Laporan Hak Digital Indonesia 2024: Estafet Represi Internet

  • Share

INIBORNEO.COM, Pontianak – “Siapapun pemimpinnya, represi akan terus berulang”. Pesimisme demikian diilustrasikan dengan tongkat estafet pelanggaran hak-hak digital di Indonesia yang terus berlanjut. Kendati ajang Pemilu yang menjadi pusat kosmos tahun politik 2024 menghasilkan pergantian rejim, nampaknya estafet represivitas dan pelanggaran hak-hak digital tetap langgeng.

Dalam Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2024 yang diluncurkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15 February 2025, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyematkan judul “Tergencet Estafet Represi di Internet”. Tajuk ini merepresentasikan kondisi hak-hak digital di tengah euforia Pemilu yang digadang-gadang sebagai ajang demokrasi (digital) yang dapat membawa perubahan.

Memang, pada tahun 2024, Indonesia mengalami transisi politik penting, yaitu pergantian anggota legislatif dan eksekutif. Pergantian anggota legislatif dan eksekutif tersebut terjadi melalui dua pemilihan umum (Pemilu). Pertama, pemilihan anggota DPR serta presiden dan wakil presiden pada Februari 2024. Kedua, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada November 2024. Sebagaimana tergambar dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia tahun 2023 lalu, SAFEnet menemukan bahwa Pemilu telah memperparah terjadinya pelanggaran hak-hak digital sepanjang tahun menjelang pemilu tersebut.

Pelanggaran hak-hak digital terus terjadi sepanjang pelaksanaan Pemilu 2024 maupun situasi politik yang menyertainya. Salah satu momen penting tersebut terjadi pada Agustus 2024 ketika masyarakat sipil Indonesia, terutama mahasiswa, akademisi, dan aktivis organisasi masyarakat sipil, memprotes rencana DPR untuk membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia dan turunnya ambang batas pencalonan Pilkada.

Gerakan dengan tagar #PeringatanDarurat tidak hanya terjadi di ruang-ruang digital, tetapi juga masif dalam bentuk aksi di jalanan. Menyebar di berbagai kota di Indonesia. Sebagai respons terhadap aksi tersebut, polisi melakukan represi dan penangkapan terhadap para aktivis peserta aksi. Ponsel sebagai perangkat penting turut disita. Di ruang-ruang digital, intimidasi dan ancaman terhadap aktivis juga terjadi selain juga operasi pemutarbalikan informasi.

Represi digital sepanjang tahun 2024 tersebut terus berlanjut setelah terjadinya pergantian presiden dan wakil presiden dari Joko Widodo dan Ma’ruf Amin kepada Prabowo Subianto dan anak sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Situasi inilah yang membuat Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2024 mengambil tema estafet represi di internet. Peralihan kepemimpinan adalah juga pelanjutan kezaliman di ranah digital.

Terdapat empat isu, yaitu akses internet, kebebasan berekspresi, keamanan digital, serta kesetaraan dan inklusi dalam bentuk pantauan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang diangkat dalam laporan tersebut.

Akses Internet

Pemilu 2024 cukup memengaruhi pemenuhan hak akses internet di Indonesia, terutama pada aspek infrastruktur. Meskipun jumlah pengguna internet terus bertambah, kesenjangan masih terjadi dan menghambat pelaksanaan Pemilu di beberapa tempat. Terdapat 85 gangguan akses yang terpantau selama tahun 2024 lalu. Masih adanya gangguan akses internet seperti jaringan yang tidak reliabel turut memengaruhi kualitas demokrasi digital.

Pada aspek layanan, perkembangan teknologi layanan global seperti internet satelit dan keputusan penyedia layanan untuk bergabung, mempengaruhi status akses masyarakat terhadap layanan berkualitas dan setara. Terdapat 4 informasi gangguan internet terhadap layanan di Indonesia. Pembatasan akses media sosial seperti sensor dan blok terhadap akses konten pun kerap muncul. Implementasi sistem pemantauan dan pemblokiran otomatis oleh mesin, baik milik pemerintah maupun milik platform, berdampak buruk terhadap akses konten. Sebanyak 14 insiden terkait blok, sensor dan penangguhan akun media sosial terpantau sepanjang 2024.

Kebebasan Berekspresi

Satu tahun setelah direvisi, UU ITE masih menjadi momok bagi kebebasan berekspresi warga. Tercatat, terdapat 146 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah digital dengan jumlah terlapor atau korban sebanyak 170 orang. Angka ini mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dilihat dari latar belakang pelapor, terlapor, dan motif pelaporannya, UU ITE masih sering digunakan sebagai alat untuk melakukan SLAPP atau gugatan/laporan oleh pihak lebih kuat untuk menghentikan partisipasi publik. Hal ini menyebabkan berbagai dampak berbahaya bagi korban, mulai dari swasensor, beban ekonomi, hingga pemidanaan.

Peningkatan tersebut dapat disebabkan oleh dinamika politik di Indonesia, mulai dari pemilihan umum hingga pilkada serentak. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pun tetap banyak digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang menyuarakan pendapatnya secara daring. Bukannya memperkuat perlindungan kebebasan berekspresi, pemerintah dan parlemen berencana membahas dan mengesahkan berbagai RUU yang berpotensi melanggengkan pembungkaman, seperti RUU Polri, RUU TNI, dan RUU Penyiaran.

Keamanan Digital

Pada tahun 2024, peningkatan serangan digital mencerminkan ketegangan sosial-politik yang semakin memanas, terutama terkait upaya meloloskan kroni pihak berkuasa dalam Pilkada Jakarta. Serangan digital sepanjang tahun 2024 mencapai 330 insiden, di mana puncaknya terjadi pada Agustus yang mencatat 40 insiden, terutama dipicu oleh aksi #PeringatanDarurat.

Serangan digital lain yang berdampak luas terhadap hak-hak digital adalah ransomware terhadap Pusat Data Nasional Sementara (PDNS).

Platform populer seperti Instagram, WhatsApp, dan situs web menjadi target utama serangan, menunjukkan keterkaitan antara dinamika sosial-politik dan ancaman digital. Beberapa modus serangan mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, seperti peretasan, doxing, dan pengancaman, sementara phishing dan kebocoran data pribadi mengalami penurunan. Tren lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan konsisten dalam jumlah serangan digital, dengan lonjakan terbesar pada 2022.

KBGO

SAFEnet menerima 1.902 aduan pada 2024, jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu sebanyak 1.052 kasus. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi tata kelola internet yang ramah perempuan dan anak. Dari 1.902 aduan, sebanyak 969 aduan berasal dari korban perempuan. Korban laki-laki juga tidak jauh berbeda dengan korban perempuan, yaitu 736 aduan. Jenis KBGO yang banyak dialami pelapor KBGO adalah ancaman penyebaran konten intim dengan 828 aduan. Ancaman lebih mengerikan lagi yaitu pemerasan seksual atau sekstorsi dengan 351 aduan, diikuti dengan non-consentual intimate images dengan 228 aduan.

Di masa Pemilu 2024 dan peralihan kekuasaan, terdapat kasus pengungkapan masa lalu Calon Bupati Cilacap dan dijadikan bahan kampanye politik di media sosial, terutama narasi LGBTQI. Ujaran kebencian dan misinformasi terkait politisi perempuan ataupun perempuan yang menjadi calon anggota legislatif juga masih terjadi selama tahun 2024.

Dalam peluncuran Laporan Situasi Hak-Hak Digital 2024 yang juga bertepatan dengan Festival Hak-Hak Digital pertama di Indonesia ini juga menghadirkan beberapa penanggap. Yaitu Yuri Muktia; Pendamping korban aksi #peringatan darurat Semarang, Anita Wahid; Representatif Indonesia di AICHR.

Berkaca pada hasil laporan, penanggap menggarisbawahi perlunya upaya-upaya strategis dan kerjasama semua pihak dalam menurunkan tingkat pelanggaran hak-hak digital pada tahun 2025. Momentum pergantian kepemimpinan seyogyanya dapat menjadi pecutan untuk pemerintah yang bertanggung jawab bagi pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak- hak digital masyarakat Indonesia untuk bekerja lebih baik.

Yuri Muktia (Pendamping hukum massa aksi #PeringatanDarurat Semarang) menyatakan bahwa data laporan situasi SAFEnet memperlihatkan kondisi demokrasi dan hak digital di Indonesia tidak baik-baik saja. Ia juga mengajak masyarakat untuk terus berani dalam mengawal, memprotes dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat (RUU TNI, RUU POLRI dan RUU Penyiaran). Dalam konteks KBGO, Aparat Penegak Hukum seharusnya sudah bisa menggunakan UU TPKS mengingat sudah hampir 3 tahun sejak disahkan, harus diberlakukan karena memuat aspek keadilan korban dan rehabilitasi bagi pelaku.

Selain itu, Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan) turut menyatakan bahwa kebebasan berekspresi masyarakat sipil dibatasi dengan dalih pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Pembatasan kepada sipil tidak boleh menghalangi hak politik masyarakat sipil dan tidak boleh diskriminatif. Kasus KBGO seharusnya bisa ditangani dengan UU TPKS karena bentuk peraturan yang progresif. Aparat Penegak Hukum harus bisa menggunakan peraturan yang fokus pada upaya perlindungan kepada korban.

Anita Wahid juga menyampaikan bahwa isu demokrasi digital sudah berusaha dimasukkan dalam pembahasan di AICHR dan sudah menjadi isu global namun menjadikan hal tersebut ke dalam bentuk tindakan akan bergantung pada representatif negara lain. Ia yakin banyak pelanggaran yang tidak tercatat dan angka yang ada dalam laporan belum merepresentasikan kasus sesungguhnya.

Lebih lanjut, diharapkan data-data pada laporan situasi hak-hak digital 2024 ini dapat menjadi referensi untuk peneliti, aktivis, pemerintah dan swasta dalam beragam upaya solutif dalam tataran kebijakan dan implementasinya untuk menciptakan ruang digital yang aman dan nyaman bagi semua warga masyarakat tanpa kecuali.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *