Sekolah Bumi Calon Ibu: Pendidikan Lintas Agama dan Lingkungan bagi Perempuan Muda di Kalimantan Barat

  • Share
Dokumentasi kegiatan Eco Bhineka Muhammadiyah

INIBORNEO.COM, PONTIANAK – Di tengah minimnya kesadaran akan krisis iklim dan pentingnya kesetaraan gender, sebuah gerakan pendidikan lahir. Sekolah Bumi Calon Ibu hadir sebagai inisiatif akar rumput yang memadukan isu lingkungan hidup, hak asasi manusia (HAM), dan pendidikan lintas agama dengan perspektif perempuan.

Diprakarsai oleh Octavia Shinta Aryani, seorang guru SD Muhammadiyah 2 Pontianak, inisiator program Eco Bhineka Muhammadiyah Kalbar, sekaligus Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Kalbar, program ini mengusung semangat pembaharuan dari tradisi bimbingan pernikahan yang selama ini hanya fokus pada ceramah agama.

“Awalnya kami melihat bimbingan calon pengantin hanya diisi ceramah tentang menjadi keluarga sakinah. Tapi tak ada materi bagaimana mereka, sebagai calon orang tua, berkontribusi pada kelestarian lingkungan atau memahami krisis iklim,” ungkap Shinta.

Gagasan tersebut muncul saat ia mengikuti kegiatan penyuluhan pernikahan bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Pontianak. Ia pun kemudian menggagas sebuah sekolah lintas agama untuk calon pengantin dan perempuan muda, yang tak hanya bicara soal relasi dalam rumah tangga, tapi juga tanggung jawab terhadap lingkungan.

Program ini mendapat sambutan hangat dari Kepala Kantor Kementerian Agama Kalbar. Bahkan, peluncuran inisiatif ini berhasil mengumpulkan 35 peserta dari berbagai agama. “Kita ingin calon ibu ini sadar bahwa krisis iklim itu nyata dan yang paling terdampak adalah perempuan,” tegas Shinta.

Materi Sekolah Bumi Calon Ibu tidak hanya mencakup pengetahuan dasar tentang lingkungan, tetapi juga menyentuh persoalan mendalam seputar gender, hak-hak perempuan, dan pengalaman krisis iklim dari sudut pandang tiap agama. Para peserta diajak berdiskusi lintas iman, berbagi cerita pribadi, hingga menyusun komitmen sebagai bagian dari komunitas yang peduli lingkungan.

“Perempuan saat hamil, menyusui, atau sedang haid jauh lebih terdampak saat bencana banjir. Bagaimana akses air bersih? Bagaimana menjaga kebersihan tubuh saat tidak ada sanitasi layak? Itu semua berdampak langsung pada kesehatan,” lanjut Shinta.

Dari diskusi tersebut, banyak ide lahir. Salah satunya datang dari seorang peserta yang bekerja sebagai make-up artist (MuA), yang berkomitmen beralih ke produk kecantikan yang aman untuk ibu hamil dan menyusui. “Kita ingin setiap lulusan sekolah ini jadi penggerak di komunitasnya,” kata Shinta.

Ke depan, peserta yang telah lulus akan berperan sebagai mentor bagi perempuan lainnya. Kurikulum pun akan terus dikembangkan, dengan harapan program ini bisa terintegrasi ke dalam kurikulum pendidikan formal atau keagamaan.

Florensia Dasilva Nince, seorang peserta dari kalangan orang muda Katolik Keuskupan Agung Pontianak, mengakui bahwa pengalaman mengikuti program ini membuka wawasannya secara signifikan.

“Saya ingin menjadi calon ibu yang siap menjaga bukan hanya kesehatan keluarga, tapi juga lingkungan. Karena lingkungan yang rusak akan mempengaruhi hak dasar manusia, terutama perempuan dan anak,” ujarnya.

Florensia menyoroti isu air bersih sebagai hak dasar yang penting bagi perempuan. “Area kewanitaan sangat sensitif. Jika akses air bersih buruk, itu akan mempengaruhi kesehatan perempuan, termasuk ibu hamil dan anak-anak,” ujarnya.

Tak hanya itu, ia juga melihat pentingnya kesetaraan gender dalam peran ibu dalam keluarga. 

“Tak ada larangan untuk ibu bekerja, itu bagian dari kesetaraan. Ibu yang pintar akan melahirkan anak-anak yang pintar pula,” tegasnya.

Menurutnya, Sekolah Bumi Calon Ibu mampu menanamkan pemahaman bahwa keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai toleransi, kolaborasi, dan cinta lingkungan. 

“Toleransi bukan sekadar hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, tapi juga saling mendukung dalam keluarga, memberi ruang dan hak secara adil,” ucapnya.

Tantangan dan Asa

Shinta tak menampik bahwa tantangan terbesar terletak pada komitmen peserta muda.

“Kita harus menurunkan ego, menyatukan persepsi. Anak muda lebih percaya medsos, jadi pendekatannya harus kontekstual dan kreatif,” ungkapnya.

Namun semangat untuk memperluas cakupan program terus menguat. Sekolah ini ditargetkan tidak hanya lintas agama, tapi juga berbasis pendekatan GEDSI (Gender, Equality, Disability, and Social Inclusion) yang inklusif.

Sebanyak 75% peserta belum pernah mendapatkan pelatihan tentang isu lingkungan dan kesetaraan. Ini membuktikan bahwa program ini mengisi kekosongan penting dalam pendidikan perempuan muda di Kalbar.

“Kami ingin program ini tidak sekadar menambah pengetahuan, tapi juga mengubah perilaku. Mulai dari diri sendiri dulu. Lalu menjalar ke keluarga, tetangga, komunitas,” pungkas Shinta.

Program ini merupakan bagian dari inisiatif Eco Bhineka Muhammadiyah Kalbar dan didukung oleh Kementerian Agama Kalbar serta tokoh-tokoh lintas agama di Pontianak. Saat ini, kurikulum sedang dalam proses penyusunan untuk menjangkau lebih banyak calon ibu di berbagai kabupaten/kota di Kalimantan Barat.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *