangan tahun ini mencapai Rp300 triliun.

“Karena itu, moratorium perlu diberlakukan untuk menghentikan penerbitan izin baru bagi perusahaan-perusahaan tambang skala besar, sekaligus mengevaluasi tambang yang sudah beroperasi,” tegas Andre.

Namun menurutnya, dalam praktiknya negara justru lebih berperan sebagai broker perizinan dibanding melakukan penataan wilayah secara menyeluruh. Wilayah yang telah diidentifikasi memiliki potensi sumber daya langsung disimpulkan sebagai target investasi, tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat di dalamnya.

“Wilayah rakyat sejatinya adalah benteng terakhir penyelamatan ekologi. Masyarakat adat juga punya kemampuan sendiri dalam mengelola sumber daya alam,” ujarnya.

Andre menambahkan, baik tambang legal maupun ilegal, wilayah komunitas kerap dianggap sebagai ruang kosong, bukan sebagai ruang hidup. Akibatnya, kebijakan pertambangan menyisakan banyak persoalan, mulai dari celah dalam sistem perizinan, lemahnya pengawasan, buruknya koordinasi antar-lembaga, hingga tidak berpihak pada wilayah kelola rakyat. Dampaknya pun nyata seperti bencana ekologi, konflik sosial, hingga pelanggaran HAM.

“Masyarakat kehilangan akses air bersih, pangan terganggu, lahan pertanian dikonversi, ikan di sungai terkontaminasi merkuri, dan perempuan menjadi kelompok paling rentan terdampak,” jelasnya.

Among, dari Perkumpulan PADI Indonesia Kaltim menyebutkan pertambangan menimbulkan dampak terhadap krisis biodiversitas dan masyarakat adat. Deforestasi serta degradasi hutan akibat aktivitas pertambangan membuat keanekaragaman hayati terancam punah. PADI mencatat bahwa konsesi tambang di Kaltim seluas 1,5 juta hektare dengan 29 persen konsesi tambang berada di ekosistem hutan, termasuk 55.561 hektare hutan primer.

Aktivitas pertambangan sendiri memicu hilangnya mata pencaharian masyarakat adat, merusak sumber air bersih, meningkatkan konflik satwa-manusia, hingga menimbulkan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan haknya.

“Kerusakan pengelolaan sumber daya alam membuat ruang hidup masyarakat adat semakin terancam, belum lagi hilangnya keanekaragaman hayati,” ujarnya.

Beberapa upaya yang dirasa tepat, lanjut Among, antara lain yakni melakukan evaluasi dan pencabutan izin tambang, penetapan zona penyangga dan area preservasi, Penguatan pengawasan tata ruang dan penegakan hukum serta mengesahkan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.

Di sisi lain, Andre menegaskan bahwa pemerintah harus memberi ruang setinggi-tingginya bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas sumber daya alam. Jika rakyat sejahtera dari pengelolaan sumber daya alam, negara juga akan diuntungkan. Sebaliknya, jika orientasi hanya pada modal dan ekstraksi, maka pembangunan justru dikorbankan.

“Pemerintah tidak boleh melihat indeks pembangunan hanya dari sektor kesehatan dan pendidikan. Ada aspek sosial dan budaya yang sering hilang. Karena itu, kebijakan pertambangan perlu ditinjau ulang dan tata kelola sumber daya alam harus segera diperbaiki,” pungkasnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *