INIBORNEO.COM, Pontianak – Buruh sawit perempuan di Kalimantan masih menghadapi persoalan berat, mulai dari risiko kesehatan akibat paparan bahan kimia hingga upah yang tidak setara dengan pekerja laki-laki.
Hal itu terungkap dalam diskusi internasional diajang The 3rd IPOWU ( International Palm Oil Workers Union) International Meeting yang diselenggarakan Koalisi Buruh Sawit (KBS) bersama Trade Union Rights Centre (TURC) di Pontianak, Kalimantan Barat.
Ketua Federasi Serikat Buruh Kelapa Sawit Indonesia (FSBKS), Yublina Oematan, mengungkapkan banyak perempuan pekerja harian lepas yang berhadapan langsung dengan bahan kimia berbahaya. Kondisi ini kerap menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan mereka.
“Ibu-ibu di kebun sawit ada yang mengalami kemandulan, iritasi kulit, bahkan potensi kanker karena sering bersentuhan dengan bahan kimia. Sayangnya, perusahaan sering berkelit dengan alasan penyakit itu bawaan dari sebelum bekerja,” ujarnya.
Menurut Yublina, sejumlah perusahaan memang menyediakan alat pelindung diri (APD). Namun, fasilitas itu tidak sesuai standar. “Sarung tangan terlalu panas, helm berembun. Akhirnya pekerja tidak nyaman memakainya, lalu disalahkan karena dianggap tidak disiplin,” tambahnya.
Selain kesehatan, masalah pengupahan juga masih menjadi sorotan. Yublina menilai pekerja laki-laki cenderung mendapat tunjangan tambahan, sementara perempuan yang melakukan pekerjaan serupa tidak memperoleh imbalan yang setara.
“Perempuan sering hanya disebut membantu pekerjaan bapak-bapak, padahal tugasnya sama. Sayangnya, upahnya berbeda. Ini diskriminasi yang sudah lama dibiarkan,” katanya.
Kondisi serupa juga disampaikan Yohanna Ullu, Ketua Komite Gender sekaligus aktivis buruh dari Kalimantan Selatan. Ia menyoroti banyak buruh perempuan di Kalimantan Barat yang sudah bekerja belasan tahun sebagai buruh harian lepas tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap.
“Di tempat kami, buruh yang sudah setahun bisa diperjuangkan statusnya. Tapi saya dengar di Kalbar ada yang belasan tahun tetap jadi BHL. Itu sangat memprihatinkan,” ungkap Yohanna.
Yohanna menilai pembentukan komite gender di perusahaan sangat penting agar suara perempuan lebih terdengar. Di wilayahnya, keberadaan komite gender terbukti mampu mencegah intimidasi dan diskriminasi, bahkan menangani kasus pelecehan seksual secara cepat.
“Kami punya forum komite gender, pos pengaduan, hingga rumah aman bagi korban pelecehan. Sejak itu, kasus-kasus tidak lagi dibiarkan. Perusahaan pun harus bertindak cepat, bahkan sampai ranah pidana,” jelasnya.
Sebagai anggota dialog sosial, Yohanna kerap menerima laporan dari buruh perempuan untuk kemudian dibawa ke meja perundingan bersama pengusaha. Dari sana, sejumlah isu bisa ditindaklanjuti agar perusahaan mengambil langkah nyata.
Baik Yublina maupun Yohana sepakat, perusahaan harus lebih serius memberi perlindungan dan kesempatan setara bagi buruh perempuan. Dari akses pelatihan, jaminan kesehatan, hingga kebijakan pengupahan yang adil.
“Harapan kami, buruh perempuan dilibatkan penuh dalam pelatihan dan pengambilan keputusan. Supaya mereka berani bersuara menuntut haknya,” tutup Yohanna.