INIBORNEO.COM, Pontianak – Perkembangan sektor perkebunan kelapa sawit khususnya di Kalimantan barat sangat pesat terjadi. Tercatat berdasarkan data statistik Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2022 dengan luas areal kelapa sawit Kalimantan barat mencapai angka 2,05 juta Ha dengan total produksi CPO dan PK 7,7 juta ton. Meski demikian, sejumlah buruh mengalami persoalan dalam hubungan kerja, upah dan perlindungan.
Yublina Yuliana Eomatan, Ketua Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalbar, menyebutkan hal tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap buruh.
“Banyak buruh yang bekerja sebagai Buruh Harian Lepas atau BHL tanpa kontrak resmi atau hanya memiliki kontrak kerja yang tidak pernah diserahkan oleh perusahaan, status kerja yang tidak tetap ini berdampak pada hilangnya hak seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sistem pengupahan juga menjadi perhatian. Buruh seringkali dibayar berdasarkan target, misalnya harus mengumpulkan 600 –750 kilogram buah sawit per hari. Jika target tidak tercapai, pekerjaan dilanjutkan keesokan harinya dengan beban kerja yang bertambah. Selain itu, pengupahan untuk tugas seperti memungut brondol (buah sawit yang jatuh) seringkali tidak jelas karena digabungkan dengan upah pemanen.
Selain itu, slip gaji buruh mencantumkan potongan-potongan yang tidak dijelaskan, termasuk potongan dengan label “lain-lain,” yang tidak pernah dirinci oleh perusahaan.
Yublina juga menyoroti minimnya fasilitas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang disediakan oleh perusahaan yang tidak sesuai standar.
“Beberapa buruh mengaku tidak mendapatkan Alat Pelindung Diri (APD) yang layak, seperti sarung tangan atau masker, yang justru menyebabkan ketidaknyamanan. Selain itu, perusahaan seringkali lambat mengganti APD yang rusak,” tuturnya.
Fasilitas kesehatan di lokasi kerja, seperti klinik, juga minim. Beberapa perusahaan tidak menyediakan dokter atau obat-obatan yang memadai, sehingga buruh harus berobat sendiri dengan biaya pribadi. Kondisi infrastruktur jalan di area perkebunan kerap buruk sehingga meningkatkan risiko kecelakaan kerja. Tempat tinggal buruh sering berupa barak kayu tanpa privasi, dengan fasilitas yang jauh dari layak.
Kebebasan berserikat juga kerap diintimidasi oleh perusahaan. Buruh diancam akan dimutasi kerja hingga tekanan untuk mundur. Hal ini dinilai bahwa perusahaan tidak mendukung kebebasan berserikat meskipun hal ini dijamin dalam undang-undang.
“Terdapat pula indikasi kerja paksa, terutama pada buruh lanjut usia yang masih dipekerjakan tanpa perlindungan memadai. Selain itu, dokumen seperti KTP dan kartu keluarga kerap ditahan perusahaan sebagai jaminan, sementara gaji buruh dipotong untuk melunasi biaya transportasi ke tempat kerja,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Yublina yang mewakili buruh sawit di Kalbar menyampaikan beberapa tuntutan untuk pemerintah, perusahaan dan pemangku kebijakan, antara lain:
- Meningkatkan kesejahteraan buruh.
- Memperluas akses jaminan sosial.
- Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
- Melindungi kebebasan berserikat.
- Meingkatkan kondisi kerja.
- Mengeluarkan Perda ketenagakerjaan sektor sawit.
- Mendorong pemerintah pusat untuk membuat Undang-undang di sektor sawit.
Terakhir, Yublina juga menuntut pemerintah untuk terus memonitoring, mengevaluasi dan menindaktegas di bidang sektor sawit.